Judul
Buku: Politik Perhatian, Rasa dalam Kebudayaan Jawa
Penulis: Paul Stange Penerbit: LKIS Yogyakarta Cetakan: Maret 2009 Tebal: xxix+366 hal. Perensi: Ahmad Shiddiq Rokib*) |
Sebagai
“pewaris sah nilai-nilai spritual Jawa”, aliran kepercayaan sebenarnya
menghadapi tantangan serius. Dari segi riil politik mereka dituntut untuk
mendudukkan dirinya secara tepat di hadapan kekuasaan negara dan lalu lintas
hubungan dengan kelompok-kelompok agama yang menggeliat memproklamirkan
kebangkitan. Derasnya arus modernisasi yang membawa semangat hidup pragmatis
dan konsumeris, juga memaksa mereka merekonstruksi dan melakukan revitalisme
nilai-nilai spritual dan kebudayaan.
Buku
Paul Stange ini, merupakan penyingkapan nilai-nilai Jawa yang menurutnya
merupakan tradisi Tantrik yang sudah ada jauh sebelum kedatangan
tradisi-tradisi agama india dan samatik. Dalam banyak hal, paul menegaskan
kembali apa yang disebut “Agama Jawa” atau sering disebut Kejawen dengan segala
nilai dan praktik spiritual-ritualnya. Jelas, dibutuhkan suatu energi
intelektual yang besar untuk mengklarifikasi hal itu, lantaran Jawa yang kita
kenali sekarang bersifat sinkritik. Jawa berkembang tidak dengan kekhasan yang
terisolasi, tetapi dalam kombinasi dengan masukan kultural dari luar.
Nah,
sementara penegasan agama Jawa senantiasa ingin menjernihkan, dengan cara
memilah namun tidak berarti menentangkan, mana yang dianggap murni Jawa dan
mana yang sekedar tempelan dari Jawa. Dan ini menjadi kontroversi ini sulit
dipisahkan antara Jawa dan bukan Jawa. Misalnya, Jawa dan Islam, sering
dianggap suatu “politik pengetahuan” yang ideologis, bahkan merambah ketegangan
politik, bahkan pada level aliran kepercayaan.
Buku
setebal 366 halaman ini terdiri dari tiga bagian dan terdiri dari beberapa bab,
meskipun pada awalnya hanya esai yang berdiri sendiri semua sudah diolah
kembali. Tidak hanya proses penterjemahan, tetapi pada pembaruan dan
pengurutannya. Pada bagian satu, pendekatan secara etnografis dan tekanannya
pada rasa, pengalaman dan antologi tunggal sebagai landasan teori maupun
penerapan kejiwaan di Jawa.
Bagian
kedua paul mencoba menelusuri perkembangan di dalam lingkungan kepercayaan
sejak kemerdekaan, dan dengan sendirinya pada bagian ini beralih pada sejarah,
tentu sejarah pada masa kini. Dan bagian ketiga dosen senior dalam program
Asian Studies di Murdoch University, Perth, Australia Barat. Mengulas masalah
politik penafsiran, terutama oleh ilmuwan Barat, namun pada hakikatnya
sasarannya ilmu semata-mata.
Pada
umumnya, ada kecenderungan untuk menafsirkan kepercayaan seolah-olah dapat
dimengerti di dalam satu lapisan dari realitas-realitas pemikiran atau tindakan
seperti yang ditawarkannya “praksis” (perpaduan antara teori dan praktik)
sebagai landasan inti untuk memahami gejala-gejala agama dan kepercayaan.
Dengan praksis sebagai landasan.
Meskipun
antara judul dan sub judul buku ini tidak terdapat keterkaitan yang sangat
erat, dan pada awalnya tampak kabur. Istilah “politik” menurut pengakuan paul
tidak menyangkut lapangan pemerintahan (walapun pada ahirnya terkait) yaitu
berkaitan dengan ilmu sosial dan sastra Barat. Di dalam wacana itu,
politik menyangkut antara lain, pola kekuasaan di dalam lingkungan keluarga,
antara jenis kelamin, di dalam susunan wewenang dikantor atau pabrik dan sampai
pada beberapa kompetensi antara beberapa bentuk atau jenis wacana.
Sedangkan
penggunaan istilah “perhatian” dan bukan (umpamanya) “meditasi” karena
jangkauannya luas, tidak terbatas pada lingkup latihan kejiwaan saja. Dengan
demikian, menunjukan adanya permainan serta pengarahan perhatian, tidak
hanya di dalam lapangan kepercayaan tertentu, seakan-akan merupakan masalah
lingkungan tertentu saja, tetapi di dalam dan melalui kebudayaan secara
umum sebagai masalah yang menyangkut semua orang. Setiap kebudayaan menitikberatkan
lapangan tertentu dengan cara tertentu pula (247 hal).
Dari
itu, Paul Stange sendiri bisa dikatakan merupakan salah seorang pengamat Jawa
mancanegara, yang turut menyemarakkan jagad perhatian terhadap Jawa yang
menjadi fenomena intelektual tahun 1970-an. Tidak sekedar pengamat, Paul Stange
bahkan, seperti diakuinya penganut nilai-nilai jawa. Jawa, sebagai sebuah
peradaban, bertahan dengan sintesis spiritualnya terhadap peradaban dunia:
Hindhu-Budha dan Islam. Tetapi, mengapa gagap menghadapi penetrasi Barat? Upaya
memilah Jawa dan non-Jawa selalu saja merupakan perististiwa politik.
Dan
itu selalu ada yang ter(di)singkir(kan). Jawa yang takluk? Lalu siapa pula yang
berhak mewakili Hindhu-Budha, aliran kepercayaan, koegrafer Sardono atau
Bagong, Gus Dur dan pesantrennya, kraton Mataram atau lembaga Javanologi?
Mungkin tak seorang pun dari mereka karena Jawa telah menjadi masa silam dan
hanya ada dalam imajinasi. Semakin ia dikaji untuk masa kini, semakin kita
menelusuri masa silamnya.
Untuk
itu, membaca buku ini dengan sendirinya kita berhadapan dengan seorang yang di
satu sisi murni scholar (seorang yang berjarak terhadap Jawa), namun
sekaligus disisi lain menjadi “orang dalam” yang menganut dan menghayati
nilai-nilai yang diteropong tersebut. Sehingga buku ini layak dibaca siapapun
yang menaruh perhatian pada kebudayaan Nusantara khususnya Jawa. Baik,
budayawan, akademisi dan masyakat umum, karena lewat suatu teropong
etnografisnya yang dikombinasikan dengan penelusuran leterarnya, buku ini makin
lebih hidup. Waallahu a’lam bisshawab.[*]
*) Staf Departemen Pengkajian dan Penelitian Pondok Budaya Ikon Surabaya
*) Staf Departemen Pengkajian dan Penelitian Pondok Budaya Ikon Surabaya
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar