Judul
Buku: Simpul Terujung
Penulis: Citra Pandangian Penerbit: Kanisius Yogyakarta Peresensi: A Kohar Ibrahim |
Benar. Aku selalu
gembira bahkan bangga menerima hasil terbitan baru, terutama berupa karya
sastra baik prosa maupun puisi. Terutama sekali karya penulis-jurnalis dan
perempuan pula. Semata-mata lantaran medan juang maupun kedekatan dengan kaum
“kuli” yang aku kenal dalam perjalanan hidupku.
Begitulah
kegembiraanku menerima novel berjudul Simpul Terujung karya Citra Pandiangan –
wartawati Harian Batam News – terbitan Milaz Grafika, Tanjungpinang 2009.
Dedicated to all of ODHA (Orang Dengan HIV/AID).
Benar. Sungguh
benar bahwasanya kisah yang diungkap novel dengan judul Simpul Terujung itu
sejak awal mula sudah memikat hatiku. Beberapa waktu yang lalu. Ketika Citra
mengutarakan garis bersar jalan cerita atau alur dari tema yang hendak
diungkapkannya. Pertama, suatu tema yang besar. Lantaran memang merupakan
tantangan sekaligus salah satu ancaman besar bagi keberadaan umat manusia.
Ancaman salah satu macam penyakit tersebut HIV/AID yang telah menggelobal. Yang
tersebar di lima benua. Selain yang paling gawat di benua Afrika, juga di Asia,
termasuk Indonesia. Problematika yang mengancam kehidupan manusia dan
kemanusiaan ini memang layak diungkap dan diperhatikan serta diupayakan
solusinya. Kedua, penuangan isi atau komposisi alur kisahnya yang menggelitik
hati dan pikiran. Kisah Segi Tiga. Kisah ketiga tokoh-tokoh utamanya yang
berkonflik: Ellen – Audrey – Jack.
Benar. Ada benar
yang sebenar-benarnya memang – akan hubungan yang tak pernah ada perceraian.
Apa dan bagaimanapun terjadinya konflik, namun takkan ada kata cerai dengan
saudari kandung sendiri. Apa pula terbuktikan adanya bauran hubungan
kasih-sayang dan benci serta saling membutuhkan satu sama lain, meski terselang
silang seling perihal konfliktual yang gawat. Dari sudut pandang hidup
kehidupan hubungan kekeluargaan itulah pas-nya judul Simpul Terujung bagi alur
novel pertama Citra Pandiangan ini.
Sebagai cicipan
dari novel bernas lagi pula enak dibaca ini, saya turunkan nukilan yang tertera
pada cover belakang, sebagai berikut:
”Hidup Ellen cukup
lumayan, dia memiliki pekerjaan sebagai Public Relation, punya teman yag
perhatian dan kekasih yang tampan, Jack. Bahkan seminggu lagi dia akan menikah
dengan pujuaan hatinya. Namun rencana pernikahannya berantakan. Setelah Audrey,
adiknya menyatakan dirinya hamil dengan Jack. Hidupnya jadi tak menentu.
Dia membenci
adiknya yang sejak kecil selalu menyusahkan hidupnya, dia membenci Jack, karena
mengkhianatinya. Padahal hubungan mereka telah terjalin empat tahun, bukan
waktu yang sebentar tuk mengenal karakter pasangan.
Rasa malu terhadap
rekan kerja dean juga koleganya membuatnya keluar dari pekerjaan. Walaupun
bosnya, Raymond melarangnya untuk keluar dari perusahaan.
Dia lebih menyukai
kesendiriannya. Selama tiga bulan, dia menyendiri, menutup diri dari luar.
Namun, dia bangkit dari keterpurukannya. Mencoba memulai hidup baru. Setelah
dia memutuskan hubungan sepihak dengan adikinya, begitu pernikahan (Audrey
& Jack) berlangsung.
Mencoba kembali
menata hidup, Ellen pindah dari Jakarta ke Batam. Dia memperoleh pekerjaan di
salah satu hotel berbintang di sana. Di Batam, tak seoraqng pun yang mengetahui
masa lalunya.
Disaat dia mulai
kembali menatap hidupnya dan merasa nyaman di Batam, dia mendapat kabar buruk.
Audrey, adiknya, terkena vrus AIDS dan kanker. Antara rasa tak percaya dan
bingung. Berbagai perasaan berkecambuk, apakah dia harus melihat kondisi
adiknya dan memaafkannya?”
Pembaca akan
menemukan sendiri jawabannya, dengan mengikuti jalan kisah yang menggelitik
sarat akan ragam rasa manusia yang manusiawi. Layaknya nada lagu humanisme yang
lugu, mendayu dan mengharukan.
Novel yang berkisah
dengan nuansa melodrama bahkan romantika gaya Citra ini tidak memberikan kesan
sebagai novel cengeng, melainkan sebaliknyalah. Bernas. Berbobot. Layak simak
oleh kalangan pembaca yang luas – tua muda – yang perduli akan salah satu
bencana yang menimpa ummat manusia yang tersebut penyakit berupa virus AIDS.
Yang peduli pada pendidikan bagi sesama manusia, terutama putera-puterinya,
betapa dampak hubungan seks bebas dan ragam prilaku kelainannya sekalian
kaitannya dengan narkoba yang menyesatkan.
Novel Simpul
Terujung ini menarik hati dan pikiran, lantaran terasa penulisnya memang juga
jurnalis yang sebagai ”kuli” (tinta) mengemban idealisme pencerahan. Jurnalis
yang bukan menulis secara asal-asalan, melainkan dengan pengenalan materi, data
dan fakta yang dikumpulkan. Lantas berkat bakatnya dalam mengkomposisi kata-kata
yang pas dan juga daya imajinasi yang kuat, terwujudlah suatu karya prosa
berupa novel yang layak sekaligus enak simak.
Bahkan, via karya
sastra alias komposisi kata-kata berupa novel ini Citra bukan saja menunjukkan
ke-sastrawati-annya, tapi sekaligus juga sebagai salah satu ”dokter” yang
ujar-katanya layak perhatian masyarakat. Teristimewa sekali bagi kaum penderita
serangan virus AIDS atau bagi Orang Dengan HIV/AIDS.
Dengan baris-baris
kata di atas, mengingat makna pentingnya kata-kata bagi sastrawan-sastrawati,
bagi wartawan-wartawati, berkaitan dengan penyakit dan kedokteran, saya jadi
teringat pada seorang dokter Rusia bernama Anton Chekov yang akhirnya memilih
karir sebagai sastrawan kebanding kedokteran.
Akhirul kata, saya
acungkan jempol untuk Citra Pandiangan, sebagai novelis baru yang mengingatkan
saya pada para penulis-jurnalis wanita lainnya yang saya kenal dan hormati,
seperti LA.. Juga pada para novelis macam Francoise Sagan, pada Toni Morrison,
pada Taslima Naser, pada NH Dini dan lainnya yang peduli pada suka-duka
masyarakat banyak.
Terima kasih telah
memperkaya kesusastraan Indonesia dan dunia. Salam kreatif. [*]
Sumber:
Batam Pos, 15
November 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar