Judul:
Politik Para
Teroris
Penulis: Mutiara Andalas Penerbit: Kanisius, Yogyakarta Cetakan: I (Pertama), 2010 Tebal:132 halaman Harga: Rp. 25.000,- Peresensi: Humaidiy AS *) |
Entah
atas dasar apa pun, kekerasan selamanya tidak akan dibenarkan oleh semua negara
dan agama manapun. Ideologi perang dan kekerasan di masa lalu, terbukti banyak
menimbulkan kebangkrutan dan kemunduran peradaban. Terorisme merupakan
lingkaran setan yang berdampak buruk bagi pelaku dan korban sekaligus. Dampak
yang paling terasa tentu bukan hanya aspek materi, semisal aspek pariwisata
yang ditandai dengan berkurangnya jumlah wisatawan saja, ataupun terganggunya
stabilitas politik-ekonomi negara.
Lebih
dari itu, dampak terorisme yang berdampak jangka panjang dan massif jauh lebih
mengkhawatirkan, yakni tercerabutnya nilai-nilai kemanusiaan dan toleransi
agama dikarenakan terorisme selalu dikaitkan dengan agama tertentu. Jika ini
terjadi, tentu solidaritas yang selama ini dibangun semua elemen bangsa yang ber-bhinika
tunggal ika ini menjadi sia-sia.
Siapa
pun, kecuali kaum teroris – tentu akan mengutuk terorisme. Dilihat dari sisi
mana pun, aksi teroris bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal
dan nilai-nilai esensial semua agama. Terorisme hampir identik dengan dendam,
kebencian, dan kemarahan yang dimanifestasikan dalam bentuk-bentuk kebrutalan,
perusakan, dan pembunuhan massal. Akibatnya, manusia-manusia yang tidak berdosa
ikut menjadi sasaran sebagaimana terjadi pada serangan teroris atas menara
kembar WTC New York dan Pentagon 11 September 2001 dan memakan ratusan korban
meninggal. Belum lagi yang luka parah, dan derita-derita lain yang
mengiringinya. Juga ribuan orang yang belum ditemukan sampai sekarang.
Atas
dasar keprihatinan itulah, Mutiara Andalas melalui buku terbarunya yang
berjudul Politik Para Teroris mengingatkan kepada kita bahwa setiap
peristiwa terror, yang menjadi korban sejatinya adalah manusia tidak berdosa.
Melalui buku ini, Andalas memberikan pemahaman baru tentang terorisme, teroris,
dan mengapa orang mau menjadi teroris? Latar belakang penulis yang menggeluti
filsafat dan teologi, membuat buku ini sangat menarik dan berbeda dengan
buku-buku lain tentang terorisme, salah satunya penegasan penulis a secara
khusus mencermati nasib korban teror dari segenap tragedi kemanusiaan yang
diciptakan pelaku terorisme (hlm. 47-57).
Agama
memang seperti dua mata pisau. Di satu sisi, agama mampu menjadi kekuatan
pembebas dan pembela nilai-nilai kemanusiaan. Di sisi yang lain, agama pun kerapkali
menjadi kekuatan penyebab konflik dan pertahanan rezim kekuasaan. Dengan dalih
agama itulah misalnya, para teroris dengan sengaja melakukan “pembajakan”
terhadap kitab suci sebagai legitimasi segenap kebiadaban dan ketakutan di
tengah masyarakat.
Munculnya
wacana terorisme secara global adalah sesaat setelah terjadinya peristiwa 9/11
(September Eleven). Seperti diketahui, Amerika Serikat melakukan operasi
besar-besaran untuk menghadang apa yang mereka sebut sebagai gerakan terorisme.
Operasi besar-besaran itu menggunakan adagium yang terkenal: “Neither with US
or againts US” ; bersama AS atau berhadapan dengan AS. Dan, dilakukanlah
operasi ini ke seluruh negara-negara dunia yang baik secara ekonomi, politik
maupun budaya di bawah pengaruh AS.
Ini
membuktikan, dominasi Barat terhadap dunia global tidak selamanya menghasilkan
pencerahan (enlighment), yakni ke arah perbaikan harkat,derajat dan
martabat manusia. Akan tetapi yang terjadi adalah timbulnya beragam kejahatan
berat yang merenggut nilai-nilai kemanusiaan. Berbagai fakta sejarah cukup
memberikan data betapa Barat telah melakukan “teror” kemanusiaan yang tidak
sedikit jumlahnya, kususnya terhadap dunia ketiga.
Anehnya,
justru mereka pada saat yang bersamaan mengklaim sebagai pelopor hak asasi
manusia dengan menentang tindak kekerasan. Dengan kekuatan perangkat
ekonomi-politik dan media. Negara-negara non-Barat, terutama negara ketiga,
menjadi objek konsumsi dan eksploitasi. Mereka punya justifikasi dari
ketidakadilan yang terjadi di mana pun. Sebagai contoh, tragedi memilukan di
Bosnia, deretan serangan Israel yang membabi buta ke Gaza, Amerika ke Irak,
dalam sudut pandang para pelaku Terorisme juga adalah daftar teror Barat atas
dunia ketiga yang mesti dibalas. “Dendam kesumat” ini diperparah lagi dengan
propaganda bahwa tengah terjadi perang suci dan benturan peradaban antar Barat
dan dunia Islam, disamping tentu saja pemahaman yang keliru dan parsial dalam
memahami ajaran agama.
Meskipun
begitu, tidak ada satupun alasan etik dan moral secuil pun yang bisa
membenarkan suatu tindakan kekerasan terlebih teror. Dengan demikian, kalau ada
tindakan-tindakan teror yang dilakukan oleh kelompok agama tertentu, maka sudah
pasti alasannya bukan karena ajaran etik-moral sebuah agama, melainkan karena agenda-agenda
lain yang bersembunyi di balik tindakan tak terpuji itu. Di samping itu,
penting dibangun pemahaman bahwa siapa pun pelaku dari segenap teror yang
terjadi, tidak kemudian mendapat kemenangan. Yang tersisa dari semua itu, tak
lain hanyalah penderitaan dan kucuran air mata dan darah dari orang-orang yang
berdosa.
Bagaimana
pun, cita-cita perjuangan seseorang, kelompok, komunitas agama ataupun negara,
tidak bisa meminggirkan rasa kemanusiaan serta pengormatan terhadap perbedaan.
Melalui buku ini kita berharap, kesadaran yang muncul secara kolektif ini pada
muaranya akan menjadi gerakan besar, yakni gerakan untuk mencintai dan
menghargai kehidupan. Melalui model pemahaman itu, nilai-nilai humanitarian
yang religius seperti pluralisme, kesederajatan, dan solidaritas perlu
dijadikan landasan sikap dan segala tindakan kita sebagai masyarakat dari
sebuah bangsa yang besar.
Singkat
kata, buku ini sangat layak dibaca oleh para mahasiswa, Akademisi, wartawan,
kaum agamawan, aparat keamanan maupun masyarakat umum yang ingin memperoleh
pemahaman baru tentang terorisme.
Di
tengah kepungan terorisme yang terus mengancam kehidupan, buku ini menyingkap
dambaan akan Tuhan yang lain dari sudut korban. Karenanya, meskipun diuraikan
dengan singkat dan padat, buku ini mampu menghadirkan wahana refleksi akan
cinta kemanusiaan tanpa tapal batas, yang pada akhirnya akan menggugah
kesadaran kita sebagai umat manusia, bahwa penghargaan akan hidup harus
ditempatkan sebagai posisi utama.[*]
*) Pustakawan Pada MTs Ali Maksum PP. Krapyak Yogyakarta dan Aktivis Lembaga Kajian Agama dan Swadaya Umat (LeKAS).
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar