Judul buku: Malapetaka Demokrasi Pasar
Penulis: Coen Husein Pontoh Penerbit: Resist Book Cetakan: Pertama, Agustus 2005 Tebal: 192 halaman |
Hakikat kemerdekaan sebuah bangsa adalah manakala dirinya mampu
menentukan kebijakan dan masa depan bangsanya dengan kekuatan sendiri. Dan,
ketika kekuatan luar sudah merasuki sendi-sendi kehidupan bangsa dan
mengintervensi kebijakan dalam negeri, maka dengan sendirinya hakikat
kemerdekaan itu akan sirna seketika. Bagaimanakah dengan kemerdekaan Indonesia
kini?
Proklamasi kemerdekaan Indonesia telah berusia 60 tahun. Bukan
waktu yang sebentar, tapi cukup lama bagi sebuah bangsa untuk bisa bangkit dan
tetap mempertahankan kemerdekaan. Kata petuah, merebut itu lebih mudah daripada
mempertahankan. Sebagai generasi muda, kita patut bertanya pada diri sendiri,
apa yang telah kita perbuat terhadap warisan yang bernama “kemerdekaan”?
Jangan-jangan sekarang kita sudah tidak merdeka (lagi).
Kini banyak kalangan menakbirkan bahwa Indonesia baru bangkit dari
etape krisis yang berkepanjangan. Saat gerakan reformasi berhasil menggulingkan
kepemimpinan Soeharto, mereka latah menyebutnya sebagai era transisi menuju
“demokrasi”. Jadi, demokrasi yang dulu pernah dipropagandakan oleh Orde Baru
adalah ilusi belaka, bukan demokrsi yang sesungguhnya. Sebab kekuatan demokrasi
yang seharusnya di tangan rakyat, beralih ke satu titik muara yaitu Soeharto wa
ala alihi wa shahbihi ajma’in (baca: Soeharto dan kroni-kroninya). Era transisi
ini tercermin antara lain lewat fenomena multi partai, pemilihan secara
langsung, dan kebebasan pers. Benarkah transisi yang sedang terjadi akan menuju
demokrasi (yang sesungguhnya)?
***
Sejak runtuhnya rezim otoriter yang didahului dengan krisis
moneter, pertengahan tahun 1997, Indonesia kian terombang-ambing. Instabilitas
politik, keamanan, dan involusi kesejahteraan rakyat membuncah tak
terkendalikan. Ternyata disadari atau tidak, kondisi ini dimanfaatkan oleh
kekuatan asing sebagai “pintu masuk”. Agenda yang mereka bawa adalah
“neoliberalisme” (demokrasi pasar). Melalui agen-agennya, semisal IMF dan World
Bank, agenda neoliberalisme perlahan memasuki sendi-sendi kehidupan dan
struktural bangsa. Gerakan inilah yang mulai membumikan jargon “transisi menuju
demokrasi”, yang kemudian diamini oleh banyak kalangan.
Tetapi, buku karya Coen Husein Pontoh ini punya nada berbeda. Buku
ini mengajak kita untuk tidak menelan mentah-mentah imajinasi masa depan soal
era transisi –yang katanya—menuju demokrasi. Sebab, penulis buku ini tidak
menginginkan demokrasi yang dikonstruk oleh kekuatan asing, di mana muara dari
transisi tersebut adalah neoliberalisme. Dengan begitu, seluruh rakyat
Indonesia akan dipaksa patuh pada doktrin khas neoliberalisme:
liberalisasi-privatisasi-deregulasi.
Contoh konkrit soal ini adalah keterlibatan IMF dalam perekonomian
nasional yang dimulai sejak ditandatanganinya Letter of Intent (LoI) antara
Indonesia dengan IMF, 15 Januari 1998. Lalu, apakah yang terjadi? Pulihkan
kondisi ekonomi Indonesia yang sedang dirundung krisis? Ternyata, program
reformasi ekonomi itu berbuntut menggunungnya utang luar negeri. Sebab, semua
masalah yang sedang dihadapi oleh negeri ini selalu bertumpu pada utang sebagai
solusi. Akibatnya, Indonesia harus membuka peluang liberalisasi impor,
investasi asing dengan fasilitas khusus, intervensi kebijakan pemerintah, dan
membuka pintu privatisasi (penjualan aset negara) selebar-lebarnya.
Jika begini adanya, maka persoalan sekarang bukan demokrasi
vis-à-vis otoritarianisme, tapi demokrasi model apa dan untuk kepentingan
siapa? Dengan memakai pisau analisa Thomas Carothers, buku ini mengemukakan,
gagalnya transisi menuju demokrasi disebabkan oleh dogma, bahwa domain ekonomi
dan domain politik berdiri terpisah. Ini merupakan alur pikir yang bersumber
dari tradisi Weberian. Di mana ekonomi dan politik (pasar dan negara)
berhubungan secara eksternal, terpisah, dan saling berhadap-hadapan.
Implikasinya, pengaturan negara tidak singkron dengan globalisasi dan modal
transnasional yang bebas melanglangbuana sebagai sebuah logika yang eksternal.
Konsekwensinya, jika ingin kekuatan pasar bekerja, maka harus diupayakan agar
negara semakin tak berdaya dan hanya berfungsi sebagai regulator, tak lebih
dari itu (hlm. 22).
Nah, ketika negara sekadar sebagai lembaga regulator, maka
sebenarnya ia telah menyembunyikan watak oligharkis dari kekuasaan (asing).
Dengan begitu, bangsa ini sudah tidak merdeka (lagi), sebab sedang “dijajah”
oleh pihak asing. Bedanya, saat zaman revolusi fisik upaya imperialisme
dilakukan melalui penyerbuan fisik, kini upaya tersebut berjalan melalui
infiltrasi modal asing dan penguasaan aset industri. Pada tahap transisi model
ini, yang terjadi bukanlah konsolidasi demokrasi, tapi konsolidasi oligharki;
bukan revolusi demokratik, tapi—meminjam istilah Miguel Angel Centeno—revolusi
teknokratik. Bagaimanakah respon gerakan prodemokrasi ketika berhadapan dengan
fakta seperti ini?
Untuk menghadang laju neoliberalisme, Coen Husain Pontoh dalam
buku ini membedah dan menyuguhkan ulasan studi kasus di negara Rusia (hlm. 37)
dan Argentina (hlm. 99). Dari kasus-kasus yang disajikan itu, kita diharapkan
mampu menangkap pesan, bahwa model transisi yang berujung pada neoliberalisme
sesungguhnya adalah jebakan yang akan memenjarakan demokrasi rakyat, dan
menjerumuskannya pada dilema krisis yang berkepanjangan.
Pergolakan gerakan prodemokrasi kedua negara tersebut
menggambarkan begitu gigihnya perjuangan mereka dalam membangun demokrasi
dengan sikap dan kebijakan yang lantang untuk menolak agenda neoliberal
(democratization agains neoliberalism). Mereka yakin dan percaya, sumber utama
gagalnya demokrasi, menguatnya oligharki, dan krisis yang berkepanjangan adalah
akibat diterapkannya sistem demokrasi pasar, yang mengarusutamakan liberalisasi
ekonomi, privatisasi, dan deregulasi.
Buku yang berjudul Malapetaka Demokrasi Pasar ini tidak ingin
menggebyah uyah harus menggunakan metode yang digunakan oleh kedua negara
tersebut, tapi lebih bersifat reflektif dan mengajak belajar dari kasus negara
lain sebagai bahan pengayaan dalam merancang strategi gerakan untuk mengawal
transisi agar tidak terjadi anomali. Sayangnya, buku ini terkesan terlalu
banyak cerita daripada analisa, sehingga titik tekan “teoritis-praksis” terasa
kurang tajam. Meski demikian, buku ini tetap menarik untuk diapresiasi dan dijadikan
renungan kemerdekaan. Masihkah kita “merdeka”? [*]
*)
Abdullah Ubaid, Anggota Ruang Baca Tempo, dan Peneliti pada Lembaga
Pengembangan Sumberdaya Pesantren dan Masyarakat (LPSPM), Banten.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar