Judul:
Menafsirkan Tradisi dan Modernitas:
Ide-ide Pembaharuan Islam
Penulis: Wasid, dkk. Penerbit: Pustaka Idea, Surabaya Cetakan: I, Juli 2011 Tebal: 369 halaman ISBN: 978-602-99387-1-5 Peresensi: Abd. Basid |
Ada banyak ragam
seseorang dalam membaca realitas keagamaan dalam tiap fasenya. Ada yang
berpegang teguh pada kekuasaan teks dan sebaliknya ada yang mengabaikannya.
Penganut tipe yang pertama ini biasa disebut dengan kaum fundamentalis
sedangkan yang kedua disebut kaum rasionalis.
Kaum fundamentalis
berkeyakinan bahwa dalam membaca dan memaknai sebuah realitas harus
dikembalikan pada teks murni. Mereka mengajak seluruh masyarakat luas agar taat
terhadap teks-teks Kitab Suci yang otentik dan tanpa kesalahan. Karenanya faham
ini seringkali berbenturan dengan kelompok-kelompok lain, bahkan yang ada di
lingkungan agamanya sendiri. Ciri mereka yang menganut faham ini di antaranya
suka menolak perubahan, intoleransi, tertutup, kekakuan madzhab (aliran),
keras, tunduk kepada turats
(tradisi), kembali ke belakang, dan menentang pertumbuhan dan
perkembangan.
Kebalikan dari
fundamentalis adalah rasionalis. Kaum rasionalis beranggapan bahwa kebenaran
haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan analisis yang berdasarkan
fakta, daripada melalui iman, dogma, atau ajaran agama. Bagi mereka, sudah
bukan saatnya kita “menuhankan” tradisi. Semuanya harus berubah. Zaman modern
menuntut kita untuk berpikir logis dan empiris. Karenanya, bagi mereka, isu-isu
problematika yang semakin pelik di berbagai sektor ini harus dibaca dengan
logika. Ciri aliran ini adalah penolakannya terhadap perasaan (emosi),
adat-istiadat, atau kepercayaan yang sedang populer.
Dua aliran yang
saling bertentangan di atas, cukup kuat jika dikatakan laksana Tom and Jarry
yang tak pernah damai. Keduanya sama-sama perpegang teguh pada prinsipnya. Yang
pertama anti modernis dan yang kedua anti turats
(tradisi).
Selanjutnya,
bagaimana kita sebagai insan yang sudah menerima dan mendapatkan hasil olah
keduanya? Buku “Menafsirkan Tradisi dan Modernitas: Ide-ide Pembaruan Islam”,
saya kira bisa menjadi jawaban dari problematika di atas. Buku ini mencoba
membaca turats dan
modernitas dengan analisa para tokoh kontemporer Islam yang ide-idenya
dilandaskan pada pembaharuan Islam.
Sebut saja seperti
Muhammad Syahrur, Thoha Husain, dan Asghar Ali Engineer. Muhammad Syahrur
dengan teori limit-nya merespon keadaan zaman yang pelik ini (hal. 17-21).
Baginya, dunia hukum Islam tidaklah terkungkung bak tahanan dalam perjara.
Hukum Islam itu bebas bergerak selama dalam batas-batas yang ditentukan.
Batasan itu adalah Nabi Muhammad, di mana ia merupakan inspirasi awal untuk
melakukan sesuatu. Nabi Muhammad adalah penafsir pertama atas kondisi sosial
dunia ini.
Thoha Husain dengan
modal rasionalisme, tradisi ilmiah, dan kesejarahan menyikapi turast dan modernitas
dengan arif. Baginya, turats tidak harus ditolak dan begitu juga modernitas.
Dengan pemaduan turats dan
modernitas, Thoha Husain mencoba membaca ulang turats agar lebih bermakna bagi kemanusiaan
terkini (hal. 115-122).
Asghar Ali Engineer
dengan teori teologi pembebasannya membaca keterbelakangan Islam dari Barat. Ia
menggugat teologi klasik yang hanya berkutat pada pembebasan Tuhan dan
menghadirkan teologi kepasrahan. Baginya, keterbelakangan dan ketertindasan
umat Islam dikarenakan teologi yang tidak membebaskan. Untuk itu, ia menawarkan
teologi pembabasan (hal. 336-338), di mana teologi itu tidak hanya untuk
“membela” Tuhan, akan tetapi juga untuk “membela” manusia. Untuk hal ini,
Asghar Ali Engineer meneliti turats untuk dicari nuansa pembebasannya dan
mendialogkan dengan realitas kekinian.
Buku yang ditulis
keroyokan oleh para pemikir dan intelektual strata tiga Pemikiran Islam IAIN
Sunan Ampel Surabaya ini layak untuk dibaca para akademisi dan intelektual
keislaman secara umum. Topik buku ini, yang sampai mereka bawa ke dalam forum
diskusi—yang mereka istilahkan Forum “20”—sebelum terbit semakin menambah nilai
ketajaman analisis masing-masing penulisnya.
Sebagai catatan
akhir, ada dua catatan saya perihal buku ini, yaitu pertama, mengingat buku ini
merupakan kajian tokoh, seringkali ditemukan judul tulisan kurang mewakili isi
tulisan. Lihat saja, seperti pada tulisan yang berjudul “Membendung
Otoritarianisme, Mengusung Hermeneutika Negosiatif” (hal. 67). Tulisan dengan
judul tersebut berisi kajian terhadap pemikiran tokoh Khaled Abou El-Fadl,
namun judul itu kurang memberi informasi bahwa di dalamnya berisi pemikiran
tokoh Khaled Abou El-Fadl. Bagi para pembaca yang sudah berkecipung lama dengan
dunia pemikiran tokoh kontemporer, mungkin tidak asing bahwa teori Hermeutika
Negosiatif adalah teori interpretasi Khaled Abou El-Fadl, namun belum tentu
bagi pembaca yang baru (baca: pemula) berkecipung dalam dunia pemikiran
kontemporer? Hal serupa juga bisa ditemukan pada halaman-halaman lain seperti
halaman 23 (tentang pemikiran Hassan Hanafi), 43 (tentang pemikiran Muhammad
Syahrur), 109 (tentagn pemikiran Thaha Husain), 123 (tentang pemikiran Sayyed
Hussein Nasr), 219 (tentang pemikiran Baihaqi AK) dan 253 (tentang pemikiran
Fatima Mernessi).
Kedua, buku ini
terkesan buku foto copy-an, bukan cetakan asli, melihat lay out pinggirnya yang
mepet dengan tepi buku sehingga seakan-akan terpotong karena mau dijilid dan
ditambah lagi kertasnya yang buram.[*]
*) Sarjana theologi Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar