Judul Buku: Memilih Monogami;
Pembacaan
atas Al-Qur’an dan Hadits Nabi
Penulis: Faqihuddin Abdul Kadir Penerbit: Pustaka Pesantren, Yogyakarta Cetakan: I, Mei 2005 Tebal: lxvi + 218 halaman. |
Kebanyakan pemahaman, poligami dianggap sebagai ajaran Islam yang
bagi siapa yang tidak mengikuti berarti telah mensia-siakan anugrah Tuhan,
karena poligami telah disebutkan kebolehannya dalam Al-Qur'an (QS. 4:3). Tidak
hanya itu, Nabi pun bahkan telah mempraktikkan poligami. Maka dari itu, banyak pula
yang telah melakukan praktik poliogami. Akan tetapi, apakah kemudian ayat itu
serta merta memboleh praktik poligami, dalam konteks apakah Nabi melakukan
poligami, apakah konteks saat ini memungkin untuk mempertahankan praktik
poligami, sedangkan tindak kekerasan rumah tangga akibat poligami sejas adanya.
Tidak sedikit dari para perempuan yang menerima keberadaanya
sebagai madu—atau dimadu—karena ingin mempertahankan mahligai rumah tangga yang
sebenarnya telah berantakan akibat ulah sang suami. Mungkin mereka dengan
tenang mengatakan "kami akan mencoba bersabar dan menerima kenyataan ini
apa adanya".
Sebab, perceraian bukan saja berdampak secara psikis bagi
perempuan, melainkan juga nasib anak-anak mereka kelak.
Melalui buku ini, Faqihuddin Abdul Kadir mengupas kembali
pemahaman "kebolehan" poligami yang oleh sebagian kalangan dianggap
sebagai suatu kebolehan, bahkan sunnah mempraktikkannya. Kebolehan poligami,
seperti yang tertera dalam Al-Qur'an, mulai menjadi problem kekinian dimana
para suami tidak lagi meminta izin sang istri, tidak berlaku adil, dan bahkan
tidak mampu memberikan nafkah selayaknya. Memahami kandungan-kandungan ajaran
(baca teks) tentang poligami secara dangkal seringkali menyebabkan ketimpangan
realitas empirisnya antara teks dan konteks.
Menurut Faqihuddin, yang dilebih dianjurkan Islam, dalam konteks
kekinian adalah memilih poligami. Bahkan, lebih jauh ia menyatakan bahwa hukum
monogami adalah sunnah. Sebab, sulit sekali mencari unsur adil dalam praktik
poligami. Oleh karena itu, Al-Qur’an sendiri, dalam surah An-Nisa' ayat 3,
telah mewanti-wanti agar berlaku adil terhadap istri-istri, dan apabila tidak,
maka yang dibolehkan hanyalah melakukan monogami. Akan tetapi, penafsiran ayat
tersebut juga sangat beragam. Seringkali pemaknaan secara literal terhadap
ayat-ayat al-Qur’an melahirkan pandangan-pandangan yang simplitis dan hitam
putih. Salah satunya pandangan bahwa poligami itu ibadah.
Dan yang perlu diperhatikan juga dari ayat tersebut adalah konteks
yang dibahas. Ayat tersebut tidaklah secara khusus membicarakan poligami,
malainkan, bila merujuk pada ayat sebelum dan sesudahnya, hanyalah pembicaraan
sampingan. Maka menganggap ayat tersebut sebagai ayat yang menganjurkan
poligami adalah tidak tepat. Poligami memang disinggung dalam al-Qur’an, namun
tidak semua yang disebutkan didalamnya langsung disimpulkan sebagai ajaran atau
tuntunan.
Lebih lanjut Faqihuddin menegaskan tidak adanya anjuran poligami
dalam Islam. Hal ini ia dapati dari penelitian terhadap tafsir-tafsir ulama
klasik. Bahkan justru para ulama tafsir memasang “pagar batas” terhadap praktik
poligami. Pemagaran ini mengindikasikan bahwa poligami bukan sesuatu yang
direkomendasikan oleh para mufassirun (ulama tafsir). Tidak ada ulama yang
secara tegas berpendapat bahwa poligami merupakan ibadah (baca sunnah), karena
konteks poligami yang dilakukan oleh Nabi ialah sebagai bentuk pengangkatan
derajat perempuan, bukan penghamburan nafsu libido.
Keberadaan demikian juga diakibatkan salah kaprah dalam memahami
teks-teks poligami dan monogami. Seringkali yang tampak dipermukaan adalah
"teks" poligami, sedangkan "teks" monogami seakan tenggelam
dalam kedalaman. Akibatnya, kontruksi pemahaman yang berkembang menjadi tidak
adil, seakan penafsiran terhadap-teks-teks keagamaan menjadi milik laki-laki,
dan perempuan cukuplah dijadikan objek belaka. Padahal dalam realitasnya,
terutama saat ini, poligami tidak lagi bisa dipertahankan. Realitas saat ini
lebih menjadikan poligami sebagai pemuas nafsu libido.
Poligami dijadikan pembenaran untuk tindakan "pelecehan"
perempuan. Sekarang ini praktik poligami menjadi momok yang menakutkan bagi
kaum hawa. Maka dari itu, interpretasi perspektif feminim sangatlah dibutuhkan.
Perspektif perempuan yang dimaksud, menurut Faqihuddin, sebenarnya tidaklah memproduksi
wacana baru mengenai Islam yang antipoligammi, karena Islam adalah agama yang
dinamis-progresif yang juga harus hidup bersama realitas dari setiap masyarakat
yang menganutnya. Akan tetapi perspektif perempuan mendorong penelusuran
tradisi fiqh untuk menemukan, mempertajam, dan menegaskan argumentasi keadilan
dan keberpihakan pada korban ketimpangan praktik poligami, yang kemudian
menjadi basis kuat dan otoritatif untuk memilih monogami sebagai perkawinan
ideal dalam Islam.(hlm.37).
Setidaknya, kehadiran buku ini menghidupkan pemahaman tentang
keabsahan poligami dan sebagai dialektika pemahaman poligami di masa kini.
Bukankah praktik poligami saat ini sarat dengan manipulasi yang dibungkus
dengan lebel agama? Oleh karenanya, buku ini patut dijadikan pedoman. [*]
*) Lailatul Badriyah, mahasiswi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, pengkaji feminism
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar