Judul
Buku: Satu Dekade Pasca Krisis Indonesia
Penulis: Tim PSAP UGM Penerbit: Kanisius, Yogyakarta Cetakan: I, 2007 Tebal: 231 halaman |
Tahun
1998 menjadi saksi bagi tragedi perekonomian bangsa. Keadaannya berlangsung
sangat tragis dan tercatat sebagai periode paling suram dalam sejarah
perekonomian Indonesia. Mungkin dia akan selalu diingat, sebagaimana kita
selalu mengingat black Tuesday yang menandai awal resesi ekonomi dunia tanggal
29 Oktober 1929 yang juga disebut sebagai malaise.
Hanya
dalam waktu setahun, perubahan dramatis terjadi. Prestasi ekonomi yang dicapai
dalam dua dekade, tenggelam begitu saja. Dia juga sekaligus membalikkan semua
bayangan indah dan cerah di depan mata menyongsong milenium ketiga.
Selama
periode sembilan bulan pertama 1998, tak pelak lagi merupakan periode paling
hiruk pikuk dalam perekonomian. Krisis yang sudah berjalan enam bulan selama
tahun 1997,berkembang semakin buruk dalam tempo cepat. Dampak krisis pun mulai
dirasakan secara nyata oleh masyarakat, dunia usaha.
Dana
Moneter Internasional (IMF) mulai turun tangan sejak Oktober 1997, namun
terbukti tidak bisa segera memperbaiki stabilitas ekonomi dan rupiah. Bahkan
situasi seperti lepas kendali, bagai layang-layang yang putus talinya. Krisis
ekonomi Indonesia bahkan tercatat sebagai yang terparah di Asia Tenggara.
Seperti
efek bola salju, krisis yang semula hanya berawal dari krisis nilai tukar baht
di Thailand 2 Juli 1997, dalam tahun 1998 dengan cepat berkembang menjadi
krisis ekonomi, berlanjut lagi krisis sosial kemudian ke krisis politik.
Akhirnya,
dia juga berkembang menjadi krisis total yang melumpuhkan nyaris seluruh
sendi-sendi kehidupan bangsa. Katakan, sektor apa di negara ini yang tidak
goyah. Bahkan kursi atau tahta mantan Presiden Soeharto pun goyah, dan akhirnya
dia tinggalkan. Mungkin Soeharto, selama sisa hidupnya akan mengutuk devaluasi
baht, yang menjadi pemicu semua itu.
Faktor
yang mempercepat efek bola salju ini adalah menguapnya dengan cepat kepercayaan
masyarakat, memburuknya kondisi kesehatan Presiden Soeharto memasuki tahun
1998, ketidakpastian suksesi kepemimpinan, sikap plin-plan pemerintah dalam
pengambilan kebijakan, besarnya utang luar negeri yang segera jatuh tempo,
situasi perdagangan internasional yang kurang menguntungkan, dan bencana alam
La Nina yang membawa kekeringan terburuk dalam 50 tahun terakhir.
Dari
total utang luar negeri per Maret 1998 yang mencapai 138 milyar dollar AS,
sekitar 72,5 milyar dollar AS adalah utang swasta yang dua pertiganya jangka
pendek, di mana sekitar 20 milyar dollar AS akan jatuh tempo dalam tahun 1998.
Sementara pada saat itu cadangan devisa tinggal sekitar 14,44 milyar dollar AS.
Terpuruknya
kepercayaan ke titik nol membuat rupiah yang ditutup pada level Rp 4.850/dollar
AS pada tahun 1997, meluncur dengan cepat ke level sekitar Rp 17.000/dollar AS
pada 22 Januari 1998, atau terdepresiasi lebih dari 80 persen sejak mata uang
tersebut diambangkan 14 Agustus 1997.
Rupiah
yang melayang, selain akibat meningkatnya permintaan dollar untuk membayar
utang, juga sebagai reaksi terhadap angka-angka RAPBN 1998/ 1999 yang diumumkan
6 Januari 1998 dan dinilai tak realistis.
Krisis
yang membuka borok-borok kerapuhan fundamental ekonomi ini dengan cepat
merambah ke semua sektor. Anjloknya rupiah secara dramatis, menyebabkan pasar
uang dan pasar modal juga rontok, bank-bank nasional dalam kesulitan besar dan
peringkat internasional bank-bank besar bahkan juga surat utang pemerintah
terus merosot ke level di bawah junk atau menjadi sampah.
Puluhan,
bahkan ratusan perusahaan, mulai dari skala kecil hingga konglomerat,
bertumbangan. Sekitar 70 persen lebih perusahaan yang tercatat di pasar modal
juga insolvent atau nota bene bangkrut.
Sektor
yang paling terpukul terutama adalah sektor konstruksi, manufaktur, dan
perbankan, sehingga melahirkan gelombang besar pemutusan hubungan kerja (PHK).
Pengangguran melonjak ke level yang belum pernah terjadi sejak akhir 1960-an,
yakni sekitar 20 juta orang atau 20 persen lebih dari angkatan kerja.
Akibat
PHK dan naiknya harga-harga dengan cepat ini, jumlah penduduk di bawah garis
kemiskinan juga meningkat mencapai sekitar 50 persen dari total penduduk.
Sementara si kaya sibuk menyerbu toko-toko sembako dalam suasana kepanikan luar
biasa, khawatir harga akan terus melonjak.
Pendapatan
per kapita yang mencapai 1.155 dollar/kapita tahun 1996 dan 1.088 dollar/kapita
tahun 1997, menciut menjadi 610 dollar/kapita tahun 1998, dan dua dari tiga
penduduk Indonesia disebut Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam kondisi
sangat miskin pada tahun 1999 jika ekonomi tak segera membaik.
Data
Badan Pusat Statistik juga menunjukkan, perekonomian yang masih mencatat
pertumbuhan positif 3,4 persen pada kuartal ketiga 1997 dan nol persen kuartal
terakhir 1997, terus menciut tajam menjadi kontraksi sebesar 7,9 persen pada
kuartal I 1998, 16,5 persen kuartal II 1998, dan 17,9 persen kuartal III 1998.
Demikian pula laju inflasi hingga Agustus 1998 sudah 54,54 persen, dengan angka
inflasi Februari mencapai 12,67 persen.
Di
pasar modal, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta (BEJ) anjlok
ke titik terendah, 292,12 poin, pada 15 September 1998, dari 467,339 pada awal
krisis 1 Juli 1997. Sementara kapitalisasi pasar menciut drastis dari Rp 226
trilyun menjadi Rp 196 trilyun pada awal Juli 1998.
Di
pasar uang, dinaikkannya suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) menjadi
70,8 persen dan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) menjadi 60 persen pada Juli
1998 (dari masing-masing 10,87 persen dan 14,75 persen pada awal krisis),
menyebabkan kesulitan bank semakin memuncak. Perbankan mengalami negative
spread dan tak mampu menjalankan fungsinya sebagai pemasok dana ke sektor riil.
Di
sisi lain, sektor ekspor yang diharapkan bisa menjadi penyelamat di tengah
krisis, ternyata sama terpuruknya dan tak mampu memanfaatkan momentum
depresiasi rupiah, akibat beban utang, ketergantungan besar pada komponen
impor, kesulitan trade financing, dan persaingan ketat di pasar global.
Selama
periode Januari-Juni 1998, ekspor migas anjlok sekitar 34,1 persen dibandingkan
periode sama 1997, sementara ekspor nonmigas hanya tumbuh 5,36 persen.
Krisis
kepercayaan ini menciptakan kondisi anomali dan membuat instrumen moneter tak
mampu bekerja untuk menstabilkan rupiah dan perekonomian. Sementara di sisi
lain, sektor fiskal yang diharapkan bisa menjadi penggerak ekonomi, juga dalam
tekanan akibat surutnya penerimaan.
Situasi
yang terus memburuk dengan cepat membuat pemerintah seperti kehilangan arah dan
orientasi dalam menangani krisis. Di tengah posisi goyahnya, Soeharto sempat
menyampaikan konsep "IMF Plus", yakni IMF plus CBS (Currency Board
System) di depan MPR, sebelum akhirnya ide tersebut ditinggalkan sama sekali
tanggal 20 Maret, karena memperoleh keberatan di sana-sini bahkan sempat
memunculkan ketegangan dengan IMF, dan IMF sempat menangguhkan bantuannya.
Ditinggalkannya
rencana CBS dan janji pemerintah untuk kembali ke program IMF, membuat dukungan
IMF dan internasional mengalir lagi. Pada 4 April 1998, Letter of Intent ketiga
ditandatangani. Akan tetapi kelimbungan Soeharto, telah sempat menghilangkan
berbagai momentum atau kesempatan untuk mencegah krisis yang berkelanjutan.
Bahkan
memicu adrenali masyarakat, yang sebelumnya terbilang tenang menjadi beringas.
Kemarahan rakyat atas ketidakberdayaan pemerintah mengendalikan krisis di tengah
harga-harga yang terus melonjak dan gelombang PHK, segera berubah menjadi aksi
protes, kerusuhan dan bentrokan berdarah di Ibu Kota dan berbagai wilayah lain,
yang menuntun ke tumbangnya Soeharto pada 21 Mei 1998.
Tragedi
berdarah ini memicu pelarian modal dalam skala yang disebut-sebut mencapai 20
milyar dollar AS, gelombang hengkang para pengusaha keturunan, rusaknya
jaringan distribusi nasional, terputusnya pembiayaan luar negeri, dan
ditangguhkannya banyak rencana investasi asing di Indonesia.
Munculnya
pemerintahan baru yang tidak memiliki legitimasi, dan lebih sibuk dengan
manuvernya untuk merebut hati rakyat, tidak banyak menolong keadaan. Pemburukan
kondisi ekonomi, sosial, dan politik dengan cepat ini setidaknya terus
berlangsung hingga kuartal kedua, bahkan kuartal ketiga 1998. Begitulah, kita
telah menyaksikan episode terburuk perekonomian sepanjang tahun 1998.[*]
*) Miftahul Jannah el-Ma'un, Peresensi adalah pengamat sosial, aktivis K.H. Ahmad Dahlan Community for Peace and Tolerance (ADCPT).
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar