Judul:
Mendulang Pahala di Bulan Syawal
Penulis:
HM. Madchan Anies
ISBN: 979-8452-81-X Halaman: 160 hlm Ukuran: 12 x 18cm Cetakan: I, 2011 Penerbit: Pustaka Pesantren Peresensi: M Kamil Akhyari *) |
Sesak, antre dan
berdesak-desakan adalah pemandangan yang lazim kita lihat di terminal, stasiun
dan bandara tiap menjelang hari raya Idul Fitri. Masyarakat yang merantau ke
luar kota pulang kampung untuk merayakan hari kemenagan bersama keluarga dan
sanak famili. Mudik menjadi tradisi yang selalu menarik dilakukan masyarakat
perantau sekalipun harus menginap di stasiun dan antri berjam-jam di bawah
terik matahari. Para pemudik sepertinya merasakan “kenikmatan” di atas
kesengsaraan perjuangan demi mendapatkan selembar tiket untuk sampai ke
kampung halaman.
Jika kita baca
sejarah mudik, pulang kampung telah menjadi kebiasaan masyarakat perantau Jawa
ratusan tahun yang lalu. Umar Kayam (2002) menjelaskan istilah mudik telah ada
jauh sebelum Kerajaan Majapahit. Pada awalnya kegiatan ini digunakan untuk
membersihkan pekuburan atau makam leluhur, dengan disertai doa bersama kepada
dewa-dewa di Khayangan untuk mendapatkan berkah dan kemudahan dalam mencari
rezeki.
Namun, seiring
dengan perkembangan Islam di nusantara, para pejuang agama Islam memformulasi
budaya mudik dengan nilai-nilai keislaman, sehingga mudik menyatu dengan
lebaran. Pulang kampung yang semula di isi dengan ritual penyembahan dewa, oleh
para ulama diubah menjadi budaya sungkem, saling bermaaf-maafan agar kembali
suci ('id ila al-fithri),
silaturrahmi dengan sanak keluarga dan para sahabat dam berziarah ke makam
leluhur.
Mudik yang ada saat
ini adalah hasil akulturasi budaya Hindu-Jawa dan Islam, sehingga istilah
pulang kampung (mudik) tidak ditemukan padanannya di negara lain, termasuk
timur tengah. Sekalipun mudik telah diformulasikan dan tidak bertentangan
dengan ajaran Islam, ada sebagian masyarakat yang masih mempersoalkan tradisi
mudik. Menurut mereka mudik adalah perbuatan bid'ah dan sesat, sebab seluruh
macam tradisi dan kebiasaan yang tidak bersandar pada petunjuk syariat (Islam)
merupakan perkara bid’ah dan tertolak.
Menjawab hal itu,
buku “Mendulang Pahala di Bulan Syawal” penting untuk di baca. Mudik sebagai
budaya memang tak ada rujukan secara eksplisit dan tegas yang menjelaskan
tentang mudik dalam agama Islam, tapi ritual-ritual keagamaan dalam budaya
pulang kampung tak ada yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Silaturrahmi
Hampir setiap tahun
tradisi pulang kampung untuk berlebaran dilakukan masyarakat Islam agar dapat
bersilaturahmi dengan keluarga. Silaturrahmi adalah perintah agama yang tak
hanya sebatas dilakukan pada seseorang yang masih punya hubungan nasab.
Mengomentari hadits yang diriwayatkan Muslim (hadits no. 4.629), Imam Nawawi
menjelaskan bahwa kawan baik orang tua juga mempunyai keutamaan untuk
didatangi.
Terjalinnya
hubungan silaturrahmi dapat memperbaiki dan memperkuat hubungan baik dengan
orang lain, sehingga antara yang satu dengan yang lain dapat saling bertukar
informasi dan saling memberi (ta'awanu).
Pada giliran selanjutnya terciptalah persaudaraan nasionalisme (ukhuwah wathaniyah) dan
persaudaraan antar manusia (ukhuwah
basyariyah) (hal. 94).
Terjalinnya
persaudaraan nasionalisme dan antar manusia dapat memperkokoh tegaknya sebuah
negara untuk jadi bangsa yang makmur. Adanya jutaan orang yang mudik untuk
bersilaturahmi bukan hanya menguntungkan jasa angkutan, tapi gerak laju
perekonomian juga terdorong seperti banyaknya para pemudik yang memborong jajan
sebagai oleh-oleh (hal. 111-112).
Halal
Bihalal
Selain silaturrahmi,
tradisi yang beredar di tengah masyarakat Indonesia setelah lebaran (Idul
Fitri) adalah tradisi halal bihalal. Halal bihalal merupakan produk negeri ini
yang unik. kenapa demikian..? karena istilahnya berasal dari bahasa Arab namun
budaya tersebut tidak ditemukan di negara Arab, sehingga tradisi halal bihalal
menuai kontroversi.
Dalam Al Qur'an dan
hadits tak ada dalil yang secara jelas menjelaskan praktek halal bihalal, tapi
landasan hukumnya tegas, seperti hadits perintah meminta halal ketika kita
berbuat zalim (dosa) terhadap orang lain (riwayat Imam Bukhari no. 2.269,
Tirmidzi no. 2.343 dan Muslim no. 2.342).
Saling
bermaaf-maafan setelah lebaran merupakan momentum untuk mengembalikan diri
kembali ke kesucian secara kaffah
('id ila al-fithri) dari perbuatan dosa, baik yang ada kaitannya
dengan hak Tuhan ataupun manusia (haq
al-adami). Pemilihan bulan Syawal adalah agar dosa umat Islam yang
berpuasa dan berhari raya benar-benar terhapus semuanya (hal. 136-137).
***
Pemahaman
masyarakat kita selama ini bulan yang paling mulya bulan Ramadhan, sehingga tak
ada bulan lain yang mengunggulinya. Sementara bulan-bulan lainnya sama, padahal
bulan Syawal adalah bulan yang tak kalah pentingnya untuk kita ketahui.
Berbagai peristiwa bersejarah terjadi di bulan Syawal. Buku “Mendulang Pahala
di Bulan Syawal” mencoba mengangkat makna di balik bulan Syawal dan berbagai
peristiwa bersejarah.
Yang tak kalah
pentingnya, buku tipis ini mengupas tuntas berbagai peristiwa kebudayaan yang
terjadi di bulan Syawal yang di klaim bid'ah dan sesat. Dalam buku ini kita
akan menemukan jawaban tradisi halal bihalal. Wallahu a'lam.[*]
*) Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) bergiat di Taman Baca Baet el Kamil
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar