Minggu, 23 Maret 2014

Revitalisasi Filantropi Islam; Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia

Judul: Revitalisasi Filantropi Islam;
          Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia
Editor: Chaider S. Bamualim dan Irfan Abubakar
Penyelaras: Andi Agung Prihatna dan Ridwan Al-Makassary
Penerbit: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah
              Jakarta dan The Ford Foundation
Cetakan: I, Mei 2005
Tebal: xi + 309 halaman


Buku ini, Revitalisasi Filantropi Islam; Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia, menganjurkan pentingnya perumusan kembali kiprah lembaga-lembaga filantropi Islam di Indonesia. Didalamnya dibedah sepuluh lembaga filantropi Islam, baik lembaga zakat maupun lembaga wakaf yang ada di Indonesia, yaitu BAZIS DKI Jakarta, BAZ Propinsi Jawa Barat, Dompet Dhu’afa (DD), Baitul Mal BMT Ben Taqwa Grobogan, Badan Pelaksana Urusan Zakat Muhammadiyah (Bapelurzam) Kendal, Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU), LAZIS Masjid al-Markaz al-Islami, Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Badan Wakaf Pondok Pesantren Gontor Ponorogo, dan Badan Nazir Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Dari kesepuluh lembaga ini, tujuh merupakan Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan tiga lainnya berupa Badan Wakaf (BW). Dari tujuh lembaga amil zakat, dua lembaga pertama merupakan lembaga yang dibentuk dan dikelola pemerintah, atau BAZIS (Badan Amil Zakat Infak dan Sedekah), sedang lima sisanya merupakan lembaga yang dibentuk dan dikelola oleh masyarakat secara swadaya (independen), yang biasanya disebut sebagai LAZIS (Lembaga Amil Zakat Infak dan Sedekah).
Kesepuluh profil lembaga filantropi tersebut dibedah satu-persatu dengan menjaga kekhasan dan dinamika kelembagaan masing-masing. Hanya saja, demi kepentingan tujuan buku, pembahasan nampaknya sengaja diarahkan untuk lebih menyoroti karakter kelembagaan yang secara kategoris lebih didasarkan pada tiga hal, yaitu: tinjauan mengenai pengaruh tradisi (kultur dan doktrin) yang dianut; pola struktur (menyangkut legitimasi konstitusi dan relasi kekuasaan) yang diperankan; dan kapabilitas institusi (meliputi kapasitas manajemen dan keorganisasian). Dari ketiga kategorisasi inilah, pengamatan, tinjauan, penilaian, dan evaluasi diberikan, setelah diukur terlebih dahulu sejauh manakah relevansi (potensi) eksistensi lembaga-lembaga filantropi Islam tersebut ketika dihadapkan dengan cita-cita perwujudan keadilan sosial di Indonesia.
Menurut buku ini, tradisi filantropi Islam yang berkembang di Indonesia, sebagaimana direpresentasikan sepuluh lembaga diatas, masih sangat didominasi oleh kuatnya pengaruh motif-motif dan tujuan keagamaan. Dominasi itu tergambar bukan hanya dalam wacana yang dilontarkan, lebih dari itu meliputi pula praktik yang diaktualkan. Tafsiran klasik terhadap doktrin-doktrin keagamaan tentang apa dan bagaimana berderma masih menjadi arus pikiran utama, sehingga aktualisasinya tidak beranjak jauh dari upaya-upaya filantropi yang karitatif sifatnya (halaman vii-ix).
Aktivitas berderma yang berhenti hanya sebagai tindakan karitas (memberi semata-mata) dianggap amat rentan jatuh pada sekadar tindakan yang dipertahankan hanya untuk sebuah prestise, dimana relasi tinggi-rendah status sosial mutlak ditentukan dan hanya memihak kepada pihak pemberi saja. Dalam konteks yang lebih luas, kegiatan beramal atau berderma semacam ini, tetap saja melanggengkan struktur antara yang kuat dan yang lemah (melestarikan relasi kuasa-menguasai). Apalagi, dalam banyak kasus dimana bentuk karitas dilakukan, pihak penerima kesulitan mengalami emansipasi (kemampuan) keluar dari status yang dilakoninya. Kuatnya resonansi doktrin bukan hanya mengakibatkan cara berderma yang bersifat karitas saja, tetapi turut pula melahirkan kultur akuntabilitas yang bersifat personal. Tidak mengherankan, jika lembaga-lembaga filantropi Islam yang ada saat ini lebih mengandalkan relasi inter-personal dan kapasitas individual tinimbang mengupayakan penguatan institusi dan sistem. Bentuk filantropi seperti ini biasa disebut sebagai filantropi tradisional.
Dengan paradigma yang masih bersifat tradisional, tipis sekali harapan akan terwujudnya cita-cita keadilan sosial. Oleh sebab itu, buku ini menganjurkan agar seyogyanya lembaga-lembaga filantropi Islam di Indonesia bisa mentransformsikan dirinya menuju paradigma filantropi untuk keadilan sosial. Dalam dataran konsep, filantropi ini berkaitan erat dengan usaha penguatan masyarakat sipil (civil society), serta upaya mewujudkan keadilan sosial (social justice), yang bertujuan merubah struktur masyarakat menjadi adil dan demokratis. Ia merupakan kegiatan yang memadukan sentimen moral sekaligus upaya transformasi masyarakat dalam wujud tindakan sosial.
Filantropi untuk keadilan sosial lebih menekankan pada upaya mengeliminasi atau merubah struktur relasi kuasa yang timpang, yang—sebagaimana dikatakan Abdullahi Ahmed An-Naim—implementasinya dapat berupa mendorong lahirnya kebijakan publik yang efektif, sehingga partisipasi politik, distribusi sumber daya yang adil, ketetapan layanan esensial secara demokratis, dapat dirasakan semua pihak. Praktik filantropi ini lebih diarahkan guna mempengaruhi kebijakan publik untuk memecahkan problem sosial, dimana muasal segala akar permasalahan sosial dapat diatasi. Oleh karena itu, perbedaan antara filantropi tradisional dengan filantropi untuk keadilan sosial sering disebut-sebut sebagai kegiatan “pelayanan versus advokasi”, yaitu antara upaya mengatasi gejala akibat permasalahan sosial versus upaya mengatasi akar permasalahan sosial (halaman 8).
Masalah yang menghinggapi lembaga filantropi Islam di Indonesia bukan hanya dalam tataran konsep yang perlu direvitalisasi, tetapi juga menyangkut adanya dualisme struktur kelembagaan antara BAZIS dan LAZIS, yang sama-sama berusaha merebut kepercayaan publik. Dinamika keduanya amat ditentukan oleh relasi objektif masyarakat vis a vis negara. Dalam hal ini, LAZIS nampaknya memang relatif diuntungkan. Terlebih, jika pemerintah berkuasa tengah mengalami delegitimasi dari masyarakat. Sebagai contoh, trend penurunan pendapatan yang dialami Bazis DKI Jakarta pada masa awal reformasi ternyata tidak diikuti oleh lembaga-lembaga LAZIS, yang justru malah mengalami kenaikan pendapatan (halaman 40).
Masih lemahnya akuntabilitas publik menjadi masalah paling serius yang dihadapi lembaga-lembaga filantropi Islam di Indonesia, selain masih lemahnya kapasitas pengorganisasian dan manajerial. Pelembagaan mekanisme pertanggung jawaban publik dalam tingkat standar masih menjadi fenomena langka. Dari sepuluh lembaga filantropi yang disebut dalam buku ini saja, justru lembaga filantropi yang dikelola secara swadaya masyarakat yang nampaknya paling siap menerapkan asas transparansi dan akuntabilitas publik, terutama DD dan PKPU yang dalam hal ini telah memanfaatkan jasa akuntan publik (halaman 21).
Meningkatnya angka kemiskinan dewasa ini merupakan indikator paling nyata dari ketidak adilan dan ketimpangan sosial yang terjadi di Indonesia. Anehnya, pundi-pundi pendapatan lembaga-lembaga filantropi Islam di Indonesia justru seakan berpacu seiring lajunya angka kemiskinan. Artinya, masih terdapat celah dimana cita-cita keadilan sosial tidak mendapat tempat. Sebab itu, reaktualisasi terhadap filantropi Islam nampaknya bukan lagi sekadar hal yang perlu, tetapi mendesak untuk segera dilakukan. Wallahu a’lam bi al-shawab. [*]

--Andriansyah, Associate researcher pada Center for Moderate Muslim (CMM), Jakarta dan aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar