Minggu, 23 Maret 2014

Revolusi Tibet

Judul buku: Revolusi Tibet
Penulis: Nurani Soyomukti
Penerbit: Garasi, Yogyakarta
Tebal: 138, Halaman
Cetakan: I, 2008


Pada tanggal 8 Maret 2008, dunia di gemparkan dengan adanya suatu peristiwa. Peristiwa itu adalah Revolusi Tibet, yakni sebuah Revolusi yang di lakukan seorang biksu Buddha yang selama ini di padang sebagai salah satu penduduk bumi yang di percaya masih memiliki paham perdamaian dan ahimsanya, bahkan leluhur mereka Dalai Lama, mendapatkan Nobel karena hasil pemikirannya yang arif (local wisdom) dalam menyikapi segala permasalah dunia, justru mereka melakukan berbagai kerusuhan yang kontra denga nilai-nilai ajaran yang di anutnya. Dari sinilah asiknya buku ini untuk di gaji kembali keberadaanya.
Dari peritiwa inipun kemudian menyita perhatian banyak kalangan, baik dari politisi ataupun kaum inteletual. Ada apakah di balik peristiwa ini?, mengapa biksu Buddha yang selama ini di pandang masyarakat dunia sebagai mahluk bumi yang di percaya masih memiliki jiwa tenang bisa bertindak anarkis sepeti itu?. Tentu, hal ini ada penyebabnya. Nah, buku yang berjudul ‘Revolusi Tibet’ karya terbaru dari intelektual kawakan Nuryani soyomukti ini, akan berusaha mengungkap tentang Revolusi yang terjadi di Tibet tentang fakta, intrik dan politik, serta berbagai kemugkinan adanya kepentingan dari negara- negara lain dunia mengingat tibet dalam catatan sejarah merupakan negara secara politisi telah menjadi ajang perebutan pengaruh bagi berbagai kekuatan dunia.
Tibet memang daerah yang cukup strategis. Tibet juga memiliki keindahan dan kesakralan alam yang tak di miliki oleh daerah-darah manapun di belahan bumi ini. Penduduknyapun tenang, damai dan taat dalam menjalankan pribadatannya. Akan tepi, China telah mempercikan api kemarahan di dalamnya. China telah memberlakukan sistem pemerintah yang anti–demokrasi di Tibet. Hal ini terlihat jelas aksi keras China terhadap aksi damai para biksu pada sebuah peringatan hari pahlawan di Tibet yang jatuh pada tanggal 10 maret 2008.
China telah mengusik mereka dengan bertindak represif dengan menahan 50 hingga 60 rahib yang tak jelas akar masalahnya. Sehingga, pertepuran biksu dan polisi militer China tak dapat di bendung lagi. Demonstrasi dan aksi masapun meluas karena China di anggap bereaksi terlalu berlebihan terhadap Tibet. Aksi-aksi butral biksupun kian menjadi-jadi dengan membakar pos-pos polisi, hotel-hotel dan sebuah masjid milik Hui musim dan etnik minoritaspun tak lupa menjadi sasaran kemarahan biksu Tibet ini. Bahkan salah satu demonstran, juga bertindak nir-kemanusian dengan menikam penduduk. Aksi yang pada awalnya hanya untuk memperingati hari pahlawanpun berubah menjadi aksi kemerdekaan.

Teologi Kemanusian
Dalam buku ‘putih’ China di sebutkan bahwa Tibet adalah kepemilikkannya. di dalam buku ini juga membahas masalah hak asasi manusia (HAM human right), termasuk di dalamnya juga membahas masalah sosial, ekonomi dan hak budaya. Tapi patut di sayangkan dalam buku tersebut tidak membahas sedikitpun tentang hak rakyat Tibet untuk menentukan nasib mereka sendiri (self-determination).
Padahal, di bawah hukum internasional, penduduk Tibet sudah memenuhi kriteria sebagai rakyat ( a people) yang memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri tanpa campur tangan dari pihak manapun. Rakyat tibet juga secara jelas membentuk kesatuan di bawah hukum internasional oleh UNESCO Internasional Meeting of e Experts on Further Study of the Concept of the Right of Peoples ( Pertemuan Internasioanal untuk Ahli mengenai Studi Lebih Jauh Mengenai Hak-Hak Rakyat). Menurut konsep tersebut, hak untuk menentukan nasib sendiri berarti bahwa adanya hak rakyat untuk menetukan status politik dan menetukan perkembangan ekonomi, sosial, dan kebudayaanya yang bebas dari intervensi luar.
Prinsip senada juga di tegaskan dalam konvensi internasional mengenai hak sipil dan poitik (International Covenants on Civil and Political Right) dan konvensi internasional mengenai hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (Esocob) International Covenant Economic, Social, and Cultural Right. Rakyat Tibet telah di halangi untuk memenuhi hak-haknya itu sejak terjadi invansi dan pendudukan China. Sebagai mana yang telah kita ketahui sebelumnya, China merupakan suatu negara yang menerapkan sistem anti-demokrasi. Sehingga dalam kontek ini rakyat Tiber hidupnya dalam keterpasungan.(hlm 39-40)
Sejarah Tibet memang penuh dengan penindasan dan perlawanan panjang. Sumber kekayaan alam yang terkandung di balik salju dan tumpukan pagoda-pagoda di pegunungan himalaya juga menjadi perebutan negara-negara dunia. Maka perjuangan kemerdekaan terhadap Tibet dari China harus di dukung sepenuhnya oleh siapa saja yang mengakui adanya demokrasi ataupun HAM sebagai prinsip kehidupan yang mengatur hubungan antar manusia. [*]

*) Danuji Ahmad, peneliti pada lembaga kajian agama dan sosial (LeKAS), Yogyakarta.

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar