Senin, 24 Maret 2014

Memberangus Keadilan, Kisah Seorang Narapidana Muslim Kulit Hitam di Amerika

Judul: Memberangus Keadilan, Kisah Seorang Narapidana
          Muslim Kulit Hitam di Amerika
Judul Asli: All Things Censored
Penulis: Mumia Abu-Jamal
Penerbit: Profetik, Jakarta
Cetakan: I, 2005
Tebal: xlvi+575 halaman


Siapa yang percaya bahwa Amerika Serikat adalah kampiun sejati demokrasi, sebaiknya membaca tulisan-tulisan Mumia Abu-Jamal, seorang muslim kulit hitam Amerika yang divonis hukuman mati oleh penjara federal. Lewat tulisan dan pidato-pidatonya yang terbit dengan judul asli All Things Censored inilah, Mumia menegaskan bahwa klaim Amerika sebagai ideal type negara demokrasi hanyalah mimpi warisan Alexis Toqueville di tahun 1834.
Memberangus Keadilan adalah suara kejengkelan dari manusia yang mengalami berlapis-lapis penindasan sistematis, berjenjang, terlihat samar namun sesungguhnya telah mendarah daging dalam urat nadi sebuah negeri yang mengklaim dan (anehnya terus) diacu sebagai contoh paling baik dari penerapan demokrasi: Amerika Serikat. Di negeri Abang Sam itulah, Jamal menjadi “kompor” terbaru dari gerakan orang kulit hitam melawan diskriminasi rasial. Dia menempati posisi yang dulu ditempati sosok kaliber Malcolm X, Martin Luther King Jr., John Afrika, hingga Muhammad Ali.
Dari balik dinding Blok Hukuman Mati di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Huntingdon (mulai 1983) dan LP Greene (mulai 1995), keduanya di Pennsylvania, Jamal terus membuka dan membublikasikan wajah dekil penjara-penjara federal. Ia melakukannya baik lewat tulisan-tulisan maupun rekaman-rekaman wawancara atau pidato yang lantas disiarkan dalam program Democracy Now! di radio Pacifica. Jamal harus membayar mahal kenekatannya. Ia dikenai status Dicipline Custody Status (DCS) yang berarti Jamal dijebloskan dalam ruangan dan pengawasan berbeda yang jauh lebih ketat. DCS adalah penjara dalam penjara. Ini jelas ilegal dan melanggar Undang-Undang (UU). Tapi UU tak berlaku jika menyangkut seorang kulit hitam dengan mulut dan tulisan setajam Jamal!
Lewat publikasi yang dilakukannya, Jamal mencoba meruntuhkan “logika pembinaan“ yang mengukuhkan keberadaan penjara dan LP. Pemenjaraan dianggap sebagai media untuk “membina” dan “memperbaiki” moral dan kelakuan para penjahat agar sekeluarnya dari penjara atau LP, mereka bisa kembali ke masyarakat sebagai “orang baik-baik”. Dalam sejarah penologi (Soedjojono Dirdjosisworo, 1984: hal. 11-28), “logika pembinaan” dianggap sebagai fase paling manusiawi dari sistem hukuman. Dalam bentuknya yang paling purba, hukuman berarti balas dendam. Membunuh harus dibalas dengan kematian. Untuk menghindari spiral kekerasan, penjara didirikan untuk melindungi para penjahat dari balas dendam masyarakat. Sejak itu, penjara menganut “logika perlindungan”.
Pada 1777, seorang Inggris bernama John Howard melansir karya berjudul The State of the Prison in England and Wales. Karya tersebut berangkat dari keprihatinan Howard terhadap nasib para terhukum di pelbagai penjara Inggris Raya. Alih-alih melindungi terhukum dari balas dendam, penjara justru menjadi tempat di mana mereka dinistakan para sipir. Howard membuka jalan bagi perumusan “logika pembinaan”. Dalam logika ini, penjara dan LP dicita-citakan menjadi tempat mendidik para terhukum dan penjahat agar menjadi “manusia baik-baik”.
Jamal mendekam di LP yang mengklaim sebagai tempat pembinaan. Tapi yang dialami Jamal dan tahanan kulit hitam lain di blok hukuman mati bukanlah pembinaan, melainkan pembungkaman, penghancuran dan pembunuhan secara perlahan. Buku-buku dilarang, korespondensi hukum dengan pengacara disensor, dan beberapa diracuni makanannya.
Buku ini adalah penegasan atas apa yang pada 1975 ditegaskan Michael Foucault (1926-1984) lewat karya Discipline and Punish. Dari karya yang berangkat dari penelitian atas masyarakat Barat yang disebutnya memiliki tradisi represif, Foucault meyakinkan kita bahwa penjara mulanya dan pada akhirnya adalah perangkat represif negara untuk mengendalikan dan membungkam orang-orang yang dianggap “penjahat dan penyakit”.
Dalam tingkat yang berbeda dan dalam ujud yang lebih “sopan”, nasib Jamal tak ubahnya pembangkang masyhur dari Prancis, Marquise de Sade (1740-1814), yang dibungkam dan dinistakan hingga mati di rumah sakit jiwa yang lebih pas disebut penjara, Charenton.
Mumia Abu-Jamal lahir pada 24 April 1954 di Philadelphia. Riwayat kebandelan dan perlawanannya sudah tercatat di arsip FBI sejak usia 14 tahun, ketika bersama dua teman kulit hitamnya, Jamal mendatangi stadion tempat calon presiden Amerika yang merencanakan program pemisahan rasial, George Wallace, berkampanye. Di tengah ribuan orang kulit putih fanatik, ketiganya nekat meneriaki Wallace. Tentu saja ketiganya dipukuli massa dan aparat keamanan.
Ketika banting stir menjadi jurnalis mulai 1970, perlawanannya tak pernah surut. Kritik-kritik Jamal menghantam tidak hanya Departemen Kepolisian Philadelphia melainkan juga walikota Rizzo. Atas praktik jurnalisme yang dilakukannya itu, Jamal masuk daftar “jurnalis yang harus diwaspadai”. Akibatnya, karir jurnalis Jamal tak mulus. Ia dipecat karena liputan-liputannya yang kritis dan berani.
Hukuman mati yang diterimanya adalah buah dari kejahatan yang tidak ia lakukan. Jamal didakwa membunuh seorang polisi dengan menggunakan pistol. Lewat pengadilan yang tak adil, dengan juri yang didesain sedemikian rupa sehingga mayoritasnya adalah orang kulit putih, dengan hakim ketua seorang kulit hitam yang “terpaksa” mengundurkan diri karena tekanan yang kuat, Jamal dihukum mati pada 3 Juli 1982. Bandingnya ditolak.
Hukuman mati itu hingga kini urung dilaksanakan. Reputasi Jamal membuat banyak organisasi dan perorangan menandatangani penentangan vonis hukuman matinya. Dari mulai Amnesty international, Parlemen Eropa hingga tokoh kaliber Derrida dan Salman Rushdie. Grup band Rage Againts Machine nekat mengadakan konser amal untuk Jamal. Kendati dilarang, konser itu toh berhasil dengan sukses. Sebuah kemenangan yang wajar, meski lewat sebuah perjuangan tak kenal lelah yang hanya mungkin dilakukan oleh seorang dengan syaraf sekeras baja dan keyakinan sekukuh batu karang.
Memberangus Keadilan berisi pelbagai komentar Jamal ihwal beragam isu, baik lama maupun mutakhir. Membaca buku ini serasa menyaksikan kumpulan snapshot yang direkam dari jarak paling dekat. Menelusuri snapshot-snapshot itu, pembaca seakan berada di belakang seorang kameramen yang terus bergerak tanpa henti, mengambil dan merekam situasi penjara.
Memberangus Keadilan karenanya menjadi semacam milestone dari rute panjang yang ditempuh bangsa Amerika untuk sampai pada demokrasi yang diidealkannya. Dari milestone inilah, kita sadar bahwa demokrasi yang menawarkan janji persamaan hak itu potensial dirampatkan oleh orang-orang yang tak diuntungkan dengan cita-cita persamaan tadi. Dalam hal Amerika, orang-orang kulit putih yang (masih) berpikiran rasis adalah kanker bagi ide-ide demokrasi. Sayangnya, orang-orang seperti itu masih berkeliaran di mana-mana: di parlemen, kepolisian, pengadilan hingga media massa.
Jamal selalu mengingatkan hal itu. Seperti bunyi kalimat yang selalu dicantumkan di setiap akhir tulisan dan pidatonya: “Dari blok hukuman mati, saya Mumia Abu-Jamal”.
Kalimat penutup semua tulisan-tulisannya itu menegaskan bahwa Jamal tak ubahnya seorang reporter “Kantor Berita Persamaan dan Keadilan” yang dengan tekun melaporkan secara langsung dari tempat kejadian ihwal masih berbiaknya kuman ganas bagi kemanusiaan yang bernama rasisme dan diskriminasi.[*]

*) Zen Rachmat Sugito, Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta. Bekerja di Riset Independen Arsip Kenegaraan (RIAK) Jakarta

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar