Judul
Buku: Shalatlah Seperti Rasulullah
(Dalil Keshahihan Shalat
ala Aswaja)
Penulis: KH. Muhyiddin Abdusshomad Penerbit: Khalista, Surabaya Cetakan: I, Mei 2011 Tebal: xiv+186 Halaman Peresensi: Ach. Syaiful A’la*) |
Shalat adalah ibadah
(ritual) yang dipersembahkan kepada Allah SWT sebagai wujud rasa syukur seorang
hamba agar mendapat ridha dan rahmat-Nya. Shalat juga adalah sebagai sarana
komunikasi untuk bermunajat kepada Allah, dan merupakan bentuk dialog antara
seorang hamba dengan Sang Khaliq.
Kalau ditanya, apa
yang paling Islam dalam agama Islam? Jawabannya adalah shalatnya. Shalat
merupakan rukun Islam setelah seorang berikrar mengucapkan dua kalimat syahadah
(bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya).
Shalat dikatakan paling Islam, karena beberapa ritual dalam Islam merupakan
akulturasi budaya dari agama sebelumnya. Secara dhahir, seseorang dikatakan
muslim jika ia melakukan shalat (shalat fardu, lima waktu).
Perintah
diwajibkannya melaksanakan shalat merupakan yang istimewa dibandingkan dengan
beberapa kewajiban lainnya dalam Islam. Ketika Allah hendak memerintahkan
shalat kepada umat Islam, lalu Nabi Muhammad SAW dipanggil langsung untuk
menghadap kepada-Nya guna menerima perintah shalat. Peristiwa ini kita kenal
dengan isro’ dan mi’roj. Tetapi kewajiban yang lain seperti puasa, zakat,
berhaji (bagi yang mampu) melalui perantara malaikat Jibril. Itulah satu
keistimewaan perintah shalat.
Secara substantif,
ketika Allah hendak memerintahkan shalat caranya adalah dengan cara memanggil
Nabi Muhammad menghadap-Nya, yang menandakan tidak ada tabir (penghalang,
jarak) antara Allah dan Nabi Muhammad, maka sesungguhnya pula bahwa shalat
adalah merupakan media komunikasi (interaksi langsung) antara seorang hamba
dengan sang Khaliq.
Ketika shalat
dijadikan sebagai instrumen komunikasi antara yang dicipta dengan pencipta,
maka shalat merupakan kebutuhan dasar setiap individu. Artinya, kalau meminjam
bahasanya KH Moh Zuhri Zaini dalam pengantar buku ini, bahwa tidak akan
menurunkan derajat ke-Tuhan-an Allah kalau hamba tidak melakukan shalat
(menyembah) begitu juga sebaliknya, tidak menambah derajat Allah walaupun
seorang hamba melakukan shalat. Dapat disimpulkan, bahwa Tuhan tidak butuh
dengan penghambaan umatnya, melainkan hamba yang membutuhkan terhadap shalat
itu.
Suatu bukti empris
bahwa shalat sebagai kebutuhan bagi manusia, belakangan ini banyak yang
mengkaitkan shalat dengan kesehatan, etos kerja dan kesuksesan. Misalnya
penyembuhan penyakit dengan terapi shalat sunnah tahajjud, shalat hajat,
istikharah, dhuha dan lainnya untuk sebuah kesuksesan dan karir serta beberapa
praktek shalat lainnya yang memang menjadi dasar kebutuhan manusia. Karena
manusia dicipta oleh Allah, dalam ilmu psikologi dikenal sebagai makhluk yang
selalu mencari kepuasan untuk memenuhi kebutuhan dirinya. Ketidakpuasan
terhadap sesuatu itu membuat seseorang tidak henti mencari kebutuhan.
Karena shalat
merupakan perintah agama, maka didalam mendirikannya ada sebuah tuntunan: cara
dan waktu. Sebagaimana sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari “shalluu
kama raaitumuunii ushalli” (shalatlah, seperti kalian melihat aku shalat).
Shalat tidak bisa dilaksanakan sesuai dengan keputusan dan pemahamanannya
sendiri-sendiri. Kenapa demikian, karena katika seseorang hendak dan
melaksanakan shalat berarti ia akan menghadap dan berdialog dengan yang Maha
Suci.
Perbedaan tata cara
melaksanaan shalat disebabkan oleh sebuah doktrin dari suatu aliran yang
dipahami oleh setiap individu dan kelompok. Dari adanya perbedaan itu tadi
dalam praktek shalat, berujung pada sebuah ejekan (saling menyalahkan dan
mengaku dirinya paling benar). Walaupun yang menghakimi shalat kelompok
tertentu salah itu terkadang tanpa didasari pada sebuah dalil dan rujukan yang
jelas, hanya berdasar emosi dan kepentingan. Perbedaan seperti itu perlu
dihindari, karena hanya mengganngu terhadap kekonsentrasian shalat. Bahkan
belakangan ini (katanya) muncul akibat penafsiran yang keliru terhadap suatu
teks yang namanya praktek “shalat bersih”. Bagaimana ritual ini dilaksanakan?
Shalat bersih ini pelaksanaannya berada dalam ruangan khusus, laki-laki dan
perempuan bercampur, ruangan yang gelap, ketika mau hendak melaksanakan shalat
semua telanjang bulat, tanpa busana sedikitpun antara laki-laki dan perempuan.
Buku Shalatlah
Seperti Rasullullah (Dalil Keshahihan Shalat ala Aswaja) merupakan jawaban
terhadap beberapa persoalan diatas. Tidak bermaksud untuk menggurui
tetapi hendak meluruskan beberapa praktek shalat yang telah menyimpang
sebagaimana yang digariskan oleh Rasulullah SAW, seperti sabdanya shalluu kama
raaitumuunii ushalli.
Ahlussunnah wal
jamaah, spesifik warga nahdhiyyin (sebutan dari warga Nahdlatul Ulama – NU)
yang selalu mendapat tudingan bahwa terdapat praktek-praktek bid’ah di dalam
melakukan shalat. Tidak bermaksud untuk mengkalim bahwa praktek shalat
yang dilakukan oleh kelompok ini yang paling benar, hanya saja ingin memberikan
penjelasan bahwa beberapa bacaan dan gerakan dalam shalat adalah berdasar pada
sebuah dalil: Al-Qur’an, Hadits Nabi, dan qaul beberapa ulama klasik juga untuk
memantapkan (menghilangkan keragu-raguan) kalau dikatakan praktek shalat
dilakukan oleh warga nahdhiyyin itu tidak berdasar pada dalil syar’i.
Buku ini dimulai
dari bahasan mengenai keutamaan shalat, apa saja persiapan sebelum shalat,
gambaran bagaimana Rasullullah mengerjakan shalat, amaliah (wiritan) setelah
shalat, keutamaan shalat berjamaah, hal-hal yang perlu dihindari ketika sedang
shalat, dan macam-macam shalat sunnah. Masing-masing topik bahasan itu disertai
dengan bacaan, dalil Qur’an dan Hadits Nabi serta pendapat ulama-ulama klasik.
Selamat membaca! [*]
*) Kepala Madrasah Tsanawiyah Nurul Huda, Bicabbi Dungkek Sumenep.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar