Judul:
Smart Patient, Mengupas Rahasia
Menjadi Pasien Cerdas
Penulis: Agnes Tri Harjaningrum Penerbit: Lingkar Pena
Peresensi:
Retnadi Nur’aini
|
Tidak
ada sekolah formal untuk menjadi pasien.
Semua mesti
dipelajari secara mandiri. Mulai dari cermat memilih dokter, tak panik
menangani anak sakit, kritis menyikapi informasi medis yang beredar—termasuk di
internet, hingga konsisten untuk menggunakan obat secara rasional.
Menggunakan
kacamata seorang pasien, dokter Agnes Tri Harjaningrum berbagi.
‘Kacamata’ yang Empatik
‘Kacamata’ yang Empatik
Terbagi atas tiga
bagian utama, buku ini diawali dengan Buka Mata yang membahas isu seputar
penggunaan obat secara rasional. Mulai dari paradigma lama ‘ke dokter = dapat
obat’, ‘perselingkuhan’ antara dokter-detailer, sampai kesalahan medis akibat
salah diagnosa dan salah dosis. Dari sejumlah riset dan fakta mengejutkan
seputar kesehatan dan kedokteran dalam buku ini, penulis juga menyisipkan isu
temuan superbug jenis baru. Bernama NDM 1 (New Delhi
metallo-beta-lactamase), superbug yang mempan terhadap antibiotik paling paten
saat ini—carbanepems.
Setelah membuka
mata lebar-lebar di bagian satu, bagian selanjutnya adalah Pasien Cerdas.
Bagian ini membahas seputar gambaran pasien cerdas—misalnya: mau belajar,
banyak bertanya, berani bicara dan mengemukakan pendapat—misalnya, meminta
dokter meresepkan obat dengan tulisan huruf balok. Pada bab ini pula dilengkapi
daftar situs web mengenai kesehatan yang dapat menjadi rujukan dan ‘kompas’
saat berinternet.
Sebagai bagian
akhir buku ini, Pedoman Menjadi Pasien Cerdas memaparkan sejumlah tips untuk
mengurangi kesalahan medis, sekaligus menangani sejumlah penyakit yang umum
pada anak. Beberapa diantaranya: demam, batuk pilek, diare, hingga kejang
demam.
Ditulis dengan
sudut pandang seorang pasien, buku ini sungguh empatik. Mulai dari cara
bertutur yang lancar dan mudah dipahami, hingga ilustrasi sederhana. Misalnya,
ilustrasi mengenai mutasi bakteri yang digempur antibiotik tetrasiklin:
“..seperti gerombolan penjahat yang ditembaki satu per satu oleh tentara
rakyat. Tapi di antara sekian banyak ‘penjahat’ itu ada pula yang berhasil
lolos dan kemudian menyamar, berwajah baru. Bakteri-bakteri yang berhasil
selamat dari hantaman ‘tentara’ tetrasiklin tadi, lalu bermutasi. Diubahnya
struktur sel yang ada dalam tubuhnya. Dengan ‘wajah’ baru, ia seperti panglima
yang memakai berlapis-lapis baju antipeluru. Saat tetrasiklin kembali
menyerangnya, ia tentu hanya akan tertawa-tawa sambil berkata, “Hahaha…sori ya,
enggak mempan!” (halaman 57-58).
Tebalnya empati
penulis juga tampak pada sejumlah bagian yang memuat pengalaman pribadi
penulis, baik sebagai pasien maupun dokter. Pada bagian satu saja, penulis
bertutur mengenai putranya, Malik, yang demam tinggi saat mereka tinggal di
Belanda. Tiga hari tak ada perbaikan pada kondisi Malik, penulis membawa Malik
ke huisart (dokter keluarga). Alih-alih meresepkan obat, dokter tersebut malah
menyarankan Malik untuk banyak minum. Hal sama yang juga disarankan dokter
tersebut pada penulis, saat putrinya, Lala, batuk pilek. Kesal pada dokter
tersebut, penulis membandingkan dengan pengalamannya berobat di Indonesia: “Mau
37 kek, 38 apa 39 derajat kek, tiap ke dokter dan bilang anakku sakit panas,
obat penurun panas ya pasti dikasih..Masa Malik enggak dikasih apa-apa pula,
cuma disuruh minum parasetamol doang, itu pun kalau suhunya di atas 40 derajat
C!” (halaman 5).
Empati ini juga
tercermin pada telaah penulis mengenai hal-hal yang kiranya menyebabkan
sejumlah dokter tak menggunakan obat secara rasional. Mulai dari kesalahan
sistem, terbawa arus, sampai hal sederhana seperti ujaran dokter Oz dan dokter
Roizen “Minggu lalu, sang dokter mungkin sedang menonton film Avatar 3D bersama
keluarganya, saat ada diskusi dalam medical journal tentang terapi terbaru
untuk penanganan penyakit kita, misalnya.” Menanggapi ini, penulis menulis
“Hal-hal seperti ini sangat manusiawi dan sangat mungkin terjadi. Dokter
hanyalah manusia biasa yang berusaha keras untuk melakukan hal terbaik tapi
juga kadang tak luput dari kesalahan..” (halaman 113).
‘Berjabatan’ dengan
Panik Kala Anak Sakit
Kala menerima buku
ini, putri saya yang berusia 17 bulan, Hana, tengah batuk pilek. Penyakit
‘langganan’ ini kerap membuatnya muntah dan emoh makan selain ASI. Dulu, tak
jarang saya panik dan terjebak pada pilihan dilematis. Membawa Hana ke dokter
hampir selalu dioleh-olehi antibiotik. Di lain sisi, saya juga tak tega
mendengar Hana batuk.
Membaca buku ini
membuat saya bisa ‘berjabatan’ dengan panik saat Hana sakit. Urusan nyawa
memang ada di tangan Tuhan. Namun tugas manusialah untuk berikhtiar. Seperti
pesan utama dokter Oz dan dokter Roizen yang dikutip dalam buku ini: “Everyone
needs to be a smart patient—your life may depend on it.” [*]
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar