Judul:
Makna Haji
Penulis: Dr. Ali Syariati Penerbit: Zahra, Jakarta Edisi: Pertama, 2007 Tebal: 260 halaman Peresensi: Lukman Santoso Az*) |
Ibadah
haji, dalam rukun Islam, merupakan ibadah kelima setelah syahadat, salat, puasa
dan zakat. Ibadah ini dilakukan pada hari-hari tertentu di bulan Dzulhijjah
dengan urutan amalan-amalan tertentu. Setiap pelaku haji melakukan
amalan-amalan tersebut pada tempat-tempat yang tertentu pula. Di antaranya
adalah Mekah, tempat para jamaah haji melakukan thawaf (mengelilingi
Ka’bah), sa’i (lari-lari kecil), dan tahallul (memotong rambut).
Kemudian, Arafah, suatu padang tandus tempat para jamaah haji melakukan
perenungan dan berdoa sebanyak-banyaknya. Lalu, Mina, tempat para jamaah haji
melontar tiga macam jumrah, dan seterusnya hingga ritual haji selesai.
Pertanyaannya, apa rahasia yang terkandung dalam pelaksanaan ibadah haji itu,
apakah ia hanya sekadar ritual belaka, atau ada makna luhur di balik semua
ritual tersebut?
Berdasarkan
pemahaman itulah, Dr Ali Syariati, melalui buku ini, mengajak kita untuk
menyelami ritual haji menuju makna sesungguhnya. Ia juga menggiring kita ke
dalam lorong-lorong haji yang penuh hikmah. Karena, haji, dalam pemahamannya
bukan sekadar ritual wisata yang hampa makna, haji merupakan sebuah langkah
maju menuju ‘pembebasan diri’, bebas dari penghambaan kepada tuhan-tuhan palsu
menuju penghambaan kepada Tuhan Yang Sejati. Melalui buku ini, Dr Ali Syari’ati
juga akan memberitahu kita tentang siapa saja kepalsuan yang ternyata menjadi
sahabat, kekasih dan pembela kita, yang harus kita waspadai dan kita bongkar
topeng-topeng kemunafikannya. Mulai dari penafsiran makna ritual miqat, Ka’bah,
tawaf, sa’i, Arafah, Mina, hingga makna ritual kurban, Idul Adha, Ali
Syari’ati, dengan bahasa yang khas memberikan pemahaman yang begitu
komprehensif bagi kita tentang makna haji.
Memahami
makna haji, dalam konteks ini membutuhkan pemahaman secara khusus dengan
sejarah Nabi Ibrahim dan ajarannya, karena praktik-praktik ritual ibadah ini
memiliki keterkaitan dengan pengalaman-pengalaman yang dialami Nabi Ibrahim
bersama keluarganya. Para ilmuwan seringkali berbicara tentang
penemuan-penemuan manusia yang memengaruhi atau bahkan merubah jalannya sejarah
kemanusiaan. Tapi, seperti ditulis al-Akkad, penemuan yang dikaitkan dengan
Nabi Ibrahim merupakan penemuan manusia terbesar dan yang tak dapat diabaikan
para ilmuwan atau sejarawan, ia tak dapat dibandingkan dengan penemuan roda,
api, listrik, atau rahasia-rahasia atom betapa pun besarnya pengaruh
penemuan-penemuan tersebut.
Haji,
dalam pemahaman Syari’ati, merupakan kepulangan manusia kepada Allah yang
mutlak, yang tidak memiliki keterbatasan dan yang tidak diserupai oleh sesuatu
apapun. Kepulangan kepada Allah merupakan gerakan menuju kesempurnaan,
kebaikan, keindahan, kekuatan, pengetahuan, nilai dan fakta-fakta. Dengan
melakukan perjalanan menuju keabadian ini, tujuan manusia bukanlah untuk
binasa, tetapi untuk 'berkembang'. Tujuan ini bukan untuk Allah, tetapi untuk
mendekatkan diri kepada-Nya. Makna-makna tersebut dipraktikkan dalam
pelaksanaan ibadah haji, dalam acara-acara ritual, atau dalam tuntunan
non-ritualnya, dalam bentuk kewajiban atau larangan, dalam bentuk nyata atau
simbolik dan semuanya, pada akhirnya mengantarkan seorang haji hidup dengan
pengamalan dan pengalaman kemanusiaan universal.
Semisal,
dalam konteks niat sambil menanggalkan pakaian biasa dan mengenakan pakaian
ihram, haji memiliki makna yang lebih universal dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Pakaian ihram melambangkan pola, preferensi, status dan perbedaan-perbedaan
tertentu. Tak dapat disangkal bahwa pakaian, pada kenyataannya dan juga menurut
Al-Quran berfungsi sebagai pembeda antara seseorang atau sekelompok dengan
lainnya. Pembedaan tersebut dapat mengantar kepada perbedaan status sosial, ekonomi
atau profesi. Pakaian juga dapat memberi pengaruh psikologis pada pemakainya.
Di Miqat Makany, di tempat di mana ritual ibadah haji dimulai, perbedaan dan
pembedaan tersebut harus ditanggalkan. Semua harus memakai pakaian yang sama.
Pengaruh-pengaruh psikologis dari pakaian harus ditanggalkan, hingga semua
merasa dalam satu kesatuan dan persamaan.
Di
Miqat ini, apapun ras dan suku harus dilepaskan. Semua pakaian yang dikenakan
sehari-hari yang membedakan sebagai serigala (yang melambangkan kekejaman dan
penindasan), tikus (yang melambangkan kelicikan), anjing (yang melambangkan
tipu daya), atau domba (yang melambangkan penghambaan) harus di tinggalkan.
Semua ditinggalkan ketika Miqat dan seorang haji berperan sebagai manusia yang
sesungguhnya. Di Miqat, dengan mengenakan dua helai pakaian berwarna
putih-putih, sebagaimana yang akan membalut tubuh manusia ketika ia mengakhiri
perjalanan hidup di dunia ini, seorang yang melaksanakan ibadah haji akan
merasakan jiwanya dipengaruhi oleh pakaian ini. Ia akan merasakan kelemahan dan
keterbatasannya, serta pertanggungjawaban yang akan ditunaikannya kelak di
hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Ka'bah
yang dikunjungi, dalam pemahaman Syari'ati, mengandung pelajaran yang amat
berharga dari segi kemanusiaan. Di sana, misalnya, ada Hijr Ismail yang arti
harfiahnya pangkuan Ismail. Di sanalah Ismail putra Ibrahim, pembangun Ka'bah
ini pernah berada dalan pangkuan Ibunya yang bernama Hajar, seorang perempuan
hitam, miskin, bahkan budak, yang konon kuburannya pun di tempat itu. Namun
demikian, budak perempuan ini ditempatkan Tuhan di sana atau peninggalannya
diabadikan Tuhan, untuk menjadi pelajaran bahwa Allah memberi kedudukan untuk
seseorang bukan karena keturunan atau status sosialnya, tapi karena
kedekatannya kepada Allah dan usahanya untuk menjadi Hajar atau berhijrah dari
kejahatan menuju kebaikan, dari keterbelakangan menuju peradaban.
Selain
itu, melalui buku setebal 260 halaman ini, Syari’ati juga mengupas makna
pengorbanan Ismail yang hingga kini diabadikan umat muslim di seluruh penjuru
dunia, makna Idul Adha, makna bermalam di Mina serta makna beberapa ritual
lainnya. Syari'ati, melalui buku ini, hendak menunjukkan kepada kita bahwa
sesungguhnya haji bukanlah sekadar prosesi lahiriah formal belaka, melainkan
sebuah momen revolusi lahir dan batin untuk mencapai kesejatian diri sebagi
manusia. Dengan kata lain, orang yang sudah berhaji haruslah menjadi manusia
yang 'tampil beda' (lebih lurus hidupnya) dibanding sebelumnya, dan ini adalah
kemestian. Kalau tidak, sesungguhnya kita hanyalah wisatawan yang berlibur ke
Tanah Suci di musim haji, tidak lebih. Buku ini amat penting untuk dibaca oleh
siapapun, sebagai upaya untuk menumbuhkan kesadaran baru akan makna haji yang
hakiki.[*]
*) Pustakawan Hasyim Asy'ari Institute, Yogyakarta
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar