Judul: Revitalisasi Filantropi Islam;
Studi Kasus
Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia
Editor: Chaider S. Bamualim dan Irfan Abubakar Penyelaras: Andi Agung Prihatna dan Ridwan Al-Makassary Penerbit: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan
The Ford Foundation
Cetakan: I, Mei 2005 Tebal: xi + 309 halaman |
Buku
ini, Revitalisasi Filantropi Islam; Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di
Indonesia, menganjurkan pentingnya perumusan kembali kiprah lembaga-lembaga filantropi
Islam di Indonesia. Didalamnya dibedah sepuluh lembaga filantropi Islam, baik
lembaga zakat maupun lembaga wakaf yang ada di Indonesia, yaitu BAZIS DKI
Jakarta, BAZ Propinsi Jawa Barat, Dompet Dhu’afa (DD), Baitul Mal BMT Ben Taqwa
Grobogan, Badan Pelaksana Urusan Zakat Muhammadiyah (Bapelurzam) Kendal, Pos
Keadilan Peduli Umat (PKPU), LAZIS Masjid al-Markaz al-Islami, Badan Wakaf
Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Badan Wakaf Pondok Pesantren
Gontor Ponorogo, dan Badan Nazir Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Dari
kesepuluh lembaga ini, tujuh merupakan Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan tiga
lainnya berupa Badan Wakaf (BW). Dari tujuh lembaga amil zakat, dua lembaga
pertama merupakan lembaga yang dibentuk dan dikelola pemerintah, atau BAZIS
(Badan Amil Zakat Infak dan Sedekah), sedang lima sisanya merupakan lembaga
yang dibentuk dan dikelola oleh masyarakat secara swadaya (independen), yang
biasanya disebut sebagai LAZIS (Lembaga Amil Zakat Infak dan Sedekah).
Kesepuluh
profil lembaga filantropi tersebut dibedah satu-persatu dengan menjaga kekhasan
dan dinamika kelembagaan masing-masing. Hanya saja, demi kepentingan tujuan
buku, pembahasan nampaknya sengaja diarahkan untuk lebih menyoroti karakter
kelembagaan yang secara kategoris lebih didasarkan pada tiga hal, yaitu:
tinjauan mengenai pengaruh tradisi (kultur dan doktrin) yang dianut; pola
struktur (menyangkut legitimasi konstitusi dan relasi kekuasaan) yang
diperankan; dan kapabilitas institusi (meliputi kapasitas manajemen dan
keorganisasian). Dari ketiga kategorisasi inilah, pengamatan, tinjauan,
penilaian, dan evaluasi diberikan, setelah diukur terlebih dahulu sejauh
manakah relevansi (potensi) eksistensi lembaga-lembaga filantropi Islam
tersebut ketika dihadapkan dengan cita-cita perwujudan keadilan sosial di
Indonesia.
Menurut
buku ini, tradisi filantropi Islam yang berkembang di Indonesia, sebagaimana
direpresentasikan sepuluh lembaga diatas, masih sangat didominasi oleh kuatnya
pengaruh motif-motif dan tujuan keagamaan. Dominasi itu tergambar bukan hanya
dalam wacana yang dilontarkan, lebih dari itu meliputi pula praktik yang
diaktualkan. Tafsiran klasik terhadap doktrin-doktrin keagamaan tentang apa dan
bagaimana berderma masih menjadi arus pikiran utama, sehingga aktualisasinya
tidak beranjak jauh dari upaya-upaya filantropi yang karitatif sifatnya
(halaman vii-ix).
Aktivitas
berderma yang berhenti hanya sebagai tindakan karitas (memberi semata-mata)
dianggap amat rentan jatuh pada sekadar tindakan yang dipertahankan hanya untuk
sebuah prestise, dimana relasi tinggi-rendah status sosial mutlak ditentukan
dan hanya memihak kepada pihak pemberi saja. Dalam konteks yang lebih luas,
kegiatan beramal atau berderma semacam ini, tetap saja melanggengkan struktur
antara yang kuat dan yang lemah (melestarikan relasi kuasa-menguasai). Apalagi,
dalam banyak kasus dimana bentuk karitas dilakukan, pihak penerima kesulitan
mengalami emansipasi (kemampuan) keluar dari status yang dilakoninya. Kuatnya
resonansi doktrin bukan hanya mengakibatkan cara berderma yang bersifat karitas
saja, tetapi turut pula melahirkan kultur akuntabilitas yang bersifat personal.
Tidak mengherankan, jika lembaga-lembaga filantropi Islam yang ada saat ini
lebih mengandalkan relasi inter-personal dan kapasitas individual tinimbang
mengupayakan penguatan institusi dan sistem. Bentuk filantropi seperti ini
biasa disebut sebagai filantropi tradisional.
Dengan
paradigma yang masih bersifat tradisional, tipis sekali harapan akan
terwujudnya cita-cita keadilan sosial. Oleh sebab itu, buku ini menganjurkan
agar seyogyanya lembaga-lembaga filantropi Islam di Indonesia bisa
mentransformsikan dirinya menuju paradigma filantropi untuk keadilan sosial.
Dalam dataran konsep, filantropi ini berkaitan erat dengan usaha penguatan
masyarakat sipil (civil society), serta upaya mewujudkan keadilan sosial
(social justice), yang bertujuan merubah struktur masyarakat menjadi adil dan
demokratis. Ia merupakan kegiatan yang memadukan sentimen moral sekaligus upaya
transformasi masyarakat dalam wujud tindakan sosial.
Filantropi
untuk keadilan sosial lebih menekankan pada upaya mengeliminasi atau merubah
struktur relasi kuasa yang timpang, yang—sebagaimana dikatakan Abdullahi Ahmed
An-Naim—implementasinya dapat berupa mendorong lahirnya kebijakan publik yang
efektif, sehingga partisipasi politik, distribusi sumber daya yang adil,
ketetapan layanan esensial secara demokratis, dapat dirasakan semua pihak.
Praktik filantropi ini lebih diarahkan guna mempengaruhi kebijakan publik untuk
memecahkan problem sosial, dimana muasal segala akar permasalahan sosial dapat
diatasi. Oleh karena itu, perbedaan antara filantropi tradisional dengan
filantropi untuk keadilan sosial sering disebut-sebut sebagai kegiatan
“pelayanan versus advokasi”, yaitu antara upaya mengatasi gejala akibat
permasalahan sosial versus upaya mengatasi akar permasalahan sosial (halaman
8).
Masalah
yang menghinggapi lembaga filantropi Islam di Indonesia bukan hanya dalam
tataran konsep yang perlu direvitalisasi, tetapi juga menyangkut adanya dualisme
struktur kelembagaan antara BAZIS dan LAZIS, yang sama-sama berusaha merebut
kepercayaan publik. Dinamika keduanya amat ditentukan oleh relasi objektif
masyarakat vis a vis negara. Dalam hal ini, LAZIS nampaknya memang relatif
diuntungkan. Terlebih, jika pemerintah berkuasa tengah mengalami delegitimasi
dari masyarakat. Sebagai contoh, trend penurunan pendapatan yang dialami Bazis
DKI Jakarta pada masa awal reformasi ternyata tidak diikuti oleh
lembaga-lembaga LAZIS, yang justru malah mengalami kenaikan pendapatan (halaman
40).
Masih
lemahnya akuntabilitas publik menjadi masalah paling serius yang dihadapi
lembaga-lembaga filantropi Islam di Indonesia, selain masih lemahnya kapasitas
pengorganisasian dan manajerial. Pelembagaan mekanisme pertanggung jawaban
publik dalam tingkat standar masih menjadi fenomena langka. Dari sepuluh
lembaga filantropi yang disebut dalam buku ini saja, justru lembaga filantropi
yang dikelola secara swadaya masyarakat yang nampaknya paling siap menerapkan
asas transparansi dan akuntabilitas publik, terutama DD dan PKPU yang dalam hal
ini telah memanfaatkan jasa akuntan publik (halaman 21).
Meningkatnya
angka kemiskinan dewasa ini merupakan indikator paling nyata dari ketidak
adilan dan ketimpangan sosial yang terjadi di Indonesia. Anehnya, pundi-pundi
pendapatan lembaga-lembaga filantropi Islam di Indonesia justru seakan berpacu
seiring lajunya angka kemiskinan. Artinya, masih terdapat celah dimana
cita-cita keadilan sosial tidak mendapat tempat. Sebab itu, reaktualisasi terhadap
filantropi Islam nampaknya bukan lagi sekadar hal yang perlu, tetapi mendesak
untuk segera dilakukan. Wallahu a’lam bi al-shawab. [*]
--Andriansyah, Associate researcher pada Center for Moderate Muslim (CMM), Jakarta dan aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar