Judul:
Satu Dusun Tiga Masjid;
Anomali Ideologisasi Agama dalam
Agama
Penulis:
Ahmad Salehudin
Penerbit:
Pilar Media, Yogyakarta
Cetakan:
1, Maret 2007
Tebal:
xxiv + 132 Halaman
Peresensi:
Puji Hartanto*)
|
Dalam sejarah
manusia seluruh dunia dan pada setiap zaman, agama adalah sesuatu yang terus
mengalami perubahan. Hal demikian ini dikarenakan agama tidaklah lahir dari
sebuah realitas yang hampa, tetapi ia (agama) hadir dalam masyarakat yang telah
mempunyai nilai-nilai. Pertemuan antara Islam dan budaya Indonesia yang
notabene mempuyai budaya dan kultur yang berlainan antar suku bangsa misalnya,
telah menjadikan Islam Indonesia mempunyai banyak wajah.
Ini tercermin dari
beragamnya organisasi sosial-keagamaan seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama
(NU), Dewan Dakwah Islamiyah (DDII), Lembaga Dakwah Islam Indonesia (Islam
Tauhid), Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan lain
sebagainya yang merupakan bukti dari banyaknya wajah atau lebih tepatnya
ekspresi keberagamaan keislamanan masyarakat Indonesia. Beragamnya ekspresi
keberagamaan tersebut menurut Geertz (1960) dipengaruhi oleh proses panjang
pertemuan Islam dengan budaya lokal yang heterogen.
Buku dengan judul
Satu Dusun Tiga Masjid Anomali Ideologisasi Agama dalam Agama yang di tulis
oleh Ahmad Salehudin ini adalah buku dari hasil penelitaannya yang di fokuskan
pada masyarakat Gunung Sari. Dalam penelitiannya ini Salehudin mencoba melihat
agama yang bekerja dalam masyarakat atau memahami ekspresi keberagamaan masyarakat
dan interaksi sosial keagamaan dengan mempertimbangkan pola konstruksi sosial
keberagamaannya. Hasilnya, ditemukan sebuah wajah agama baru berdasarkan tiga
tipologi hubungan agama dan budaya lokal, yaitu sinkretis, akulturatif, dan
pribumisasi.
Dari ketiga macam
paradigmatik itulah kiranya semakin memperjelas kepada kita bahwa terdapat
kecenderungan tentang bagaimana cara masyarakat mengkonstruksi agama (Islam)
berdasarkan letak geografis dan pemahaman keagamaan yang dipengaruhi oleh
tradisi lokal yang pada gilirannya telah melahirkan bermacam ekspresi keagamaan
yang unik baik secara pemikiran, ritual, dan persekutuan antara pemeluk yang
satu dengan yang lainnya. Fenomena ekspresi keagamaan masyarakat Gunung Sari
sebagaimana diuraikan dalam buku ini adalah bukti riil dari keunikan yang di
maksud.
Gunung Sari adalah
daerah yang secara goegrafis terletak cukup dekat dengan pusat keagamaan di
Yogyakarta, yaitu berjarak sekitar 19 km dari Kauman sebagai pusat
Muhammadiyah, sekitar 25 km dari pondok Krapyak, Bantul sebagai pusat
penyebaran NU, dan sekitar 60 Km dari pusat penyebaran Islam Tauhid yaitu
daerah Degan, Kulonprogo. Sedangkan secara budaya, wilayah Gunung Sari juga
cukup dekat dengan Kraton Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa, serta
beberapa obyek wisata sosial-relegius seperti candi Prambanan sebagai simbol
Hindhu, candi Borobudur dan Mendut sebagai simbol agama Budha.
Dengan posisi yang
demikian itu, maka Gunung Sari merupakan medan interaksi antara NU,
Muhammadiyah, Islam Tauhid dan budaya Jawa serta pemikiran-pemikiran keagamaan
lain yang diderivasi dari budaya Jawa. Oleh karena sebagai medan
interaksi, maka perbedaan pemahaman keislamannya pun mengalami perbedaan.
Perbedaan paham keislaman ini menyebabkan setiap rombongan keagamaan berada
pada posisi saling berhadapan secara diametral (hal 52). Mereka seringkali
saling menyalahkan, saling bertahan, dan bahkan saling menyerang. Polarisasi
dan pengidentifikasian diri ini berlangsung secara terus menerus, dan
diwariskan dari generasi kegenerasi berikutnya.
Dari sini yang
terjadi kemudian adalah pembatasan antara kelompok NU, Muhammadiyah dan Islam
Tauhid. Pemetaan tersebut juga semakin nampak dengan keberadaan masjid-masjid
sebagai identitas kelompoknya. Sebut saja misalnya Masjid Zuhud sebagai
Masjidnya Islam Tauhid, masjid Miftahul Huda sebagai masjidnya orang NU, dan
masjid Ikhlas sebagai masjidnya orang Muhammadiyah. Dan inilah yang oleh
penulis buku ini disebut dengan istilah satu dusun tiga masjid.
Sejarah
Islam di Indonesia
Setidaknya ada
empat teori yang menjelaskan mengenai sejarah kedatangan Islam ke Indonesia .
Pertama, Islam datang dari anak benua India yaitu Gujarat dan Malabar. Kedua,
Islam datang dari Bengal , seperti yang telah diungkapkan oleh SQ Fatimi.
Ketiga, Islam datang ke Indonesia melalui Colomader dan Malabar. Dan keempat,
sebagaimana yang di ungkapkan oleh Naquib al-Attas bahwa Islam datang dari
sumber aslinya yaitu Arab. Dalam hal ini, adalah Azumarzi Azra (1994) yang
mengatakan bahwa mungkin saja Islam yang datang ke Indonesia adalah Islam Arab,
tetapi tentu saja Islam yang berdasarkan atas interpretasi dari para
pembawanya.
Dari berbagai macam
teori diatas, maka atas beragamnya wajah Islam di Indonesia ini setidaknya
adalah dari hasil proses panjang pertemuan Islam dengan budaya lokal yang
heterogen. Dengan kata lain, Islam di Jawa merupakan hasil dari pertemuan Islam
dengan local javanese religion, Hinduisme dan Budhisme yang hidup secara
bersamaan. Oleh karena itulah, melihat Islam Indonesia sebagai suatu kebulatan
adalah sesuatu yang mustahil. Hal ini disebabkan oleh persepsi dari
individu-individu pemeluknya mengenai apa yang mereka pahami sebagai realitas
mutlak (ultimate reality).
Yang perlu di garis
bawahi adalah bahwa agama sebagai bagian dari sistem budaya, keberadaannya
senantiasa akan selalu bergerak secara dinamis, sehingga dalam kurun waktu
tertentu wajah agama akan senantiasa berubah tergantung pada bagaimana individu
atau kelompok memahaminya. Maka cara yang paling bijaksana dalam kita
melihat berbagai perbedaan cara mengekspresikan keberagamaan adalah dengan
tidak menganggap salah terhadap individu-individu atau kelompok-kelompok
keagamaan, tetapi sebuah kebenaran-kebenaran atas dasar rasionalitas yang
berbeda.
Sekali lagi, bahwa
buku dengan judul satu dusun tiga masjid Anomali Ideologisasi Agama dalam Agama
ini adalah hasil dari penelitian secara terperinci yang menyoroti konsep
kebenaran dalam beragama sebagaimana yang telah dipahami oleh masyarakat. Oleh
karena itu, hadirnya buku ini ditengah-tengah kita semoga dapat memberikan
keluasan cakrawala dalam berpikir ditengah beragamnya ekspresi keberagamaan
masyarakat, sehingga tumbuh dalam diri kita sebuah kearifan dalam menyikapi
keragaman yang ada.[*]
*) Pecinta buku,
Asisten pada Program Pengembangan Kepribadian Integral Berkelanjutan (P2KIB)
UIN Sunan Kalijaga
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar