Judul Buku: Menggadaikan Ingatan,
Politisasi Islah dalam Kasus Priok
Penulis: Wahyudi
Akmaliah Muhammad
Penerbit: Syarikat
Peresensi: Rojil
Nugroho Bayu Aji
|
Kekerasan yang dilakukan oleh perangkat negara
pada saat rezim berkuasa seringkali sulit untuk diungkap. Jangankan masuk dalam
ranah hukum, membicarakan peristiwa itu seakan menjadi tabu dan bahkan
membahayakan bagi diri seseorang yang membicarakannya. Imbas dari
pembicaraan itu bisa saja berujung penangkapan oleh aparat keamanan dan
diinterogasi secara psikis, dimasukkan penjara, atau bahkan mendapatkan stigma
buruk dari masyarakat.
Bagaikan orang yang jatuh kemudian tertimpa
tangga, mungkin ungkapan ini dapat mewakili bagaimana nasib korban peristiwa
kekerasan Tanjung Priok yang terjadi pada 12 September 1984. Peristiwa Tanjung
Priok yang terjadi ketika orde baru berkuasa, sengaja diwacanakan secara
samar-samar dan simpang siur. Ketika Peristiwa ini terjadi, hampir tidak ada
pertanyaan atas peristiwa tersebut bagi ormas ataupun LSM. Beritanya pun tidak
banyak keluar di media massa karena begitu kuatnya kontrol negara terhadap arus
informasi.
Namun demikian, ingatan tentang peristiwa
Tanjung Priok tidak begitu saja lenyap. Bagi korban kekerasan atas peristiwa tersebut,
ingatan tentang masa lalu itu mengendap dalam bentuk trauma. Kemudian, trauma
itu bisa juga menghantui korban. Sedangkan bagi para pelaku, peristiwa Tanjung
Priok bisa menjadi ingatan yang ingin segera dilenyapkan. Kalaupun tetap
teringat, maka hal itu diingat dengan bentuk pembenaran atas terjadinya
peristiwa Tanjung Priok tersebut.
Seiring reformasi dan tumbangnya rejim orde baru
di tahun 1998, ingatan tentang peristiwa Tanjung Priok kembali mengemuka. Para
korban lantas mengingat kembali dan melakukan perjuangan agar para pelaku dapat
diadili karena peristiwa ini dianggap sebagai kejahatan HAM. Hal inilah yang
ingin diungkapkan oleh Wahyudi Akmaliah Muhammad dalam bukunya yang berjudul
Menggadaikan Ingatan, Politisasi Islah dalam Kasus Priok ini. Wahyudi Akmaliah,
paling tidak juga mencoba menjelaskan bagaimana duduk persoalan peristiwa
Tanjung Priok sampai munculnya islah.
Bagi korban peristiwa Tanjung Priok, ingatan
atas kekerasan bisa menjadi obsesif. Apabila hal ini dibiarkan, maka bisa menjadi
dendam karena ingatan bukan sekadar jejak dalam diri korban. Hal ini merupakan
goresan yang secara mekanis terus melekat dan dikenali. Imbasnya, seseorang
tidak akan bisa bicara masa depan apabila masa lalunya tidak tuntas dan tidak
jelas. Dengan teori Maurice Halbwach, penulis mengantarkan pembaca kepada
pembentukan identitas kedirian yang ditentukan oleh relasi antara individu dan
yang lainnya. Relasi inilah yang menopang kelengkapan ingatan, namun bukan
berarti ingatan individu dengan individu lainnya ketika dijumlahkan akan
menjadi narasi besar sebagai ingatan kolektif.
Kemudian terkait masalah struktur dirkusif dalam
buku ini, penulis menggunakan teori Foucault di mana pandangan terhadap objek
itu dibentuk dalam batas-batas yang telah ditentukan. Sejumlah praktik
diskursif menyebabkan persepsi terhadap objek yang dibentuk, dibatasi, dan
dikontrol menjadi sesuatu yang benar sehingga realitas yang dihadirkan
merupakan wacana yang sesuai dengan kehendak orang atau institusi yang
membentuknya dengan pembentukan wacana tertentu. (hlm. 16-19)
Selanjutnya, Wahyudi Akmaliah juga menunjukkan
bagaimana narasi masa lalu peristiwa Tanjung Priok dibentuk. Kontestasi wacana
peristiwa Tanjung Priok ketika orde baru dimenangkan oleh rejim negara yang
berkuasa. Selama berkuasa, wacana dominan yang dibangun oleh orde baru kepada
publik bahwa peristiwa Tanjung Priok bukan hanya konflik antara militer dengan
masyarakat muslim, melainkan sebuah upaya untuk mengganggu stabilitas negara
atas nama islam. Para pelaku yang terlibat dalam peristiwa itu dituduh
melakukan huru-hara.
Sedangkan para tokohnya seperti Amir Biki
dianggap melakukan tindakan subversif. Penangkapan juga dilakukan kepada
keluarga korban yang menanyakan hilangnya sanak saudara mereka ketika peristiwa
itu terjadi. Sejalan dengan penangkapan itu, media massa dikendalikan
oleh negara melalui pemberitaan yang bersumber dari Panglima ABRI/Pangkobkamtib
Jenderal TNI L.B. Moerdani. Implikasi pemberitaan tunggal itu menjadi sebuah
stigmatisasi bahwa seseorang yang terlibat dalam peristiwa Tanjung Priok dan
terutama korban dan keluarga korban adalah PKI, Gerakan Pengacau
Keamanan, islam radikal. Salah satu stigma itu adalah dengan didaftarnya
nama-nama mereka yang terlibat di pelbagai instansi sebagai orang yang dianggap
menentang negara.
Tidak lupa buku ini menjelaskan tentang
artikulasi ingatan korban setelah era reformasi. Suara-suara korban yang selama
ini terbungkam menurut Wahyudi Akmaliah tidak begitu saja senyap. Para korban,
meskipun tidak bisa bersuara justru membangun dan mengokohkan ingatan mereka
melalui beberapa cara di antaranya adalah melalui ritus tahlilan, memoar dan
dokumentasi berupa tulisan tentang peristiwa Tanjung Priok.
Setelah memelihara ingatan, para korban juga melakukan aktualisasi
dalam bentuk meminta pertanggung jawaban untuk penuntasan kasus kekerasan HAM
atas peristiwa Tanjung Priok. Lewat Yayasan 12 September 1984, Sontak
(solidaritas nasional untuk korban priok), Kompak (komite mahasiswa pemuda anti
kekerasan), serta dibantu oleh pegiat kemanusiaan untuk membawa kasus ini ke
pengadilan. Ketika pemerintahan Abdurrahman Wahid, kasus ini diangkat ke
pengadilan HAM Ad Hoc yang mana di era Habibie terbentur dengan pembentukan tim
pancari fakta oleh Fraksi Golkar dan Fraksi ABRI. Sejumlah nama terseret ke
pangadilan di antaranya adalah L.B. Moerdani, Try Soetrisno (mantan Pangdam
Jaya), Rudolf Butar Butar (mantan Dandim Jakut), Alif Pandoyo (mantan asisten
operasi Kodim Jakarta).
Namun, menurut Wahyudi Akmaliah, sangat
disayangkan karena sebelum kasus itu disidangkan telah muncul wacana
islah yang ditawarkan oleh pelaku sebagai jalan damai yang mengakibatkan
retaknya solidaritas korban dalam penuntasan kasus ini di pengadilan. Tanggal 1
Maret 2001 di masjid Sunda Kelapa Jakut, perjanjian damai lewat islah antara
pelaku ditandangani sebagian besar korban peristiwa Tanjung Priok yang diwakili
oleh tim tujuh.
Lebih jauh, menurut Wahyudi Akmaliah, islah ini
merupakan salah satu bentuk siasat para korban yang pro islah agar mendapatkan
kompensasi dengan memanfaatkan identitas sebagai korban. Korban pun memerlukan
biaya hidup sehari-hari sehingga kelompok yang pro islah menerima kompensasi
dari Try Soetrisno dan Rudolf Butar Butar. Sedangkan pandangan dari kelompok
yang kontra dengan islah memberikan argumentasi yang berbeda. Bagi korban dan
keluarga yang kontra islah, penolakan itu bukan berarti tidak setuju dengan
konsep islah dalam islam.
Namun, konteks islah yang ditawarkan tidak
sesuai dengan konsep islam itu sendiri yakni tidak ada pengungkapan kebenaran
atas kesalahan yang dilakukan pelaku, pengungkapan kebenaran tersebut juga
harus disampaikan oleh satu lembaga yang ditentukan negara. Jadi, kejujuran
pelaku menjadi syarat dasar dilakukannya islah. Kebutuhan materi memang
diperlukan dalam hidup, akan tetapi bukan berarti harus menggadaikan harga
diri.
Dengan demikian menurut Wahyudi Akmaliah,
ingatan tentang peristiwa masa lalu dalam kasus peristiwa Tanjung Priok ini
bukanlah sesuatu yang tunggal dan sekadar rekaman jejak masa lalu, melainkan
memiliki interpretasi rekonstruksi yang menanamkan beragam narasi, sejumlah
asumsi, pembentukan wacana, dan juga konteks sosial mengenai ingatan itu
sendiri. Sesama korban peristiwa Tanjung Priok yang sama-sama pernah
didehumanisasi oleh orde baru, namun cara penyikapan terhadap hal itu memiliki
perbedaan. Bagi korban yang kontra islah, keadilan harus diperjuangkan sebagai
upaya memulihkan rasa sakit selama bertahun-tahun. Keadilan merupakan jalan
untuk berdamai dengan masa lalu. (hlm. 131-164)
Alih alih untuk berdamai dengan masa lalu, islah
dengan kompensasi uang mulai 2 juta sampai 300 juta yang diterapkan dalam
peristiwa Tanjung Priok justru memproteksi para pelaku dan merupakan bentuk
pengaburan dalam penuntasannya di ranah hukum dan peradilan. Islah tersebut
mengakibatkan adanya keterangan yang berbeda antara Berita Acara Pemeriksaan
(BAP) dan kesaksian di pengadilan. Dalam BAP, korban yang pro islah masih
terlihat memberatkan pelaku. Namun, ketika di persidangan justru mengamankan
posisi pelaku.
Hal ini berimplikasi pada putusan pengadilan HAM
Ad Hoc. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum untuk menghukum para pelaku yang
bertanggung jawab atas peristiwa itu akhirnya tidak kuat karena kesaksian di
pengadilan tidak ada yang memberatkan pelaku sehingga hakim menyatakan terdakwa
(pelaku) tidak bersalah. Kalaupun ada yang terbukti, dalam tingkat kasasi para
pelaku bisa dibebaskan. Inilah impunitas yang diberikan sendiri oleh korban
yang pro dengan islah.
Akhirnnya, buku yang ditulis oleh Wahyudi
Akmaliah ini merupakan salah satu bentuk untuk mengabadikan dokumentasi ingatan
pada peristiwa Tanjung Priok. Buku ini merupakan bentuk sebuah situs dan suatu
cara untuk memelihara ingatan masa lalu dan bahkan pelepasan beban masa lalu
dengan cara mengangkatnya ke publik. Dan buku ini dihadirkan oleh Wahyudi
Akmaliah sebagai dokumentasi untuk memelihara ingatan tentang seluk beluk
peristiwa Tanjung Priok yang mengorbankan ratusan manusia tak bersalah sampai
penggadaiannya dengan cara islah yang bersifat politis dan pragmatis untuk mendapatkan
kompensasi berupa materi. [*]
Dimuat
di harian Kompas, 3 Desember 2010
Sumber:
http://resensibuku.com/?p=1044
http://resensibuku.com/?p=1044
Tidak ada komentar:
Posting Komentar