Judul
Buku: Satu Abad Muhammadiyah;
Mengkaji Ulang Arah
Pembaruan
Peresensi: Mohamad Asrori Mulky Penulis: M. Dawam Rahardjo, dkk Penerbit: Paramadina & LSAF Cetakan: Pertama, Juni 2010 Tebal: xxxiv + 248 halaman |
Pada 3-8 Juli lalu
Muhammadiyah menyelenggarakan muktamar ke-46 di Jogjakarta. Di muktamar kali
ini, usia Muhammadiyah sudah mendekati satu abad, tepatnya 98 tahun menurut
hitungan Masehi dan seratus tahun menurut hitungan hijriah. Muhammadiyah
didirikan KH Ahmad Dahlan pada 8 Zulhijah 1330 atau 18 November 1912.
Ribuan peserta dari
berbagai daerah memadati Kota Gudeg. Selain memilih pucuk pimpinan organisasi
untuk periode lima tahun berikutnya, muktamar membahas berbagai masalah
internal keorganisasian, keindonesiaan dan keumatan, berikut peluang dan
tantangannya pada masa mendatang.
Sudah barang tentu
banyak ucapan selamat diberikan kepada Muhammadiyah dengan berbagai ekspresi
yang berbeda-beda, sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya. Salah satunya
dalam bentuk pemikiran seperti yang terhimpun dalam buku Satu Abad
Muhammadiyah; Mengkaji Ulang Arah Pembaruan yang ditulis Dawam Rahardjo dan
para penulis muda ini.
Buku ini bermula
dari obrolan sederhana antara dua pemikir yang berbeda generasi, Dawam Rahardjo
dan Moh. Shofan tentang perkembangan pemikiran Islam Indonesia, khususnya di
lingkungan NU dan Muhammadiyah. Pada kesempatan itu, Shofan usul agar Dawam
menuliskan pemikirannya soal Muhammadiyah, khususnya untuk menyambut perhelatan
muktamar ke-46 dan momentum seabad Muhammadiyah.
Dawam kemudian
mewujudkan pemikirannya dengan judul tulisan, Mengkaji Ulang Muhammadiyah
sebagai Organisasi Islam Berorientasi Pembaruan. Tak pelak tulisan Dawam
mendapat ruang publisitas dan ditanggapi anak-anak muda yang berasal dari
beragam elemen -meski pada awalnya berharap agar anak-anak muda Muhammadiyah
sendiri yang menanggapi. Secara keseluruhan, tulisan yang terhimpun dalam buku
ini bermuara pada satu kesimpulan bahwa Muhammadiyah di usianya yang seabad
telah mengalami disorientasi dari organisasi pembaruan menuju organisasi
konservatif. Meskipun, ada sebagian penulis dalam buku ini yang masih malu-malu
mengatakannya.
Seabad bisa
dipahami sebagai periode abad kedua untuk Muhammadiyah. Suatu periode yang
diharapkan bisa melampaui periode-periode sebelumnya yang telah melewati
beragam dinamika zaman yang penuh perjuangan -baik di era perjuangan
kemerdekaan pada masa kolonial, era setelah kemerdekaan pada masa Orde Lama dan
Orde Baru, maupun era reformasi hingga kini. Fase terakhir ini bisa dibilang
sebagai fase paling menentukan masa depan Muhammadiyah.
Atas dasar itu,
para penulis mengusulkan agar dalam menghadapi pergantian abad menuju fase baru
ini, Muhammadiyah diharapkan untuk merumuskan ulang orientasi dakwah dan tajdid
yang telah menjadi fokus gerakannya selama ini. Dengan demikian, Muhammadiyah
akan mampu melintasi zaman dengan penuh kesiapan dan rasa percaya diri untuk
menghadirkan risalah Islam sebagai rahmatan lil-alamin.
Dalam tulisannya,
Dawam melancarkan kritik kepada Muhammadiyah, paling tidak pada dua hal. Yakni,
misi praksis Muhammadiyah dan misi teologisnya. Secara praksis, Muhammadiyah
menunjukkan kemajuan yang cukup signifikan. Di usianya yang seabad ini,
Muhammadiyah tercatat memiliki belasan ribu sekolah TK-SMA, 167 perguruan
tinggi, ratusan panti sosial, dan ribuan amal usaha lainnya, termasuk yang
berkaitan dengan pemberdayaan ekonomi rakyat di berbagai daerah.
Namun, menurut
Dawam, tidak ada suatu konsep pendidikan distingtif di Muhammadiyah. Tidak ada
konsep mengenai sistem pendidikan yang dikatakan sebagai konsep yang dianut
oleh Muhammadiyah. Yang ada hanya wujud fisik atau suatu proyek sosial biasa
yang dilakukan oleh banyak organisasi keagamaan dan Muhammadiyah salah satu di
antaranya. Bahkan, Muhammadiyah hanyalah mengikuti, jika tidak boleh dibilang
meniru, kegiatan-kegiatan yang sebelumnya dilakukan oleh misionaris Kristen
(hlm. 8).
Dalam kritiknya
itu, Dawam ingin menunjukkan bahwa konsep dan metodologi pendidikan yang selama
ini dikembangkan Muhammadiyah salah satunya hanya dimotivasi untuk menandingi
gerakan misionaris Kristen dalam mendirikan sekolah-sekolah umum yang berbasis
klasikal. Artinya, yang dikembangkan Muhammadiyah tidak benar-benar murni milik
Muhammadiyah sendiri, baik secara konseptual maupun metodologis. Muhammadiyah
masih belum melakukan pembaruan sistem pendidikan yang integral sehingga
pendidikan Islam masih bersifat dualitas antara pendidikan agama yang
tradisional dan ilmu pengetahuan umum.
Secara teologis,
menurut Dawam, Muhammadiyah mengalami konservatisisme yang akut, meski sejak
awal organisasi ini menginjakkan kakinya pada pembaruan Muhammad Abduh. Tidak
ada perhatian dari kalangan Muhammadiyah terhadap literatur-literatur para
pemikir progresif-liberal kontemporer, misalnya, Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abi
Zaid, Abid Al-Jabiri, Mohamad Arkuon, dan Ashghar Ali Engineer. Hal itu
menunjukkan betapa Muhammadiyah sudah mengalami krisis pemikiran
progresif-liberal atau krisis epistemologis. Sejauh ini Muhammadiyah hanya
mengembangkan metode ”bayani” yang bertumpu pada kekuatan teks hingga akhirnya
meninggalkan konteksnya.
Semboyan yang kerap
didengungkan Muhammadiyah, ar-Rujû’ ila al-Qur’ân wa as-Sunnah, kembali kepada
Alquran dan sunah, telah menjadikan mereka kaum literalis atau tekstualis.
Muhammadiyah lupa bahwa kembali pada ajaran Alquran dan sunah juga memiliki
makna liberalnya, yaitu dengan cara menafsir kembali bunyi teks dengan tetap
memperhatikan kebutuhan zaman. Hanya dengan cara demikian, Islam yang
dikembangkan Muhammadiyah melalui konsep dakwah dan tajdidnya akan mendapat
simpati publik dan sesuai dengan semangat khitah 1912 sebagai organisasi
pembaruan.
Membaca buku ini,
kita tidak sekadar disuguhi kritik tajam dari pemikiran Dawam Rahardjo. Lebih
dari itu, kita akan mengetahui tanggapan dari kalangan anak muda terhadap
tulisan Dawam itu. Yang pasti, kehadiran buku ini tidak perlu dipahami sebagai
bentuk dari aktualisasi diri Dawam Rahardjo yang penuh dendam karena dia pernah
dipecat dari Muhammadiyah. Sesungguhnya, Dawam tidak peduli ke mana
Muhammadiyah akan diarahkan. Dia selama ini bersikap semata-mata karena
tanggung jawab moral sebagai pemikir yang ingin menghantamkan gagasannya ke
sana kemari dengan tetap berpijak pada data dan fakta yang ada. [*]
*) Mohamad Asrori
Mulky, peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas
Paramadina Jakarta
Sumber:
JawaPos,15 Juli
2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar