Jumat, 21 Maret 2014

Malapetaka Demokrasi Pasar

Judul buku: Malapetaka Demokrasi Pasar
Penulis: Coen Husein Pontoh
Penerbit: Resist Book
Cetakan: Pertama, Agustus 2005
Tebal: 192 halaman

Hakikat kemerdekaan sebuah bangsa adalah manakala dirinya mampu menentukan kebijakan dan masa depan bangsanya dengan kekuatan sendiri. Dan, ketika kekuatan luar sudah merasuki sendi-sendi kehidupan bangsa dan mengintervensi kebijakan dalam negeri, maka dengan sendirinya hakikat kemerdekaan itu akan sirna seketika. Bagaimanakah dengan kemerdekaan Indonesia kini?
Proklamasi kemerdekaan Indonesia telah berusia 60 tahun. Bukan waktu yang sebentar, tapi cukup lama bagi sebuah bangsa untuk bisa bangkit dan tetap mempertahankan kemerdekaan. Kata petuah, merebut itu lebih mudah daripada mempertahankan. Sebagai generasi muda, kita patut bertanya pada diri sendiri, apa yang telah kita perbuat terhadap warisan yang bernama “kemerdekaan”? Jangan-jangan sekarang kita sudah tidak merdeka (lagi).
Kini banyak kalangan menakbirkan bahwa Indonesia baru bangkit dari etape krisis yang berkepanjangan. Saat gerakan reformasi berhasil menggulingkan kepemimpinan Soeharto, mereka latah menyebutnya sebagai era transisi menuju “demokrasi”. Jadi, demokrasi yang dulu pernah dipropagandakan oleh Orde Baru adalah ilusi belaka, bukan demokrsi yang sesungguhnya. Sebab kekuatan demokrasi yang seharusnya di tangan rakyat, beralih ke satu titik muara yaitu Soeharto wa ala alihi wa shahbihi ajma’in (baca: Soeharto dan kroni-kroninya). Era transisi ini tercermin antara lain lewat fenomena multi partai, pemilihan secara langsung, dan kebebasan pers. Benarkah transisi yang sedang terjadi akan menuju demokrasi (yang sesungguhnya)?
***
Sejak runtuhnya rezim otoriter yang didahului dengan krisis moneter, pertengahan tahun 1997, Indonesia kian terombang-ambing. Instabilitas politik, keamanan, dan involusi kesejahteraan rakyat membuncah tak terkendalikan. Ternyata disadari atau tidak, kondisi ini dimanfaatkan oleh kekuatan asing sebagai “pintu masuk”. Agenda yang mereka bawa adalah “neoliberalisme” (demokrasi pasar). Melalui agen-agennya, semisal IMF dan World Bank, agenda neoliberalisme perlahan memasuki sendi-sendi kehidupan dan struktural bangsa. Gerakan inilah yang mulai membumikan jargon “transisi menuju demokrasi”, yang kemudian diamini oleh banyak kalangan.
Tetapi, buku karya Coen Husein Pontoh ini punya nada berbeda. Buku ini mengajak kita untuk tidak menelan mentah-mentah imajinasi masa depan soal era transisi –yang katanya—menuju demokrasi. Sebab, penulis buku ini tidak menginginkan demokrasi yang dikonstruk oleh kekuatan asing, di mana muara dari transisi tersebut adalah neoliberalisme. Dengan begitu, seluruh rakyat Indonesia akan dipaksa patuh pada doktrin khas neoliberalisme: liberalisasi-privatisasi-deregulasi.
Contoh konkrit soal ini adalah keterlibatan IMF dalam perekonomian nasional yang dimulai sejak ditandatanganinya Letter of Intent (LoI) antara Indonesia dengan IMF, 15 Januari 1998. Lalu, apakah yang terjadi? Pulihkan kondisi ekonomi Indonesia yang sedang dirundung krisis? Ternyata, program reformasi ekonomi itu berbuntut menggunungnya utang luar negeri. Sebab, semua masalah yang sedang dihadapi oleh negeri ini selalu bertumpu pada utang sebagai solusi. Akibatnya, Indonesia harus membuka peluang liberalisasi impor, investasi asing dengan fasilitas khusus, intervensi kebijakan pemerintah, dan membuka pintu privatisasi (penjualan aset negara) selebar-lebarnya.
Jika begini adanya, maka persoalan sekarang bukan demokrasi vis-à-vis otoritarianisme, tapi demokrasi model apa dan untuk kepentingan siapa? Dengan memakai pisau analisa Thomas Carothers, buku ini mengemukakan, gagalnya transisi menuju demokrasi disebabkan oleh dogma, bahwa domain ekonomi dan domain politik berdiri terpisah. Ini merupakan alur pikir yang bersumber dari tradisi Weberian. Di mana ekonomi dan politik (pasar dan negara) berhubungan secara eksternal, terpisah, dan saling berhadap-hadapan. Implikasinya, pengaturan negara tidak singkron dengan globalisasi dan modal transnasional yang bebas melanglangbuana sebagai sebuah logika yang eksternal. Konsekwensinya, jika ingin kekuatan pasar bekerja, maka harus diupayakan agar negara semakin tak berdaya dan hanya berfungsi sebagai regulator, tak lebih dari itu (hlm. 22).
Nah, ketika negara sekadar sebagai lembaga regulator, maka sebenarnya ia telah menyembunyikan watak oligharkis dari kekuasaan (asing). Dengan begitu, bangsa ini sudah tidak merdeka (lagi), sebab sedang “dijajah” oleh pihak asing. Bedanya, saat zaman revolusi fisik upaya imperialisme dilakukan melalui penyerbuan fisik, kini upaya tersebut berjalan melalui infiltrasi modal asing dan penguasaan aset industri. Pada tahap transisi model ini, yang terjadi bukanlah konsolidasi demokrasi, tapi konsolidasi oligharki; bukan revolusi demokratik, tapi—meminjam istilah Miguel Angel Centeno—revolusi teknokratik. Bagaimanakah respon gerakan prodemokrasi ketika berhadapan dengan fakta seperti ini?
Untuk menghadang laju neoliberalisme, Coen Husain Pontoh dalam buku ini membedah dan menyuguhkan ulasan studi kasus di negara Rusia (hlm. 37) dan Argentina (hlm. 99). Dari kasus-kasus yang disajikan itu, kita diharapkan mampu menangkap pesan, bahwa model transisi yang berujung pada neoliberalisme sesungguhnya adalah jebakan yang akan memenjarakan demokrasi rakyat, dan menjerumuskannya pada dilema krisis yang berkepanjangan.
Pergolakan gerakan prodemokrasi kedua negara tersebut menggambarkan begitu gigihnya perjuangan mereka dalam membangun demokrasi dengan sikap dan kebijakan yang lantang untuk menolak agenda neoliberal (democratization agains neoliberalism). Mereka yakin dan percaya, sumber utama gagalnya demokrasi, menguatnya oligharki, dan krisis yang berkepanjangan adalah akibat diterapkannya sistem demokrasi pasar, yang mengarusutamakan liberalisasi ekonomi, privatisasi, dan deregulasi.
Buku yang berjudul Malapetaka Demokrasi Pasar ini tidak ingin menggebyah uyah harus menggunakan metode yang digunakan oleh kedua negara tersebut, tapi lebih bersifat reflektif dan mengajak belajar dari kasus negara lain sebagai bahan pengayaan dalam merancang strategi gerakan untuk mengawal transisi agar tidak terjadi anomali. Sayangnya, buku ini terkesan terlalu banyak cerita daripada analisa, sehingga titik tekan “teoritis-praksis” terasa kurang tajam. Meski demikian, buku ini tetap menarik untuk diapresiasi dan dijadikan renungan kemerdekaan. Masihkah kita “merdeka”? [*]

*) Abdullah Ubaid, Anggota Ruang Baca Tempo, dan Peneliti pada Lembaga Pengembangan Sumberdaya Pesantren dan Masyarakat (LPSPM), Banten.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar