Judul:
Resolusi Jihad Paling Syar’i, Biar Kebenaran Yang
Hampir Setengah Abad yang
Dikaburkan
Catatan Sejarah Terbongkar
Penulis: Gugun El-Guyanie Penerbit: Pustaka Pesantren, Yogyakarta Cetakan: I, 2010 Tebal: xiv+128 hal. Peresensi: Ahmad Shiddiq*) |
Para
ulama yang tergabung dalam Jam’iyyah NU, tentu memiliki pandangan dan ijtihad
terhadap seluruh persoalan agama, termasuk dalam menafasirkan makna jihad
secara kontekstual. Diskursus tentang jihad selalu menyita perhatian dari
berbagai kalangan, baik Islam sendiri atau pun non muslim. Bagi kalangan Islam,
ajaran jihad merupakan sesuatu yang inheren, sehingga setiap muslim secara
otomatis adalah seorang mujahid. Dalam merespon situasi yang membahayakan
kedaulatan, PBNU kemudian membuat undangan kepada konsul NU di seluruh Jawa dan
Madura.
Hadhratus
Syaikh KH. Hasyim Asy’ari langsung memanggil kiai Wahab Hasbullah, kiai Bisri
Samsuri, dan para kiai lainnya untuk mengumpulkan para kiai se Jawa dan Madura,
atau utusan cabang NU-nya untuk berkumpul di Surabaya, tepatnya di Kantor PB
Ansor Nahdlatul Oelama (ANO) di Jl. Bubutan VI/2, bukan di kantor PBNU yang
saat itu berada di jalan Sasak nomor 23 Surabaya. Hingga memutuskan hal penting
bagi bangsa dan negara, yang dikenal Revolusi Jihad tanggal 22 Oktober. Lalu
pertanyaannya kenapa dalam lembaran sejarah perjuangan kaun santri lenyap
begitu saja.
Buku
yang yang ditulis oleh Gugun El- Guyanie ini, sangat penting untuk diketahui
bangsa yang sudah lebih setengah abad merdeka. Karena, Pertama, Resolusi
Jihad yang perankan NU termajinalisasi bahkan terhapus dari memori sejarah
bangsa. Tentu karena pergulatan dan manuver politik, ada upaya-upaya dari
kelompok tertentu yang ingin menggusur NU dari dinamika percaturan politik
kebangsaan.
Mengapa
heroisme terjadi di Surabaya? Kota yang menjadi simbol kota santri, ibu kota
NU, dan di ibu kota tersebut pula Jam’iyah NU didirikan tahun 1926?
Mengapa dalam pembahasan Resolusi Jihad ini perlu mengungkap setting geosospol
dan geokultur. Karena kota Surabaya memiliki khas yang unik, baik dari segi
politik, budaya, maupun religiusitasnya. Dengan demikian, akan ditemukan titik
sinkron antara Surabaya dan heroisme jihad dari para kiai dan santri dalam
membela tanah air. Surabaya kota pesisir timur pantai utara Jawa yang terus
berubah, sekarang telah menjadi sebuah metropolitan, dengan proses dan dinamika
yang muncul didalamnya.
Maka
wacana Resolusi Jihad NU harus dihidupkan kembali, direkontruksi dan tidak
ditempatkan pada upaya politisasi sejarah. Tanpa Resolusi Jihad, tak akan ada
NKRI. Kedua, pada lingkup internal, banyak kader-kader Muda NU yang tidak
mengerti rangkaian sejarah Resolusi Jihad. Hal ini dapat dibuktikan, ingatan
masyarakat tentang Resolusi Jihad NU 1945 yang memiliki mata rantai dengan
peristiwa 10 November di Surabaya semakin punah. Jangankan masyarakat umum,
generasi penerus NU dari pusat sampai ranting, Ansor, Fatayat NU, IPNU-IPPNU
pun banya yang tidak mendapatkan transfer sejarah mengenai resolusi penting
ini.
Dari
fatwa Resolusi Jihad ini, yang keluarkan oleh NU, umat menyambut seruan
tersebut dengan gegap gempita. Dimana-mana, peperangan berkobar. Puncaknya,
pada pagi, dari ujung-ujung terjauh pulau Jawa, para mujahid berdatangan
memenuhi kota Surabaya. Pekik takbir pun membahana, menggoncang jiwa-jiwa musuh
yang durjana. Resolusi Jihad telah menggerakkan perang paling kolosal yang
pernah ada dalam sejarah Nusantara, yang kemudian terkenal dengan peristiwa 10
November 45. Namun, sejarah tidak merekam perjuangan kaum santri dengan
Resolusi Jihadnya. Artinya bahwa kontribusi NU yang begitu besar dalam
mempertahankan kedaulatan NKRI ternyata dipandang sebelah mata oleh pemerintah
dari zaman kemerdekaan sampai hari ini.
Seandainya
saja Resolusi Jihad tidak ada, juga laskar-laskar yang berafilasi dengan NU
seperti Hizbullah dan Sabilillah bersama laskar-laskar rakyat lain tidak lahir
untuk menentang sekutu, mungkin Indonesia yang merdeka tidak bisa dinikmati
sampai hari ini. Hal inilah yang seharusnya menjadi perhatian para pengambil
kebijakan, juga para sejarawan untuk memposisikan peran NU secara proporsional.
Saatnya sejarah harus menampilkan peristiwa-peristiwa yang sebenarnya terjadi,
bukan menutupi, mengurangi atau menambahi, memanipulasi atau mengkomoditinya.
Munculnya
hari pahlawan, kota pahlawan, dan peristiwa 10 November serta para pahlawan
yang gugur adalah bagian dari roh Resolusi Jihad yang ditiupkan oleh para kiai
dan santri. Berapa pengorbanan jiwa dan raga yang harus dibayar oleh mereka
untuk membayar kecintaannya pada bangsa, tetapi apa balasan pemerintah bagi
mereka (warga NU)? Meminggirkan pendidikan pesantren, menuduh pesantren sarang
teroris, menyinggirkan alumni pesantren dari dunia kerja?. Pada hal, dengan
Resolusi Jihad berdampak pada dua hal penting terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara
Indonesia. Pertama, dampak politik, lahirnya resolusi jihad, secara
politik meneguhkan kedaulatan Indonesia sebagai negara bangsa (nation state)
yang merdeka dari penjajahan. Meski setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus
1945, Indonesia selalu berdarah-darah untuk mengahadapi masuknya tentara
sekutu, agresi militer Belanda pertama dan kedua. Kedua, dampak militer.
Resolusi jihad, dengan tampilnya lascar Hizbullah dan sabilillah, berkontribusi
besar melahirkan tentara nasional. Tanpa laskar-laskar tersebut, yang
terkomando dalam Resolusi Jihad untuk mempertahankan kemerdekaan, rekrutmen
tentara nasional akan mengalami kesulitan. (hal, 102)
Resolusi
Jihad NU telah mengobarkan jiwa dan raga para pejuangnya. Namun sampai hari
ini, banyak generasi bangsa yang tidak mengenal tragedy bersejarah itu, bahkan
generasi NU sendiri. Hal ini dikarenakan, para sejarawan nasional, atas
kepentingan penguasa tidak mencatat Resolusi jihad NU dalam tinta emas sejarah.
Oleh karena itu, sudah saatnya sejarah harus berbicara jujur, untuk mengajarkan
kepada generasi bangsa bahwa Resolusi Jihad NU adalah pengorbanan yang besar
dari para kiai dan santri yang setia, dan mencintai tanah airnya. Orang-orang
pesantren selalu meyakini hadits Rasullah bahwa cinta tanah air adalah sebagian
dari iman.
Untuk
itu, buku ini penting dibaca oleh generasi bangsa, mahasiswa, akademisi
(sejarawan), warga dan pengurus NU dari berbagai level, agar bangsa ini bisa
menghargai jasa pahlawan yang telah mengorbankan jiwa-raganya, demi terwujud kemerdekaan
yang hakiki dari tangan penjajah. Dengan demikian, bangsa ini tidak seperti
kata pepatah “air susu di balas air tubah”. [*]
*) Santri Pesantren Luhur Al-Husna Surabaya
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar