Judul:
Sherlock Holmes dan Laskar Jalanan Baker Street;
Misteri Kematian Bintang Sirkus
Judul Asli: Sherlock Holmes and The Baker Street Irregulars Penulis: Tracy Mack dan Michael Citrin Penerjemah: Maria M. Lubis Penerbit: Qanita, Bandung Tebal Buku: 316 halaman Tahun Terbit: Cet. I, Februari 2008 Nomor ISBN: 978-979-3269-73-3 |
Sir
Arthur Conan Doyle (1859-1930) boleh saja telah tiada. Namun tokoh rekaannya,
Sherlock Holmes, melegenda hingga kini. Detektif yang akrab dengan cangklong
dan kaca pembesar serta beralamat di 221B Baker Street, London, itu tetap
menjadi ikon penting di jagat buku-buku aliran misteri kriminal. Kisah Holmes
ternyata masih bisa dikulik lagi hingga belum khatam dalam 56 cerita pendek dan
4 novel yang telah dibesut oleh Conan Doyle.
Tracy
Mack dan Michael Citrin membangkitkan kembali petualangan Holmes dalam buku
setebal 316 halaman ini. Sebagai sebuah karya lanjutan, nampaknya Mack dan
Citrin paham bahwa mereka harus hadir dengan ‘sesuatu yang baru’. Tentu saja
agar tak dikira hanya mendompleng sisi legendaris sang detektif—yang sejatinya
telah divonis oleh Conan Doyle hanya hidup antara tahun 1881-1904.
Bagi
yang menyukai Dr. John Watson—sosok yang setia mengiringi Holmes saat
menyelidiki suatu kasus—agaknya harus kecewa sebab ia bukan salah satu tokoh
utama kisah Holmes di buku ini. Watson dilengserkan dari perannya sebagai
pencatat kiprah Holmes dalam jagat detektif kriminal. Ia sekadar teman serumah
Holmes—sederajat dengan Mrs. Hudson si pengurus rumah dan Billy si penyampai
pesan.
Adalah
Laskar Jalanan Baker Street—saya singkat Lajabas—yang menggantikan peran Watson
dalam membantu secara penuh Holmes ketika menyelidiki kasus. Mereka merupakan
sekelompok anak berumur dibawah lima belas tahun yang dipertemukan oleh kesamaan
nasib: miskin. Hidup mereka bergantung dari mengemis, mengamen dan pekerjaan
jalanan lainnya. Geng rekaan ini pernah disebut oleh Conan Doyle pada dua
cerita pendek dan dua novel sebagai pihak yang juga menjadi ‘telinga dan mata
Holmes’ saat menunaikan tugas sebagai detektif.
Patut
diingat kembali bahwa Conan Doyle memosisikan Watson sebagai pihak yang seolah
menulis petualangan Holmes. Hal inilah yang memantik ide awal bagi Mack dan
Citrin untuk membangkitkan lagi Sherlock Holmes. Watson ‘dituduh’ telah sengaja
melupakan kerja Lajabas dalam membantu Holmes saat penyelidikan. Tertulis
dibagian Pendahulan: “Nah, kita tidak pernah tahu apakah Watson bermaksud
mengangkat nama Holmes sendirian (dan menyebabkan namanya sendiri ikut
terangkat)”. Maka “Semua sejarah membutuhkan koreksi, dan inilah saatnya Laskar
Jalanan Baker Street tampil ke permukaan” (hal:21).
Watson—dalam
buku ini—selalu digambarkan sebagai sosok yang penuh kekagetan, sinis terhadap
keberadaan Lajabas dan nalar detektifnya tidak tajam walau telah bertahun-tahun
mendampingi Holmes. Sementara Lajabas merupakan kelompok yang selalu
bersemangat membantu Holmes. Apalagi, Holmes begitu percaya kepada Wiggins yang
merupakan pemimpin Lajabas. Ditambah lagi dengan sosok Ozzie yang sangat paham
soal penarikan kesimpulan secara deduktif ala Holmes. Buku ini bagai langkah
pasti Lajabas dalam melibas peran Watson sebagai pendamping Holmes.
‘Sesuatu
yang baru’ sebagaimana ditawarkan Mack dan Citrin dalam buku ini, menurut saya,
hanya terkait dengan ‘kekuasaan si pengarang’. Conan Doyle mengutamakan Watson
dan buku ini memberi porsi lebih pada Lajabas. Sementara latar kisah buku ini
tetap pada era Victoria di Inggris. Hal ini berpotensial menenggelamkan
kesohoran Holmes terkait lekuk teknik yang digunakannya ketika menelusuri
lorong misteri suatu kasus.
Dalam
buku yang diniatkan sebagai seri perdana dari petualangan Holmes versi Mack dan
Citrin ini terdapat dua kasus kriminal yang saling terkait. Sebuah buku—bernama
The Stuart Chronicle—milik kerajaan Inggris yang berabad umurnya telah raib.
Holmes dijemput oleh Pangeran Wales untuk meninjau lokasi hilangnya buku itu
sebagai langkah awal investigasi. Beberapa hari kemudian, sebuah pertunjukan
sirkus kehilangan salah satu bintangnya. Walenda Bersaudara yang mempertontonkan
kebolehan mereka dalam atraksi meniti tali terjatuh hingga wafat di tempat.
Holmes
masih tetap jeli dalam menghubungkan fakta dari dua kejadian tersebut. Namun,
lembaran buku ini lebih banyak bercerita tentang langkah Lajabas dalam memenuhi
perintah Holmes untuk ikut serta menangani kasus. Mereka tunggang-langgang
mencari informasi soal Walenda Bersaudara di lokasi sirkus Grand Barboza. Usaha
keras Lajabas akhirnya berbuah petunjuk penting bagi Holmes. Sosok Orlando Vile
muncul sebagai pihak yang mengajak Walenda Bersaudara untuk menggunakan
keahlian mereka dalam pencurian The Stuart Chronicle.
Sebagaimana
standar kisah Holmes, dua kasus tersebut berhasil diungkap. Penyergapan yang
dilakukan Holmes dan Lajabas di dermaga saat Vile hendak menjual buku curiannya
kepada Prof. Moriarty adalah ‘pintu pembuka’ akhir kisah buku ini. Vile
tertangkap, namun Moriarty lolos membawa buku tersebut. Kemudian Moriarty
memberikan buku itu kepada jasa pendokumentasian yang ada di daerah Oxford
untuk digandakan.
Lagi-lagi
Lajabas menjadi ‘penolong’ Holmes dalam menemukan The Stuart Chronicle. Kantor
jasa penggandaan dokumen itu merupakan tempat kerja Ozzie saat tidak berkumpul
dengan Lajabas. Buku itu berhasil direbut Holmes setelah melewati pertarungan
yang menegangkan di kantor tersebut. Saya hanya membayangkan, kalau saja
Moriarty tidak memberikan buku itu ke tempat Ozzie bekerja, mungkin benda
berlapis emas dan permata itu tetap raib. Mack dan Citrin masih ‘kurang halus’
meramu hubungan tiap adegan dalam kisah Holmes di buku ini jadi tidak memberi
kejutan yang menghentak bagi pembaca.
Walau
demikian, buku ini tetap laik dibaca sebagai tombo kangen pada petualangan
Holmes. Hanya saja, ‘teknik kerja’ Holmes sekadar diketahui saat ia bercerita
bukan ketika ia bergerak hingga kurang dari lekuk yang memukau. Maklumlah,
sebab yang bekerja ialah Lajabas. Terakhir—ini yang paling saya sesali—berulang
kali dituturkan bahwa kerja Lajabas hanya sebatas mengharap upah dan merasa
bangga karena membantu The Famous Sherlock Holmes.(*)
*) Denny Ardiansyah; Pengelola Macapat (Rumah Baca Tanpa Titik) di Jember, Jawa Timur. Juga menjadi Peneliti Kebudayaan di Society of Sociological Analitic for Democracy (SoSADem). Sehari-hari selain menulis tinjauan buku juga mengarang cerpen, merangkai puisi dan menulis artikel serta esai.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar