Judul:
Sang Kiai: Potret Lokal Kesholehan Multikultural
Penulis: Wasid Penerbit: Impulse Cetakan: I, 2011 Tebal: 126 halaman Peresensi: Winarto Eka Wahyudi*) |
Al ‘adah
al-mukhakkamatu
(adat bisa dijadikan landasan sebuah hukum). Kaidah yang tidak asing dikalangan
pesantren ini serasa perlu untuk digalakkan kembali di setiap lini kehidupan
berbangsa dan bernegara dalam konteks sosial kemasyarakan dan hukum syaria’at
dikalangan ulama (baca: kiai), agar dalam setiap pengambilan keputusan dapat
menelurkan dawuh (fatwa)
yang santun dan arif sehingga dapat mengcover segala sesuatu yang berlaku di
dalam masyarakat. Kaidah ini sangat penting disegarkan kembali karena Islam
sebagai agama pembawa rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin) tidak bisa terhindar
dari suatu proses akulturasi antara budaya dan esensi suatu agama, sehingga
nilai-nilai atau hakikat dari Islam akan terasa dalam setiap lini kehidupan
beragama dan bersosial, serta ke-eksistensiannya dapat terealisasi dalam setiap
waktu, keadaan dan tempat yang berbeda-beda.
Seorang Kiai (baca:
ilmunya) yang menjadi tonggak berdirinya Islam yang damai dan santun tidak bisa
dilepaskan dari kemampuan untuk memahami perkara atau hal-hal yang berada dan
berlaku di lingkungan sekitarnya. Keahlian kiai dalam meramu dan meracik
nilai-nilai agama yang disandingkan dengan keanekaragaman serta kebutuhan
masyarakat luas akan mampu menghasilkan pola kehidupan bermasyarakat yang toto tentrem kerta raharjo (artinya;
kehidupan akan tertata, tentram dan sejahtera). Wal hasil, dalam menciptakan
dinamika kehidupan sosial yang menyejukkan, sosok kesholehan seorang kiai
multikultural sangat dibutuhkan.
Hal semacam ini
tampak sangat berbeda apabila seorang tokoh agama hanya mampu mempraktekkan
agama dalam bentuk tekstualis non-kontekstual, artinya hanya mengamalkan agama
berdasarkan apa adanya teks keagamaan dengan mengenyampingkan realitas dan
konteks sosial yang mendarah daging dalam masyarakat. Akibatnya, pemahaman yang
berdampak pada perilaku beragama akan tampak rigid dan kaku, dan hal semacam
ini berimbas pada kekerasan dan radikalisme atas nama agama yang dewasa ini
kian menggejala.
Sejarah telah
mencatat keberhasilan para Walisongo dalam rangka menebarkan ajaran Islam
Nusantara yang dilakukan dengan dakwah bil
hikmah, yakni kemampuan untuk menebarkan syari’at islam dengan
menggunakan metode yang sangat apik, yaitu melalui perkawinan antara budaya
lokal yang dibingkai dengan semangat nilai-nilai keislaman, hal ini terbukti
sangat ampuh dan sekaligus dapat diterima secara luas oleh semua lapisan
masyarakat dengan tanpa kekerasan apalagi pembunuhan dan peperangan.
Disisi lain,
konstribusi seorang Kiai dalam rangka pembentukan karakter dan pembangunan
nasional (character
building and nation building) dalam sejarah bangsa Indonesia tidak
bisa terelakkan lagi. Ambil saja contoh kesuksesan Kiai Kholil bangkalan,
Madura yang mencetak ratusan bahkan ribuan kiai Nusantara merupakan bukti
konkrit keberhasilannya dalam melakukan sinergisitas antara agama dan budaya
guna membangun peradaban bangsa. Begitu juga Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari
yang juga murid kesayangan mbah Kholil (sapaan akrab Kiai Kholil), berhasil
membentuk wadah bagi para ulama yang dikenal dengan organisasi keagamaan
Nahdhotul Ulama (NU) yang nanti ke depannya berperan sangat besar dalam rangka
merebut kemerdekaan bangsa dan selanjutnya turut mengisi dan mewarnai
kemerdekaan bangsa Indonesia. Begitulah seharusnya tugas para Kiai yang
tidak hanya menyebarkan agama secara kaku dan menakutkan, akan tetapi penyebaran
dan upaya pemahaman agama Islam harus dilakukan dengan cara mengadopsi
budaya-budaya luhur dari masyarakat setempat.
Melihat realitas
semacam ini, Wasid melalui bukunya yang berjudul “Sang Kiai; Potret Lokal Kesholehan Multikultural”
memberi pesan kepada para tokoh agama agar dalam mentransformasikan syariat dan
nilai-nilai Islam hendaknya dengan melalui proses yang menyejukkan dan arif
sehingga Image Islam
tidak terkesan angker dan menakutkan. Prinsip yang harus dipegang teguh oleh
para Kiai dalam mendakwahkan ajaran Islam seperti yang terkandung dalam buku
ini adalah kemampuan seorang Kiai untuk menyadari realitas kehidupan yang
sangat beragam dan sukar untuk dibuat seragam, artinya perbedaan merupakan
sebuah keniscayaan yang melahirkan realitas akan keberagaman masyrakat sehingga
menelurkan sebuah istilah yang dinamakan kesholehan multikultural.
Dalam buku ini
penulis mengangkat seorang tokoh, yaitu KH Sholeh Bahrudin yang menjadi obyek
penelitiaanya dan berhasil dalam mensinergikan antara kebudayaan dengan
teks-teks keagamaan yang profan, sehinga melahirhan kesholehan multikultural
yang dapat merangkul semua jenis karakteristik manusia yang berbeda namun
dengan pola semangat yang sama, yakni esensi dan hakikat islam yang damai dan
saling hormat menghormati.
Ketidak sempurnaan
merupakan hal yang sangat wajar dalam realitas kehidupan, begitupun dengan buku
ini yang seolah terkesan mengangkat hanya satu golongan atau kelompok
organisasi keagamaan tertentu yang sebenarnya banyak dimiliki juga oleh
kelompok golongan lain. Namun bertolak dari itu semua, pesan yang terkandung
dalam buku ini sangat bagus dan terasa menjadi seteguk air dari kehausan bangsa
Indonesia yang merindukan sosok para kiai yang benar-benar faham terhadap
realitas kehidupan yang pada akhir-akhir ini semakin langka. Dengan gaya bahasa
yang mudah dimengerti dan susunan kata yang elok, buku ini sangat pantas dibaca
oleh semua kalangan dan semua golongan, yang pada akhirnya cita-cita dan
gagasan yang terkandung dalam buku ini, yaitu menciptakan pribadi yang
bijaksana dalam beragama dapat segera terwujud. [*]
*) Koordinator Aswaja Center IPNU IAIN Sunan Ampel Surabaya
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar