Judul
Buku: Mengungkap Politik Kartel
Penulis:
Kuskridho Ambardi
Penerbit:
KPG dan Lembaga Survei Indonesia
Cetakan:
Pertama, 2009
Tebal:
403 dan xix halaman
Peresensi:
Yudistira Adnyana
|
SETELAH tiga kali pemilu (1999, 2004 dan 2009)
banyak dugaan Indonesia akan segera mengakhiri masa transisi menuju konsolidasi
demokrasi. Boleh jadi –dalam derajat tertentu– Indonesia telah memenuhi
beberapa syarat konsolidasi demokrasi seperti kriteria Juan Linz dan Alfred
Stepan (1996). Salah satunya, tersedianya masyarakat politik di mana partai
politik dan organisasi pendukung jadi fokus utamanya. Masalahnya, sistem
kepartaian yang bagaimana agar demokrasi jadi lebih bermakna?
Buku hasil disertasi ilmu politik dari The Ohio
State University ini dengan gamblang membeberkan dinamika kepartaian di
Indonesia era reformasi. Para pembaca jadi mudah memahami interaksi antarpartai
khususnya pola persaingan dan kerja sama antarpartai serta dampaknya bagi
demokrasi di tanah air. Melalui buku ini tergambar watak persaingan sistem
kepartaian nasional, akan menentukan kualitas dan prospek konsolidasi
demokrasi.
Bila studi konvensional menempatkan pemilu
sebagai satu-satunya arena persaingan, studi ini melangkah maju menggunakan
tiga arena politik sekaligus: pemilu, pemerintahan, dan parlemen. Dengan tiga
arena politik pengamatan terhadap pola-pola interaksi antarpartai jadi lebih
luas. Walhasil, metode ini mengungkap sistem kepartaian di era reformasi
bersifat kurang kompetitif melainkan cenderung menyerupai kartel politik.
Gejala kartelisasi politik ditunjukkan melalui pemaparan sifat kompetisi
antarpartai, yang berlangsung secara tidak konsisten dari satu arena politik ke
arena politik yang lain. Bila persaingan (ideologi) berlangsung sengit di arena
pemilu (1999 dan 2004), seketika kompetisi itu lenyap dan luruh menjadi kerja
sama politik di arena parlemen dan pemerintahan.
Pendekatan sosiologis dan tabula rasa
digabungkan untuk mengungkap jenis persaingan antarpartai (hlm. 21-23).
Kombinasi pendekatan lazim diadopsi karena tiap pendekatan memiliki kelebihan
dan kekurangan masing-masing sekaligus menghindari perangkap determinisme.
Misalnya, studi Afan Gaffar (1992) tentang perilaku pemilih di Jawa menerapkan
strategi serupa. Selanjutnya, penjelasan pola koalisi partai di pemerintahan
dan parlemen mengandalkan teori koalisi berbasis ideologi
(ideologically-connected coalition) dan teori koalisi kemenangan-minimal
(minimal-winning coalition).
Ditengarai gejala kartelisasi parpol telah
muncul sejak usai pemilu 1999. Persaingan (terutama isu agama) yang begitu
sengit selama masa kampanye mendadak terhenti ketika pemilu berakhir. Pola-pola
koalisi yang dibangun di parlemen dan pemerintahan pun kurang sesuai dengan
teori-teori koalisi pada umumnya.
Bukti pertama, pembentukan dua kabinet (periode
1999-2004) bertentangan dengan teori koalisi berbasis ideologi maupun koalisi
kemenangan-minimal. Pasalnya, Kabinet Persatuan Nasional semasa KH Abdurahman
Wahid dan Kabinet Gotong Royong di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri
bukan berdasarkan kesamaan ideologi. Dengan begitu, ideologi partai bukan jadi
penentu perilaku partai. Sebab, semua partai bergabung dalam kabinet maka teori
kemenangan-minimal juga gagal menjelaskan tindak-tanduk partai dalam
berkoalisi. Episode politik berikutnya, oposisi absen di arena parlemen.
Kartelisasi parpol, menurut buku ini, melahirkan ”koalisi turah” (overzised
coalition) yang konsep dan implikasinya berbeda dengan koalisi besar (grand
coalition).
Bukti kedua, dengan meneliti empat studi kasus
perundang-undangan (UU Sisdiknas, UU BUMN, UU Perburuhan dan UU Otonomi Daerah)
terlihat interaksi antarpartai tidak kompetitif dalam aneka proses perumusan
kebijakan. Sebaliknya, partai-partai cenderung bertindak secara kolektif
sebagai satu kelompok, dan secara kolektif pula meninggalkan komitmen program
mereka (hlm. 234-235).
Pola interaksi antarpartai pada Pemilu 2004
setali tiga uang. Isu keagamaan tetap jadi isu dominan pada masa kampanye. Tapi
persaingan antarpartai tetap berakhir dengan cara serupa, bahwa begitu
partai-partai meninggalkan pemilu mereka membuang ideologi mereka (hlm. 281).
Indikasinya, Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) dibawah SBY-JK bukan jenis koalisi
berbasis ideologi, karena formasi kabinet merupakan campuran antara partai
sekuler dan partai Islam. Teori koalisi kemenangan-minimal juga gagal
menjelaskan koalisi di parlemen. Pasca kekalahan Megawati-Hasyim pada pilpres
putaran kedua, sebagian besar partai eks-Koalisi Kebangsaan (kecuali PDIP)
bergabung dengan pemerintah. Meski PDIP berada di luar pemerintahan, buku ini
mencatat, partai berlambang banteng gemuk moncong putih gagal menjadi oposisi.
Pasalnya, PDIP bergabung dengan partai-partai lain untuk membentuk kembali
kartel demi mendapatkan jatah posisi pimpinan di tingkat komisi di DPR.
Sebab musabab gejala partai kartel diduga kuat
karena adanya persamaan kepentingan partai-partai untuk menjaga kelangsungan
hidup mereka. Dapat dipastikan mobilisasi keuangan internal partai –melalui
iuran anggota– tidak cukup membiayai seluruh kegiatan partai. Agar tetap hidup,
partai berusaha mendapatkan dana pemerintah melalui perburuan rente
(rent-seeking). Caranya, partai-partai bersaing merebut jabatan politik di
kabinet maupun parlemen.
Menariknya, buku ini tidak memperkarakan sumbangan
negara terhadap partai-partai yang bersumber dari dana publik. Pasalnya,
santunan dana publik untuk parpol (subvensi) dianggap lumrah seperti lazim
dipraktikkan di negara-negara demokrasi lain. Tapi masalah krusial yang disorot
buku ini karena partai secara kolektif mengincar dana-dana nonbujeter. Dari
berbagai analisis kasus, diduga kuat penguasaan jabatan politik di pemerintahan
maupun parlemen agar partai-partai memperoleh akses terhadap dana-dana
nonbujeter baik di pos pemerintah maupun di pos parlemen. Perburuan rente
terjadi karena terdapat banyak celah dalam regulasi keuangan partai dan sanksi
hukumnya masih lemah. Dampak kartelisasi parpol bagi demokrasi memprihatinkan.
Singkat kata, institusi partai jadi lebih dekat ke negara daripada masyarakat!
Disadari kenyataan politik membuat jalinan
koalisi kurang ideal. Pertama, kemungkinan partai seideologi tidak (cukup)
tersedia dalam suatu sistem kepartaian. Akibatnya, koalisi berbasis ideologi
sulit dibentuk. Kedua, boleh jadi di antara partai atau kelompok elite partai
yang seideologi punya kepentingan berbeda dalam rangka merebut puncak kekuasaan
eksekutif. Dampaknya, partai atau elite partai mengutamakan kepentingan politik
dan mengabaikan ideologi sebagai pertimbangan berkoalisi.
Kualitas demokrasi diyakini meningkat bila
sistem kepartaian didorong jadi lebih kompetitif. Mengutip Sartori (1976),
selain jumlah (dua partai atau multipartai) sistem kepartaian dibedakan dari
jarak ideologinya. Maksudnya, sistem kepartaian dianggap kompetitif bila terdapat
jarak ideologi di antara partai-partai dalam suatu sistem kepartaian. Idealnya,
kompetisi antarparpol ini konsisten di berbagai arena politik (pemilu,
pemerintahan dan parlemen). Bila suasana kompetisi konsisten di berbagai arena
politik akan terdapat tautan elektoral di antara partai-partai sebelum pemilu
dan pasca pemilu. Dengan demikian, kaitan antara ideologi, pola koalisi, proses
kebijakan dan basis dukungan akan membuat demokrasi jadi lebih bermakna. (*)
Dimuat
di Jawa Pos, 6 Desember 2009
Sumber:
http://resensibuku.com/?p=445
http://resensibuku.com/?p=445
Tidak ada komentar:
Posting Komentar