Judul:
Refilosofi Kebudayaan, Pergeseran Pascastruktural
Penulis: Syaiful Arif Penerbit: Ar-Ruzz Media, Jogjakarta Cetakan pertama: Oktober 2010 Halaman: 360 hlm Peresensi: Mahbib Khoiron*) |
Hakikat
kebudayaan adalah usaha pemanusiaan manusia melalui pemanusiaan kehidupan.
Maka, meskipun pada level cara-baca dan konteks sosial, telah terjadi banyak
perubahan kebudayaan, arah dari kebudayaan itu sendiri haruslah tetap mengacu
pada kemanusiaan.
Setidaknya,
inilah tesis utama dari buku Refilosofi Kebudayaan, Pergeseran
Pascastruktural karya Syaiful Arif. Bagi Arif, pendekatan filsafat atas
kebudayaan amat urgen untuk dikembangkan kembali, di tengah absurditas nilai
akibat pendekatan post-modernis yang merelativisir kebudayaan. Pendekatan
filsafat menjadi penting, karena ia memberi landasan yang tidak bisa berubah,
yakni pemanusiaan manusia.
Pertanyaannya,
kenapa tiba saja hakikat kebudayaan dimaknai sebagai pemanusiaan manusia
melalui pemanusiaan kehidupan? Dari mana definisi ini? Ini pertanyaan logika
yang mencoba dijawab Arif.
Pertama,
definisi nominalis. Di kosakata kita, kebudayaan berasal dari kata budaya, yang
merupakan gabungan dari daya-budi. Jadi, budaya adalah daya dari budi. Daya di
sini bisa diartikan sebagai kekuatan, praksis, atau gerak. Sementara itu budi
adalah kearifan, kebijaksaan. Dalam alam pemikiran Jawa, budhi adalah sinar
akal yang tercerahi Atma (Ruh). Di sini terlihat bahwa budi bukan hanya akal
menurut rasionalisme, tetapi akal yang telah tercerahi oleh spiritualitas.
Maka, budi sering dilekatkan dengan kata pekerti; budi-pekerti yang berarti
perilaku etis yang dipandu oleh kearifan pengetahuan.
Dari
sini terlihat bahwa daya-budi adalah kekuatan, praksis, dan gerak dari budi.
Jadi, budaya oleh karenanya mensyaratkan adanya perbedaan spesifik (differentia
specifica) yang mengacu pada keharusan adanya budi. Jika suatu daya,
kekuatan, praktik, dan perilaku hidup tidak didasarkan pada budi, maka ia
bukanlah budaya. Hal sama terjadi pada terma culture yang bermuara pada civilization.
Culture adalah usaha pengolahan (cultivation) alam-kehidupan, sehingga
melahirkan peradaban (civilisation). Di sini pengolahan alam ditujukan
agar kehidupan manusia beradab. Apa artinya beradab? Yakni suatu titik puncak
evolusi hidup, yang menempatkan manusia di titik derajat kemanusiaannya.
Pada
titik ini terlihat bahwa terma kebudayaan selalu bersanding dengan kemanusiaan.
Maka definisi kebudayaan juga terkait dengan pendefinisian manusia. Apakah yang
disebut manusia? Pada titik manakah manusia layak disebut manusia? Dari sini
kita sampai pada cara pendefinisian kedua, yakni definisi esensial. Jika
mengacu pada pola definisi ini, maka terciptalah rangkaian premis yang
membentuk satu proposisi; manusia adalah spesies (species) dari jenis umum
(genus) hewan. Di sini Aristoteles kemudian menahbsikan akal-budi sebagai
pembeda spesifik, yang membedakan manusia sebagai spesies dari hewan sebagai
jenis umum. Maka, perbedaan manusia dengan hewan secara umum adalah akal-budi.
Manusia disebut manusia, ketika ia berakal-budi. Tentu, definisi ini sudah
menjadi kebenaran umum yang tidak lagi perlu dipertanyakan.
Dari
definisi manusia sebagai hewan berbudi inilah, maka definisi kebudayaan
tertemu. Jadi, jika esensi manusia adalah budi, maka budaya; daya dari budi,
adalah juga hal esensial dalam kehidupan manusia. Kenapa? Karena budaya adalah
pendayaan budi. Dalam budaya, manusia merealisasikan budi, kepada objek
alam-kehidupan, tentu agar alam tersebut sesuai dengan hakikat manusia, yakni
budi. Pada titik ini tertemulah definisi hakikat kebudayaan, yakni karena
hakikat manusia (jika dibandingkan dengan hewan) adalah budi, maka praktik
kehidupan tentulah kehidupan berbudi. Budi yang merupakan esensi ontologis
manusia, berusaha dipraktikkan dalam kehidupannya, di mana manusia berhadapan
dengan alam-kehidupan secara berbudi.
Inilah
hakikat kehidupan itu, yang kemudian dibahasakan menjadi budaya; pendayaan
budi. Dari sini terlihat bahwa budi adalah kategori normatif, sementara budaya
adalah kategori praksis dari norma tersebut. Budi adalah nilai, budaya adalah
perealisasian nilai itu. Inilah hakikat kebudayaan itu, yang merupakan hakikat
kehidupan manusia, yang lahir dari hakikat manusia. Pada titik ini, bukan hanya
hakikat manusia merupakan hakikat kebudayaan, tetapi kebudayaan itulah hakikat
kemanusiaan. Kenapa? Karena melalui kebudayaan, manusia berusaha merealisasikan
hakikat kemanusiaannya.
Persoalannya,
apakah pemanusiaan manusia itu? bukankah dalam setiap konteks budaya, terdapat
ragam cara pemanusiaan yang berbeda, dan pada satu titik berbenturan? Dalam
budaya Islam misalnya, pemanusiaan dirujukkan pada hukum: manusia akan lebih
manusiawi (sesuai dengan kodrat Ilahi) jika taat dengan syari’at. Hal beda
dengan budaya Barat modern yang menggerakkan rasionalisasi sebagai humanisasi.
Yang pertama merujuk pada pengaturan manusia oleh aturan ketuhanan, dan oleh
karenanya, absolut. Yang kedua mengacu pada kebebasan, dan oleh karenanya
sering mendobrak aturan-luar diri.
Dari
problem pemanusiaan ini, Arif kemudian berbicara soal struktur kebudayaan.
Mengapa? Karena pemanusiaan adalah nilai, maka di dalam nilai, terdapat
struktur. Artinya, ketika aras filosofis kebudayaan adalah nilai (pemanusiaan),
maka pembincangan atas struktur nilai menjadi keniscayaan. Hal ini searah
dengan pendekatan strukturalis yang mendaulat kebudayaan sebagai pemikiran.
Artinya, (perilaku) budaya merupakan wujud dari struktur inheren yang ada pada
ranah pemikiran. Maka, struktur nilai mistik akan melahirkan perilaku mistik
orang Jawa, struktur pemikiran hukum Islam akan melahirkan perilaku yang sarwa
fiqh, dan struktur rasionalisme akan melahirkan perilaku rasional.
Hanya
saja, pendekatan struktural ini segera terkritisi karena kebudayaan tak bisa
dibakukan dalam corak tertentu. Dalam budaya Jawa, mistisisme hanya satu varian
dari corak pemikiran lain. Hal sama pada budaya Islam, Barat, Timur, Indonesia,
yang memiliki ragam makna serta ragam tafsir. Kritik ini bahkan berlanjut pada
kecurigaan atas “kepentingan pengetahuan” yang ada di balik pembakuan struktur
kebudayaan tersebut. Inilah yang disebut tradisi pasca-strukturalis, yakni
tradisi yang melakukan pembongkaran atas politik pembentukan nilai. Jadi apa
yang disebut struktur oleh strukturalisme, oleh pasca-strukturalis dilihat
sebagai upaya pihak tertentu, untuk menancapkan dominasi, baik dominasi nilai,
pengetahuan, dan akhirnya politik. Arif kemudian mengelaborasi berbagai
pemikiran kaum post-struktural, seperti hegemoni Gramsci, dekosntruksi Derrida,
power/knowledge Foucault, hingga symbolic power Pierre Bourdieu. Bagi Arif,
segenap pemikiran tersebut berguna untuk menguak politisasi budaya, yang
dilakukan melalui politisasi simbol dan pengetahuan.
Dalam
buku ini Arif juga menggelar tradisi Kulturkritik. Sebuah tradisi pemikiran
budaya ala Mazhab Frankfurt yang kritis terhadap modernitas. Tradisi ini yang
berangkat dari ratapan pilu atas hilangnya “yang otentik” dari manusia akibat
modernisasi, merupakan tradisi kritik kebudayaan. Bagi Arif, inti kebudayaan
adalah kritik. Mengapa? Karena dalam kritiklah, kebudayaan bisa merefleksikan
dirinya. Untuk itu para pengkaji, pelaku budaya, dan manusia itu sendiri
haruslah menyadari akan terjadinya krisis kebudayaan. Yakni satu situasi di
mana pencapaian atas “aspek keras” kehidupan, seperti teknologi, industri, birokrasi,
dan negara, telah membawa penyakit bagi kerawasan budi, dan masa depan
kemanusiaan. Tanpa kesadaran akan kebudayaan, maka nilai dasar yang menjadi
pijakan hidup, akan stagnan, membatu, dan terjerembab dalam “mesin sistem”
non-manusiawi.
Pada
titik inilah refilosofi kebudayaan Arif gerakkan, untuk mengembalikan gerak
hidup yang sudah sistemik, kepada nilai dasar dari kebudayaan tersebut, yakni
budi. Budi inilah yang akan mampu memanusiakan manusia, karena ia tak hanya
bertanya apa sifat sesuatu, tetapi bagaimana sesuatu seharusnya bersifat?
Refilosofi kebudayaan urgen, karena menurut Arif, kebudayaan telah terposisi
hanya sebagai sub-sektor kehidupan, tak beda dengan sub-sektor olah-raga, seni,
perdagangan, ekonomi, dsb. Bagi Arif, melampaui sub-sektor, kebudayaan adalah
supra-sektor; lingkaran besar yang menaungi lingkaran-lingkaran kecil
kehidupan. Lingkaran kecil ini berupa ekonomi, pendidikan, seni, tata ruang
kota, dan bahkan politik. Inilah yang disebut sebagai otosentrisitas
kebudayaan, di mana segenap gerak hidup, mampu “menguntungkan kebudayaan”.
Kebudayaan harus “diuntungkan” karena ia merupakan garis tegas, pemanusiaan
manusia. Ketika segenap praktik sub-sektor hidup telah menjauh dari cita
pemanusiaan, maka ia tercerabut dari kebudayaan. Situasi ini yang disebut Arif
sebagai krisis kebudayaan, di mana praktik hidup kita telah jauh dari landasan
filosofis kebudayaan.
Buku
yang dipengantari Guru Besar Antropologi UI, Ahmad Fedyani Saifuddin dan
diepilogi Muhammad Herly Putra ini tak hanya menyediakan rangkaian teori-teori
kebudayaan. Meskipun terdapat rangkaian perspektif kebudayaan, sejak
antropologi, sosiologi dan cultural studies, tetapi Arif tetap membangunnya
dalam ruang filsafat kebudayaan. Artinya, Arif berusaha menggali mana yang
filosofis, mana yang politis dalam segenap perspektif tersebut. Dilengkapi
dengan refleksi kritis atas hambatan struktural bagi refilosofi kebudayaan di
Indonesia; buku ini layak dijadikan “kaca bening” tempat merefleksikan kembali
persoalan dan perubahan mendasar kebudayaan kita.[*]
* Pemred Jurnal Kebudayaan dan Demokrasi, Pesantren Ciganjur, Saat ini sedang belajar Filsafat Islam di Islamic College (IC) Jakarta
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar