Judul:
Membaca Sejarah Nusantara:
25 Kolom Sejarah Gus Dur
Penulis: Abdurrahman Wahid Penerbit: LKiS, Yogyakarta. Cetakan: I, Januari 2010 Tebal: xx + 134 halaman Peresensi: Akhmad Kusairi*) |
Sebagai
seorang anak bangsa, sosok Abdurrahman Wahid atau biasa dikenal dengan Gus Dur
dalam perjalanan hidupnya telah banyak menyumbangkan tenaga maupun pikiran bagi
berlangsungnya Indonesia sebagai sebuah bangsa. Sebagian orang sudah tidak
asing lagi dengan pemikiran-pemikirannya tentang agama, politik dan sosial
kemasyarakatan. Namun tahukah orang bahwa Gus Dur juga bisa menjadi sejarawan
yang menguasai berbagai literatur tentang sejarah.
Hal
ini lah yang membuat menarik hadirnya buku “Membaca Sejarah Nusantara: 25 Kolom
Sejarah Gus Dur” ini. Dengan analisisnya yang jeli, kritis, unik, dan terbilang
nakal, Gus Dur membuat dugaan-dugaan terhadap fakta-fakta sejarah masa lalu
yang terjadi di Indonesia (baca: Nusantara). Orang mungkin akan terkaget atau
setidaknya tergelitik membaca tafsir dan spekulasinya terhadap suatu peristiwa
sejarah yang selama ini mungkin sudah umum dipercayai sebagai 'kebenaran
sejarah', tiba-tiba digoyangnya sedemikian rupa sehingga mau tidak mau orang
pun akan melakukan peninjauan ulang.
Penguasaan
Gus Dur atas bentangan sejarah nusantara dibuktikan dengan perhatian atas
berbagai lakon sejarah, dari Sriwijaya, hingga ke masyarakat Tapanuli Selatan
di Medan. Tema-tema pilihan Gus Dur juga beragam dari kekuasaan, toleransi
agama, etnisitas, demokrasi, bahasa, gerakan politik, gerakan agama, pertanian,
LSM, gender, maritim, dan moralitas.
Penguasaan
materi ini tentu dimiliki Gus Dur dengan pembelajaran intensif melalui
pembacaan buku, diskusi, atau kunjungan ke pelbagai situs sejarah. Gus Dur
dalam sisi ini tampil sebagai intelektual yang peka terhadap sejarah. Modal ini
memberikan kontribusi untuk proyek penulisan sejarah nusantara secara
komprehensif.
Kejelian
dan keberanian Gus Dur dalam menganalisis terlihat misalnya dalam Cerita
mengenai pasukan China yang bersama-sama Raden Wijaya mengalahkan pamannya
Jayakatwang. Dalaam buku ini Gus Dur menulis bahwa Bukan Kubilai Khan dan
pasukannya yang menyerang Jayakatwang yang dibantu Raden Wijaya, melainkan
Raden Wijayalah yang dibantu pasukan China di bawah perwira-perwira angkatan
laut yang beragama Islam (sebagai-mana Laksamana Ma Chengho/Ma Zenghe, pendiri
Singapura). Pendirian ini pun masih harus ditambah dengan perbedaan yang lain,
yaitu tentang motivasi penyerangan: balas dendam, perluasan kekuasaan, soal
agama, atau yang lain. Dalam kasus ini Gus Dur mengingatkan betapa pentingnya
membaca sejarah lama kita dengan berbagai macam-macam versi, versi agamakah
atau versi pertentangan akibat ambisi pribadi? (hal 21)
Dalam
soal kaum modernis yang cenderung memaksakan perubahan Gus Dur mencontohkan
betapa di tanah Batak bagaimana gereja Kristen Protestan di tanah Batak yang
mengusulkan agar seorang pemimpin adat, yaitu Sisingamangaraja XII agar
diangkat sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah. Di sini tampak penghargaan
dari sebuah gerakan agama, Gereja untuk menghargai seorang Raja adat. Menurut
Gus Dur, dalam kasus di atas terlihat jelas hubungan simbiotik antara Raja Adat
dan gerakan keagamaan, karena keduanya adalah institusi yang berakar menjadi
tradisi yang kemudian menjadi satu kesatuan dalam hubungan saling mendukung dan
memberikan legitimasi. (hal 118)
Melihat
analisinya yang cerdas sepertinya Gusdur sudah sangat familiar dengan
sumber-sumber bacaan semacam, Nagara Kertagama-nya Prapanca, Serat Centhini,
Serat Cebolek, Babad Tanah ]awi, Babad Diponegoro, Kidung Kebo, Pakem Kajen. Di
samping itu pendapat ahli-ahli sejarah semacam Dr Taufik Abdullah, Yan Romien
(Belanda), Charles Issawi (Libanon), Mohamad Yamin, Kuntowijoyo, hingga ahli
purbakala, R. Boechori. Tentunya di sini ditambah dengan hasil olah pikirannya
sendiri.
Ada
cerita tentang asal usul kedatangan orang Arab dan China ke Indonesia; tentang
Pangeran Diponegoro; tentang Kerajaan Banten; tentang penyerangan Sultan Agung
ke Batavia, dan masih banyak lagi. Tapi yang lebih menarik, di samping
melakukan penafsiran-penafsiran, Gus Dur hampir selalu bisa mengaitkan
cerita-cerita sejarah lama itu dengan kehidupan masa kini; seperti mengaitkan
kisah Perang Bubat di zaman Hayam Wuruk dengan per-kembangan PKB (yang
dipimpinnya), mengaitkan pemerintahan Mesir Kuno zaman Pharao/ Fir'aun dengan
kejadian di pemerintahan Jepang di bawah PM Kaizumi dan soal otonomi daerah;
mengaitkan kisah Jaka Tingkir dengan Lembaga Swadaya Masyarakat.Cerita-cerita
sejarah masa lalu semacam itu masih banyak lagi dilihat dan diceritakan Gus
Dur.
Dan
Gus Dur bukanlah Gus Dur bila dalam ber-bicara tidak menyelipkan kritik. Maka
kita tak heran bila di sana-sini, dalam tulisan-tulisannya, kita temu-kan saja
kritik-kritiknya yang tajam yang umumnya juga tidak melenceng dari
prinsip-prinsip dasar yang diyakininya. Misalnya, dia dengan tajam terus
meng-kritik pemerintah: mengkritik politisi yang hipokrit dan mementingkan
kepentingan sendiri atau kelompok-nya, mengkritik pejabat-pejabat korup,
mengkritik sikap keberagamaan yang terlalu formalitas, dan sudah barang pasti
mengkritik MPR/DPR yang dianggapnya melanggar UUD 1945 dengan menyelenggarakan
SI untuk melengserkannya kemarin.
Gus
Dur dalam kapasitast sebagai seorang ilmuan yang “melek” sejarah merasa ada
keganjilan ketika harus mengisahkan sejarah tanpa jejak literatur. Keterbatasan
ini mungkin diakibatkan oleh ketidaksadaran penulisan sejarah pada masa lalu.
Konsekuensi dari kealpaan ini adalah pelacakan dan penyingkapan sejarah melalui
sumber-sumber lisan.
Memang
secara ilmiah kesahihan sumber lisan ini bisa diragukan, tapi juga membuka
kemungkinan untuk memunculkan perbandingan kritis dengan sumber tertulis
walaupun sedikit. Usulan ini diajukan karena Gus Dur sadar ada kemiskinan
sumber sejarah untuk lebih mengetahui kebenaran yang sudah terlepas dari bau
dongeng atas sebuah pristiwa sejarah.
Terlepas
dari semua kekurangannya, buku ini tetep merupakan sumbangan terpenting Gus Dur
untuk bangsa Indonesia untuk lebih mengenal lagi kisah masa lalu. Publik harus
mengapresiasi warisan esai ini secara konstruktif dan kritis. wacana sejarah
Gus Dur sangat gamblang dan memukau, tapi ada esai-esai tertentu mengesankan
keterbatasan Gus Dur dalam mengolah sumber informasi dan tidak lihai dalam
analisis.
Akhirnya
Buku ini harus dibaca sebagai refleksi kritis terhadap sejarah kita. Usaha Gus
Dur dalam menulis kumpulan esai ini menjadi bukti keunggulan Gus Dur dalam
membongkar wacana-wacana yang sudah telanjur menjadi dongeng.[*]
*) Peneliti pada The Al-Falah Institute Yogyakarta
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar