Minggu, 23 Maret 2014

Relativitas Teori Khusus dan Umum

Judul: Relativitas Teori Khusus dan Umum
Penulis: Albert Einstein
Penterjemah: Prof. Liek Wilardjo, Ph.D., D.Sc.
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan pertama, Juli 2005
Tebal: xix + 198 hal.

“Saya ingin menunjukkan bahwa ruang-waktu bukanlah sesuatu yang secara niscaya dapat dianggap memiliki eksistensi yang mandiri, tidak tergantung pada benda-benda nyata dalam kenyataan fisika” (hal. xix).
Keinginan yang diungkapkan Einstein di atas terwujud dalam teori relavitas-nya, secara mengejutkan, membalik anggapan publik fisika saat itu, membuktikan dimensi ruang dan waktu bukanlah suatu dimensi yang mandiri dalam arti memiliki besaran/ukuran yang tetap. Ukuran ruang dan waktu adalah relatif, sangat tergantung kepada sesuatu yang dijadikan sebagai acuan (frame of reference).
Einstein menyajikan contoh klasik, jika seseorang menjatuhkan batu dari jendela kereta yang sedang melaju, maka dia akan melihat batu tersebut jatuh ke tanah membentuk lintasan lurus. Sementara orang lain yang berdiri diam di luar kereta akan melihat batu tersebut jatuh membentuk lengkungan parabola (hal. 12).
Inilah relativitas, tidak ada sesuatu pun dalam dimensi ruang-waktu memiliki eksistensi (keberadaan) tunggal dan mandiri.
Albert Einstein membangun monumen revolusioner dengan penemuan teori relativitas khusus dan (disempurnakan menjadi) relativitas umum. Teori relativitas khusus membatasi diri pada relatif-nya gerak obyek pada kecepatan konstan. Sementara teori relativitas umum membahas relatif-nya gerak obyek pada semua kondisi (termasuk kecepatan konstan maupun tidak), dan bahkan terhadap semua fenomena alam.
Pada umumnya fisika tidak akan pernah bisa dipisahkan dari angka-angka dan rumus-rumus, apalagi menyangkut teori relativitas. Namun, dalam buku Relativitas Teori Khusus dan Umum (judul dalam edisi bahasa Inggris adalah Relativity: The Special and General Theory) Einstein berusaha keras menjelaskan teori relativitas dengan lugas dan populer. Berusaha menggunakan angka dan rumus sehemat mungkin agar masyarakat awam, yang menjadi pembaca buku ini, bisa memahami teori relativitas dengan (relatif) mudah. Sehingga, beberapa rumus yang terpaksa dimunculkan tidak perlu membuat dahi Anda berkerut. Lewatkan saja rumusnya, dan Anda akan cukup paham tentang garis besar teori Einstein hanya dengan mencermati rangkaian kalimat penjelasnya.
Kelebihan lain dari buku ini, yang diterjemahkan oleh Guru Besar Emeritus bidang fisika Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Liek Wilardjo, adalah dibaginya kronologis penjelasan dalam tiga bagian yang terdiri dari 32 bab kecil.
Sebanyak 17 bab dipakai untuk menjelaskan bagian pertama, berbicara tentang teori relativitas khusus. Dua belas bab berikutnya menjelaskan bagian kedua tentang teori relativitas umum. Sementara sisanya menjelaskan tinjauan atas jagat-raya sebagai satu kesatuan, membicarakan spekulasi bertepi atau tidaknya jagat raya. Suatu perdebatan yang tetap hangat sampai kelak terbukti secara empiris.
Pertanyaan yang muncul segera adalah, mungkinkah orang awam bisa menguasai teori relativitas hanya dengan membaca buku ini? Tentu tidak. Sekali lagi, bukan tuturan teknis yang disajikan Einstein, melainkan menjelaskan dengan bahasa awam tentang teorinya.
Dia sendiri mengatakan buku ini dimaksudkan memberi pemahaman kepada pembaca yang dari sudut pandang filsafat dan keilmuan meminati teori relativitas, tetapi tidak meminati bahasa matematika dalam fisika teori (hal. xvii).
Masing-masing bab buku, dengan ketebalan tidak lebih dari enam halaman, sangat singkat bagi sebuah penjelasan fisika. Tapi menguntungkan bagi pembaca non-fisikawan un¬tuk tidak menjadi bosan sebelum sempat menyelesaikan satu bab pun. Setidaknya, dari penjelasan tersebut kita akan tahu betapa gagasan Einstein berhasil mengubah paradigma fisika, sekaligus menunjukkan “naif”nya pemahaman manusia pada masa itu terhadap alam.
Salah satu pengaruh luar biasa adalah diadopsinya dimensi waktu untuk melengkapi definisi dunia. Sebelum Einstein menemukan teorinya, dunia hanya dijelaskan dalam kon¬sep tiga dimensi saja, yaitu panjang, lebar dan tinggi. Atau dalam bilangan koordinat Cartesius dilambangkan dengan x, y dan z. Tiga bidang ukur koordinat yang saling tegak lurus.
Teori relativitas menyertakan dimensi waktu sebagai “pembentuk” dunia. Hal itu yang membuat kita hari ini mendefinisikan dunia bukan lagi sebagai tiga dimensi, melainkan empat dimensi. Yaitu dimensi ruang (terdiri dari tiga bilangan koordinat Cartesius x, y dan z) ditambah dimensi waktu. Dunia empat dimensi tersebut dipaparkan secara ringkas dan jelas oleh Einstein dalam Bab 17 yang berjudul Ruang Empat-Dimensi Minkowski.
Melalui pembahasannya terhadap teori-teori fisika yang “mendampingi” dan “me¬latar¬¬belakangi” kelahiran teori relativitas, seperti teori Maxwell, Lorentz, Fizeau, Minkowski, dan beberapa yang lain, Einstein jujur “mengakui” bahwa teori besar relativitas bukan semata hasil kerja kerasnya dari nol. Melainkan ikut diwarnai kesalingdukungan dengan teori dan beberapa fisikawan lain. Sedikitnya, memberi fakta baru bagi kita adanya sedikit bias mengenai citra Albert Einstein yang selama ini digambarkan sangat individualis (dan mandiri!).
Teori relativitas, dicetuskan tahun 1905, telah mencapai usia satu abad. Perubahan mencolok yang bisa diamati akibat penerapan teori ini dalam kehidupan luas adalah tersedianya beragam (alternatif) jawaban untuk satu pertanyaan. Misalnya ditanyakan berapakah kecepatan sebuah kereta (obyek yang sering dipakai Einstein sebagai contoh dalam buku ini) yang sedang melaju di atas rel, jawabannya akan beragam.
Beberapa kemungkinan jawaban muncul sebagai berikut. Pertama, kecepatan relatif kereta api terhadap pengamat yang berdiri diam di pinggir rel kereta. Kedua, kecepatan relatif kereta api terhadap pengamat yang sedang naik (misalnya) bus searah dengan laju kereta. Ketiga, kecepatan relatif kereta api terhadap pengamat yang berjalan di dalam salah satu gerbongnya, berlawanan arah terhadap laju kereta. Alternatif jawaban-jawaban tersebut tampak begitu wajar hari ini, tetapi seratus tahun lalu hanya Einstein yang berani menyadarinya.
Satu-satunya potensi kemunculan kritik setelah membaca terjemahan ini terletak pada gaya bahasa pilihan Liek Wilardjo. Kalimat-kalimatnya sedikit terasa aneh saat dibaca, kaidah penggunaan kata secara efektif dan efisien ‘mangkus dan sangkil’ sengaja diabaikan.
Potensi kemunculan kritik ini bukannya tidak disadari, jauh sebelum memasuki pembahasan bab demi bab, Liek Wilardjo telah menyatakan bahwa yang dia lakukan adalah menterjemah secara ketat dan bukan menterjemah bebas apalagi melakukan parafrasa. Tujuannya jelas, jangan sampai keaslian rasa pada gaya bahasa Albert Einstein meruap hilang.
UNESCO mencanangkan tahun 2005 sebagai Warsa Fisika, sebagai tahun penghormat¬an dan penyadaran bahwa fisika sebenarnya adalah awam. Fisika adalah kehidupan kita sehari-hari dan bukan sains yang berlaga di dalam menara gading. Lalu, mengapa tidak kita ikuti keberanian Einstein menjadikan fisika sebagai bagian hidup? Sekaligus mencoba menghapus dalamnya kesenjangan antara rasa bangga terhadap siswa-siswa Indonesia pemenang olimpiade fisika, dengan keprihatinan yang muncul dari rendahnya kemampuan sains mayoritas siswa lainnya.[*]

*) Mardian Wibowo, peminat sains, tinggal di Jakarta

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar