Judul: Memberangus Keadilan, Kisah Seorang Narapidana
Muslim Kulit
Hitam di Amerika
Judul Asli: All Things Censored Penulis: Mumia Abu-Jamal Penerbit: Profetik, Jakarta Cetakan: I, 2005 Tebal: xlvi+575 halaman |
Siapa yang percaya bahwa Amerika Serikat adalah kampiun sejati
demokrasi, sebaiknya membaca tulisan-tulisan Mumia Abu-Jamal, seorang muslim
kulit hitam Amerika yang divonis hukuman mati oleh penjara federal. Lewat
tulisan dan pidato-pidatonya yang terbit dengan judul asli All Things Censored
inilah, Mumia menegaskan bahwa klaim Amerika sebagai ideal type negara
demokrasi hanyalah mimpi warisan Alexis Toqueville di tahun 1834.
Memberangus Keadilan adalah suara kejengkelan dari manusia yang
mengalami berlapis-lapis penindasan sistematis, berjenjang, terlihat samar
namun sesungguhnya telah mendarah daging dalam urat nadi sebuah negeri yang
mengklaim dan (anehnya terus) diacu sebagai contoh paling baik dari penerapan
demokrasi: Amerika Serikat. Di negeri Abang Sam itulah, Jamal menjadi “kompor”
terbaru dari gerakan orang kulit hitam melawan diskriminasi rasial. Dia
menempati posisi yang dulu ditempati sosok kaliber Malcolm X, Martin Luther
King Jr., John Afrika, hingga Muhammad Ali.
Dari balik dinding Blok Hukuman Mati di Lembaga Pemasyarakatan
(LP) Huntingdon (mulai 1983) dan LP Greene (mulai 1995), keduanya di
Pennsylvania, Jamal terus membuka dan membublikasikan wajah dekil
penjara-penjara federal. Ia melakukannya baik lewat tulisan-tulisan maupun
rekaman-rekaman wawancara atau pidato yang lantas disiarkan dalam program
Democracy Now! di radio Pacifica. Jamal harus membayar mahal kenekatannya. Ia
dikenai status Dicipline Custody Status (DCS) yang berarti Jamal dijebloskan
dalam ruangan dan pengawasan berbeda yang jauh lebih ketat. DCS adalah penjara
dalam penjara. Ini jelas ilegal dan melanggar Undang-Undang (UU). Tapi UU tak
berlaku jika menyangkut seorang kulit hitam dengan mulut dan tulisan setajam
Jamal!
Lewat publikasi yang dilakukannya, Jamal mencoba meruntuhkan
“logika pembinaan“ yang mengukuhkan keberadaan penjara dan LP. Pemenjaraan
dianggap sebagai media untuk “membina” dan “memperbaiki” moral dan kelakuan
para penjahat agar sekeluarnya dari penjara atau LP, mereka bisa kembali ke
masyarakat sebagai “orang baik-baik”. Dalam sejarah penologi (Soedjojono
Dirdjosisworo, 1984: hal. 11-28), “logika pembinaan” dianggap sebagai fase
paling manusiawi dari sistem hukuman. Dalam bentuknya yang paling purba,
hukuman berarti balas dendam. Membunuh harus dibalas dengan kematian. Untuk
menghindari spiral kekerasan, penjara didirikan untuk melindungi para penjahat
dari balas dendam masyarakat. Sejak itu, penjara menganut “logika
perlindungan”.
Pada 1777, seorang Inggris bernama John Howard melansir karya
berjudul The State of the Prison in England and Wales. Karya tersebut berangkat
dari keprihatinan Howard terhadap nasib para terhukum di pelbagai penjara
Inggris Raya. Alih-alih melindungi terhukum dari balas dendam, penjara justru
menjadi tempat di mana mereka dinistakan para sipir. Howard membuka jalan bagi
perumusan “logika pembinaan”. Dalam logika ini, penjara dan LP dicita-citakan
menjadi tempat mendidik para terhukum dan penjahat agar menjadi “manusia
baik-baik”.
Jamal mendekam di LP yang mengklaim sebagai tempat pembinaan. Tapi
yang dialami Jamal dan tahanan kulit hitam lain di blok hukuman mati bukanlah
pembinaan, melainkan pembungkaman, penghancuran dan pembunuhan secara perlahan.
Buku-buku dilarang, korespondensi hukum dengan pengacara disensor, dan beberapa
diracuni makanannya.
Buku ini adalah penegasan atas apa yang pada 1975 ditegaskan
Michael Foucault (1926-1984) lewat karya Discipline and Punish. Dari karya yang
berangkat dari penelitian atas masyarakat Barat yang disebutnya memiliki
tradisi represif, Foucault meyakinkan kita bahwa penjara mulanya dan pada
akhirnya adalah perangkat represif negara untuk mengendalikan dan membungkam
orang-orang yang dianggap “penjahat dan penyakit”.
Dalam tingkat yang berbeda dan dalam ujud yang lebih “sopan”,
nasib Jamal tak ubahnya pembangkang masyhur dari Prancis, Marquise de Sade
(1740-1814), yang dibungkam dan dinistakan hingga mati di rumah sakit jiwa yang
lebih pas disebut penjara, Charenton.
Mumia Abu-Jamal lahir pada 24 April 1954 di Philadelphia. Riwayat
kebandelan dan perlawanannya sudah tercatat di arsip FBI sejak usia 14 tahun,
ketika bersama dua teman kulit hitamnya, Jamal mendatangi stadion tempat calon
presiden Amerika yang merencanakan program pemisahan rasial, George Wallace,
berkampanye. Di tengah ribuan orang kulit putih fanatik, ketiganya nekat
meneriaki Wallace. Tentu saja ketiganya dipukuli massa dan aparat keamanan.
Ketika banting stir menjadi jurnalis mulai 1970, perlawanannya tak
pernah surut. Kritik-kritik Jamal menghantam tidak hanya Departemen Kepolisian
Philadelphia melainkan juga walikota Rizzo. Atas praktik jurnalisme yang
dilakukannya itu, Jamal masuk daftar “jurnalis yang harus diwaspadai”.
Akibatnya, karir jurnalis Jamal tak mulus. Ia dipecat karena liputan-liputannya
yang kritis dan berani.
Hukuman mati yang diterimanya adalah buah dari kejahatan yang
tidak ia lakukan. Jamal didakwa membunuh seorang polisi dengan menggunakan
pistol. Lewat pengadilan yang tak adil, dengan juri yang didesain sedemikian
rupa sehingga mayoritasnya adalah orang kulit putih, dengan hakim ketua seorang
kulit hitam yang “terpaksa” mengundurkan diri karena tekanan yang kuat, Jamal
dihukum mati pada 3 Juli 1982. Bandingnya ditolak.
Hukuman mati itu hingga kini urung dilaksanakan. Reputasi Jamal
membuat banyak organisasi dan perorangan menandatangani penentangan vonis
hukuman matinya. Dari mulai Amnesty international, Parlemen Eropa hingga tokoh
kaliber Derrida dan Salman Rushdie. Grup band Rage Againts Machine nekat
mengadakan konser amal untuk Jamal. Kendati dilarang, konser itu toh berhasil
dengan sukses. Sebuah kemenangan yang wajar, meski lewat sebuah perjuangan tak
kenal lelah yang hanya mungkin dilakukan oleh seorang dengan syaraf sekeras
baja dan keyakinan sekukuh batu karang.
Memberangus Keadilan berisi pelbagai komentar Jamal ihwal beragam
isu, baik lama maupun mutakhir. Membaca buku ini serasa menyaksikan kumpulan
snapshot yang direkam dari jarak paling dekat. Menelusuri snapshot-snapshot
itu, pembaca seakan berada di belakang seorang kameramen yang terus bergerak
tanpa henti, mengambil dan merekam situasi penjara.
Memberangus Keadilan karenanya menjadi semacam milestone dari rute
panjang yang ditempuh bangsa Amerika untuk sampai pada demokrasi yang
diidealkannya. Dari milestone inilah, kita sadar bahwa demokrasi yang
menawarkan janji persamaan hak itu potensial dirampatkan oleh orang-orang yang
tak diuntungkan dengan cita-cita persamaan tadi. Dalam hal Amerika, orang-orang
kulit putih yang (masih) berpikiran rasis adalah kanker bagi ide-ide demokrasi.
Sayangnya, orang-orang seperti itu masih berkeliaran di mana-mana: di parlemen,
kepolisian, pengadilan hingga media massa.
Jamal selalu mengingatkan hal itu. Seperti bunyi kalimat yang
selalu dicantumkan di setiap akhir tulisan dan pidatonya: “Dari blok hukuman
mati, saya Mumia Abu-Jamal”.
Kalimat penutup semua tulisan-tulisannya itu menegaskan bahwa
Jamal tak ubahnya seorang reporter “Kantor Berita Persamaan dan Keadilan” yang
dengan tekun melaporkan secara langsung dari tempat kejadian ihwal masih
berbiaknya kuman ganas bagi kemanusiaan yang bernama rasisme dan
diskriminasi.[*]
*) Zen Rachmat Sugito, Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta. Bekerja di Riset Independen Arsip Kenegaraan (RIAK) Jakarta
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar