Judul
buku: Revolusi Tibet
Penulis: Nurani Soyomukti Penerbit: Garasi, Yogyakarta Tebal: 138, Halaman Cetakan: I, 2008 |
Pada
tanggal 8 Maret 2008, dunia di gemparkan dengan adanya suatu peristiwa.
Peristiwa itu adalah Revolusi Tibet, yakni sebuah Revolusi yang di lakukan
seorang biksu Buddha yang selama ini di padang sebagai salah satu penduduk bumi
yang di percaya masih memiliki paham perdamaian dan ahimsanya, bahkan leluhur
mereka Dalai Lama, mendapatkan Nobel karena hasil pemikirannya yang arif (local
wisdom) dalam menyikapi segala permasalah dunia, justru mereka melakukan
berbagai kerusuhan yang kontra denga nilai-nilai ajaran yang di anutnya. Dari
sinilah asiknya buku ini untuk di gaji kembali keberadaanya.
Dari
peritiwa inipun kemudian menyita perhatian banyak kalangan, baik dari politisi
ataupun kaum inteletual. Ada apakah di balik peristiwa ini?, mengapa biksu
Buddha yang selama ini di pandang masyarakat dunia sebagai mahluk bumi yang di
percaya masih memiliki jiwa tenang bisa bertindak anarkis sepeti itu?. Tentu,
hal ini ada penyebabnya. Nah, buku yang berjudul ‘Revolusi Tibet’ karya terbaru
dari intelektual kawakan Nuryani soyomukti ini, akan berusaha mengungkap
tentang Revolusi yang terjadi di Tibet tentang fakta, intrik dan politik, serta
berbagai kemugkinan adanya kepentingan dari negara- negara lain dunia mengingat
tibet dalam catatan sejarah merupakan negara secara politisi telah menjadi
ajang perebutan pengaruh bagi berbagai kekuatan dunia.
Tibet
memang daerah yang cukup strategis. Tibet juga memiliki keindahan dan
kesakralan alam yang tak di miliki oleh daerah-darah manapun di belahan bumi
ini. Penduduknyapun tenang, damai dan taat dalam menjalankan pribadatannya.
Akan tepi, China telah mempercikan api kemarahan di dalamnya. China telah memberlakukan
sistem pemerintah yang anti–demokrasi di Tibet. Hal ini terlihat jelas aksi
keras China terhadap aksi damai para biksu pada sebuah peringatan hari pahlawan
di Tibet yang jatuh pada tanggal 10 maret 2008.
China
telah mengusik mereka dengan bertindak represif dengan menahan 50 hingga 60
rahib yang tak jelas akar masalahnya. Sehingga, pertepuran biksu dan polisi
militer China tak dapat di bendung lagi. Demonstrasi dan aksi masapun meluas
karena China di anggap bereaksi terlalu berlebihan terhadap Tibet. Aksi-aksi
butral biksupun kian menjadi-jadi dengan membakar pos-pos polisi, hotel-hotel
dan sebuah masjid milik Hui musim dan etnik minoritaspun tak lupa menjadi
sasaran kemarahan biksu Tibet ini. Bahkan salah satu demonstran, juga bertindak
nir-kemanusian dengan menikam penduduk. Aksi yang pada awalnya hanya untuk
memperingati hari pahlawanpun berubah menjadi aksi kemerdekaan.
Teologi Kemanusian
Dalam
buku ‘putih’ China di sebutkan bahwa Tibet adalah kepemilikkannya. di dalam
buku ini juga membahas masalah hak asasi manusia (HAM human right), termasuk di
dalamnya juga membahas masalah sosial, ekonomi dan hak budaya. Tapi patut di
sayangkan dalam buku tersebut tidak membahas sedikitpun tentang hak rakyat
Tibet untuk menentukan nasib mereka sendiri (self-determination).
Padahal,
di bawah hukum internasional, penduduk Tibet sudah memenuhi kriteria sebagai
rakyat ( a people) yang memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri tanpa
campur tangan dari pihak manapun. Rakyat tibet juga secara jelas membentuk kesatuan
di bawah hukum internasional oleh UNESCO Internasional Meeting of e Experts on
Further Study of the Concept of the Right of Peoples ( Pertemuan Internasioanal
untuk Ahli mengenai Studi Lebih Jauh Mengenai Hak-Hak Rakyat). Menurut konsep
tersebut, hak untuk menentukan nasib sendiri berarti bahwa adanya hak rakyat
untuk menetukan status politik dan menetukan perkembangan ekonomi, sosial, dan
kebudayaanya yang bebas dari intervensi luar.
Prinsip
senada juga di tegaskan dalam konvensi internasional mengenai hak sipil dan
poitik (International Covenants on Civil and Political Right) dan konvensi
internasional mengenai hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (Esocob)
International Covenant Economic, Social, and Cultural Right. Rakyat Tibet telah
di halangi untuk memenuhi hak-haknya itu sejak terjadi invansi dan pendudukan
China. Sebagai mana yang telah kita ketahui sebelumnya, China merupakan suatu
negara yang menerapkan sistem anti-demokrasi. Sehingga dalam kontek ini rakyat
Tiber hidupnya dalam keterpasungan.(hlm 39-40)
Sejarah
Tibet memang penuh dengan penindasan dan perlawanan panjang. Sumber kekayaan
alam yang terkandung di balik salju dan tumpukan pagoda-pagoda di pegunungan
himalaya juga menjadi perebutan negara-negara dunia. Maka perjuangan
kemerdekaan terhadap Tibet dari China harus di dukung sepenuhnya oleh siapa
saja yang mengakui adanya demokrasi ataupun HAM sebagai prinsip kehidupan yang
mengatur hubungan antar manusia. [*]
*) Danuji Ahmad, peneliti pada lembaga kajian agama dan sosial (LeKAS), Yogyakarta.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar