Judul:
Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia
Peresensi:
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal
Penulis: Rosihan Anwar Terbit : Juli 2009 Penerbit: Penerbit Buku Kompas |
Wartawan biasanya
menyimpan cerita-cerita “kecil” di balik suatu peristiwa. Cerita itu kerap tak
dianggap penting, remeh, dan luput dari perhatian umum. Kita pun sudah teramat
(di)biasa(kan) dengan sekadar menerima “narasi besar” dari sebuah susunan
sejarah. Kecenderungan semacam itu pula yang terekam dalam laku penulisan
sejarah Indonesia.
Melalui bukunya
ini, wartawan senior-cum-sejarawan Rosihan Anwar berusaha membumbui “narasi
besar” sejarah Indonesia, berangkat dari pengalamannya sebagai wartawan. Ia
tuliskan cerita-cerita “kecil” yang terkait dengan sejarah besar bangsa.
Di dunia jurnalistik,
sosok Rosihan Anwar adalah “guru” yang dihormati. Dia pernah melakoni bertumpuk
pengalaman, mulai dari turun meliput langsung sampai duduk sebagai pemimpin
redaksi. Tulisannya pun tersebar di surat kabar dalam dan luar negeri. Tapi,
aspek keseniorannya tentu bukan satu-satunya alasan pemikat buat menikmati buku
ini. Luasnya jelajah baca Rosihan yang ditekuninya sejak usia muda bahkan
sampai sekarang, ditambah ketajaman daya ingat serta keterampilan tata kata dan
bahasa (lugas, ringkas, dan gampang dimengerti), membuat buku ini jadi kaya
data sekaligus segar dibaca.
Sebenarnya, buku
dengan judul Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia karya Rosihan ini sudah
diterbitkan Penerbit Buku Kompas pada 2004. Nah, usai buku pertama mendapati
respons positif publik, diterbitkanlah jilid kedua ini (dan ketiga secara
bersamaan). Terkecuali dari aspek substansi, ketiga buku itu pun tetap seragam
dalam hal cara penyampaian yang khas jurnalistik. Sebagaimana ditulis di buku
pertama, di sini Rosihan pun tetap tak ubahnya memanggungkan peran “Si Tukang
Kaba”. Ya, layaknya pendendang sastra tradisional Minangkabau. Tentu, itu jadi
kekhasan dan kelebihan tersendiri, yang bakal bermanfaat buat mengikat emosi
pembaca apabila berniat melumat ketiga jilid buku.
Nah, yang jadi titik
jeda antarbuku: apabila kisah dalam buku pertama lebih diatur menurut pembagian
daerah kejadian, di buku kedua ini tidak demikian. Kumpulan kisah di buku ini
dibiarkan tertangkap secara tematis. Fokusnya, pers dan film. Di luar itu,
yakni bagian yang mendominasi buku, adalah feature reportase Rosihan saat
Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung (1955), kunjungan Perdana Menteri Uni
Soviet Nikita Khrushchev (awal 1960), dan catatan “kecil”-nya dari makam Syeikh
Yusuf Makassar di Cape Town, Afrika Selatan (2005). Semua itu merupakan
peristiwa sejarah “besar”, yang dipenuhi cerita renik pula di baliknya.
Coba kita membaca
feature Rosihan seputar KAA yang digelar di Bandung, 18-23 April 1955. Dalam
kapasitas sebagai Pemimpin Redaksi Pedoman, saat itu ia turun meliput langsung
di lapangan. Ia ceritakan pernak-pernik jalannya konferensi. Mulai dari taktik
Perdana Menter Nehru (India) yang mau mendominasi sidang (tapi gagal),
kepiawaian diplomasi Perdana Menteri Chou En Lai (RRT), termasuk marahnya Bung
Karno kala inspeksi menjelang konferensi. Uniknya, sekalipun bagian ini ditulis
pada 2005, Rosihan tak tampak kehilangan detail kejadian.
Simak pula
panjangnya catatan Rosihan tentang kinerja wartawan Amerika, Inggris, dan Uni
Soviet dalam meliput kunjungan Perdana Menteri Nikita Khrushchev ke Indonesia
–berkeliling dari Jakarta, Surabaya, Denpasar, sampai Ambon. Selama perjalanan
itu, bagi Rosihan, tidaklah cukup memberitakan apa yang tampak dikerjakan
Khrushchev atau pun Soekarno. Dan benar memang, reporting-in-depth (pelaporan
secara mendalam) Rosihan lebih genit menyibak perkara kecil yang tak mungkin
ditangkap dari sekilas pandang di permukaan. Hasilnya, terekamlah sebutir kesan
wartawan Amerika di sela-sela liputan, “Wartawan Indonesia sama sekali tidak kompetitif,
tidak bisa bersaing dengan wartawan AS, ya?” Khusus bagian ini, dikumpulkan
laporan yang sebelumnya pernah terbit di Pedoman, 2 Maret-7 April 1960.
Pada bagian yang
lain, Rosihan meramu jejak sejarah Syekh Yusuf, penyemai benih Islam di Afrika
Selatan pada abad ke-17. Oleh VOC, ia diasingkan ke Cape Town gara-gara
aktivitas dakwahnya dianggap membahayakan situasi sosial dan politik tanah
jajahan. Rosihan membagi informasi dan data di bagian ini dengan cara bertutur
yang merendah, bukan menggurui seolah murni sejarawan. Dan, dengan tak sekadar
menarasikan historisitas Syekh Yusuf, Rosihan berhasil menampilkan tulisan
dengan kesan kebersahajaannya. Mungkin inilah yang hendak dikatakan, “Meski
dalam keterlibatan penuh, penulis itu ‘cuma’ menghadirkan diri bagai
pendongeng.”
Suatu peran yang
ditandaskan sejak buku pertama: Si Tukang Kaba.
Ketekunan Rosihan
menuliskan cerita-cerita renik di atas sebenarnya tak lebih rapi daripada buku
pertama. Agaknya, jilid kedua ini (dan jilid ketiga) tak disiapkan (ditulis dan
disunting) seketat buku pertama. Kekurangan itu terbaca dari bagian tentang
pers yang sebatas menuliskan pointers –semata karena awalnya merupakan bahan
presentasi. Padahal, di situ di antaranya memuat catatan “liar” tentang
colourful journalist: kolumnis pertama (Abdul Rivai), koresponden perang
pertama (Drs. Sosrokartono), koresponden keliling pertama (Djamaluddin
Adinegoro), sampai “temuan” nama koran yang membawa sial (usianya tak panjang,
diberangus pemerintah). Pada bahasan film pun, dua tulisan yang dimuat melulu
mengisahkan sosok Usmar Ismail –Bapak Perfilman Nasional yang juga ipar penulis
sendiri.
Lepas dari itu
semua, menuntaskan 348 halaman buku ini, sembari benar-benar memeriksa pilihan
judul buku: Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia, sontak menjerat pikiran
saya pada selarik perkataan almarhum Kuntowijoyo. “Tanggalkan anggapan bahwa
hanya mereka yang bekerja sebagai dosen universitas dan institusi-institusi
ilmiah yang berhak disebut sejarawan!” demikian seru Pak Kunto (2003).
Tentu saja, bagi
Rosihan sendiri, buku ini tak dimaksudkan untuk menggagahi seruan itu. Rosihan
pun bukan seorang sejarawan, sekalipun ia telah didapuk sebagai anggota
kehormatan Masyarakat Sejarawan Indonesia. Tetapi, bagi saya, dan apabila ini
pun diterima: selain memecah mainstream “narasi besar” sejarah, minimal buku
ini sudah termasuk menjawab “seruan bernada kegelisahan” itu.[*]
Sumber:
Ruang Baca Koran
Tempo, 26 Oktober
Tidak ada komentar:
Posting Komentar