Judul
buku: Membedah Mitos-mitos Budaya Massa
Penulis: Roland Berthes Penerbit: Jalasutra, Yogyakarta Cetakan I: Februari 2007 Tebal: Ixxv + 364 hlm Peresensi: Fathor Rasyid lt*) |
Di dalam era
virtual yang sarat informasi dan pencitraan dewasa ini, pe“mitos”an semakin
menemukan tempatnya di ketinggian yang melebihi realitas atau keasliannya. Bisa
saja pada realitasnya “hitam” sedang pada penampakannya “putih”, artinya di
dalam era virtual ini semua tampilan atau penampakan akan bertolak belakang
dari keaslian dan tercerabut dari subtansinya. Sebab itu tidak diherankan jika
kualitas seseorang atau pun kualitas pada suatu produk tidak menjadi tolak ukur
ditengah khalayak umum untuk dipilih, dibeli, atau dikonsumsi. Selagi kekuatan
mitos yang dimunculkan lewat promisi bisa mempengaruhi publik, maka itulah yang
akan menjadi keutamaan.
Sebab tujuan mitos
sendiri hanyalah untuk memikat, baik itu penglihatan, pendengaran, dan pikiran,
yang ujung-ujungnya kemudian membujuk dan memaksa (secara samar) audiennya untuk
menyenangi, memilih, membeli, dan seterusnya. Jika mengacu pada Jean Baudrilard
maka di dalam era virtual seperti sekarang ini tidak ada yang namanya
kebenaran, melainkan manipulasi; tidak ada kepercayaan, melainkan perdayaan;
tidak ada realitas, melainkan fatamorgana. Sebab itulah kejelian sangat
dibutuhkan untuk menguak mitos yang dimunculkan di berbagai iklan atau
kampanye. Bahkan tontonan biasa sekalipun, “mitos” akan menyusup di dalamnya
untuk mempengaruhi adien.
Dalam buku ini,
Roland Berthes menjelaskan bahwa mitos adalah suatu sistem komunikasi yang
mengandung pesan dengan fungsi gandanya yaitu, menunjukkan atau menjelaskan,
kemudian memaksa. Walau pun mitos merupakan suatu sistem komunikasi, namun
tidak serta merta mitos terbatas pada bentuk bahasa lisan atau tulisan. Menurut
Berthes semua hal bisa menjadi mitos, seperti fotografi, film, olahraga,
laporan, dan seterusnya (hal. 297). Misalnya, anggur dianggap oleh bangsa
Prancis sebagai milik mereka sendiri; foto-foto yang mengguncangkan di Galerie d’Orsay
dengan mereduksi berbagai kejadian yang terlalu belebihan, hal yang sama juga
terjadi dalam dunia gulat (hal. 9).
Berthes
mengungkapkan bahwa mitos pada sejatinya menjauh dari subtansinya. Apa yang
dimunculkan mitos hanyalah sekedar pencitraan belaka tentang baik dan buruk.
Apalagi dengan dukungan teknologi tinggi (high technology) seperti saat ini,
maka mitos tak lebih sekedar suatu sistem komunikasi untuk menyembunyikan
sebuah keaslian realitas atau pembodahan yang sempurna (dalam bahasa Berthes).
Dalam usahanya
menguak mitos yang telah mencapai kesempurnaan, Berthes menemukan pola
tiga-demensi dalam bahasa mitos yaitu, penanda, petanda, dan tanda. Penanda
adalah konsep untuk membuat sebuah petanda. Petanda adalah pelaksanaan dari
konsep sehingga menjadi sebuah citra. Dan yang merupakan penggabungan konsep
dan citra adalah tanda, sehingga mampu melahirkan mitos baik itu sempurna atau
pun tidak. Di mana kesemuanya tergantung pada kecermelangan melahirkan konsep
hingga kemudian menerapkannya menjadi tanda yang tak tercela atau mitos yang
sempurna; mitos yang mampu menghipnotis Publik. Semisal, mustahil kita mencela
film-film Barat yang begitu sempurna mengarungi dunia tanda, dari pada film
kita sendiri (Indonesia) yang kurang total dalam pencitraannya (tanda).
Karena mitos
merupakan sistim komunikasi yang membujuk, memikat, dan memaksa secara langsung
atau tidak langsung, maka mitos selalu mengandung unsur ideologi-politiok.
Semisal, untuk menanamkan sebuah indonesia yang stabil, maka acara laporan khusus
pada masa Orde Baru menjadi acara primadona; seorang pemimpin akan selalu
memperlihatkan penampilan yang berwibawa dalam berpakaian, berbicara (bahasa
lisan atau tubuh) tak lain hanya untuk merebut perhatian dan image yang baik
dihadapan publik, walau pada kenyataannya (di belakang publik) sikap dan
tindakannya jauh dari apa yang ditampilkan dan dibicarakan.
Contoh yang ganjil
juga terjadi pada dunia senitron pertelivisian kita saat ini yang dipandang
terlalu ideologis-politis. Di mana unsur religiusitas yang marak dalam senitron
kita sebenarnya tak mampu menyadarkan manusia secara hakiki, karena
religiusitas yang diangkat ke permukaan hanya bersifat simbolik dan tidak masuk
akal. Semisal, orang mati bangkit kembali dari alam kubur, kemudian menjadi hantu
yang bergentayangan. Hal seperti ini yang sebenarnya akan menghilangkan fungsi
agama secara esensial.
Memang mitos di
dalam era virtual saat ini telah mencapai puncak pengaruhnya di tengah
masyarakat, sehingga masyarakat benar-benar menjadi konsumen yang setia
mengikuti ritme-ritme mitos. Akibatnya, motif yang terkandung di dalamnya tidak
terungkapkan. Dan masyarakat hanya bisa menangkap pesan dari pencitraan,
kemudian asumsi yang muncul adalah baik dan buruk, cantik dan jelek, wibawa dan
tidak, walau pada kenyataannya yang sebenarnya tidak menunjukkan demikian.
Sebab itulah, di dalam era virtual ini orang-orang dengan begitu mudah
mendapatkan pencitraan sesuai dengan apa yang diinginkan, semisal menjadi binta
film atau penyanyi tampa harus merasakan pedihnya sebuah proses; menjadi
pemimpin tidak harus memiliki kapabelitas yang memadai, artis saja bisa menjadi
pemimpin. Semua itu tergantung pada totalitas dunia tanda (a form) yang
sempurna dalam menguasai khalayak umum.
Dari itulah untuk
melepaskan publik dari penjara mitos yang jelas menjerumuskan, perlu adanya
ketajaman analisis tentang mitos, baik itu tentang deminsi mitos (konsep,
citra, dan a form) atau pula mutif dari mitos (politis-ideologis). Sebab itulah
dalam buku ini, berthes, menyajikan berbagai contoh kontemporer seputar mitos
dan analisanya, Barthes berharap agar masyarakat mampu melepaskan belenggu
mitos yang akhir-akhir makin kuat dan samar.[*]
*) Alumni PP Lapang, Ambunten, Sumenep, Madura.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar