Judul: Tasawuf Kultural: Fenomena
Shalawat Wahidyah
Penulis: Sokhi Huda Penerbit: LKiS, Yogyakarta Cetakan: I, Juli 2008 Tebal: xxviii + 372 halaman Peresensi: Akhmad Kusairi*) |
Dampak
modernitas terhadap sendi-sendi kehidupan memang hampir mendekati sempurna.
Harus diakui hampir segala dimensi kehidupan sudah dimasuki modernitas,
termasuk agama. Di tengah kondisi demikian, banyak orang beranggapan bahwa
Tuhan tak lagi dibutuhkan mengingat segala macam keperluan manusia sudah
disediakan di dalam kehidupan modern. Namun, benarkah demikian? Tumbuh suburnya
majelis-majelis pengajian tasawuf mana merupakan bukti bahwa hal itu tidaklah
benar. Dengan kata lain, masyarakat merasa terbelenggu kecenderungan
materialisme. Mereka membutuhkan sesuatu yang dapat menenteramkan jiwanya serta
memulihkan kepercayaan mereka yang nyaris punah karena dorongan kehidupan
materialis-konsumtif. Salah satunya adalah tasawuf.
Tasawuf
di Indonesia sekarang ini tidak hanya menarik perhatian para peneliti muslim,
tetapi juga menarik perhatian masyarakat awam. Di Barat pun terjadi hal serupa.
Akhir-akhir ini juga muncul perhatian besar terhadap tasawuf. Hal demikian
tampaknya dipicu beberapa faktor, seperti adanya perasaan tidak aman menghadapi
masa depan, di samping juga karena adanya kerinduan masyarakat Barat untuk bisa
menyelami ajaran-ajaran rohani dari agama-agama di Timur.
Realitas
di atas, tidak heran jika banyak pakar meramalkan bahwa tasawuf akan menjadi
tren abad 21 ini. Ramalan ini cukup beralasan karena sejak akhir abad 20 mulai
terjadi kebangkitan spiritual di berbagai kawasan. Munculnya gerakan spiritual
merupakan salah satu bentuk reaksi terhadap dunia modern yang terlalu
menekankan hal-hal yang bersifat material-profan sehingga menyebabkan manusia
mengalami keterasingan jiwa.
Kebangkitan
spiritual ini terjadi di mana-mana, baik di Barat maupun di Timur, termasuk
Islam. Di Barat, kecenderungan untuk kembali pada spiritualitas ditandai dengan
semakin merebaknya gerakan fundamentalisme agama. Sedangkan di dunia Islam
ditandai dengan banyaknya artikulasi keagamaan, seperti fundamentalisme Islam
yang ekstrim dan menakutkan, di samping juga bentuk artikulasi keagamaan
esoterik lainnya yang akhir-akhir ini menggejala, seperti gerakan sufisme dan
tarekat.
Dalam
konteks Indonesia, tasawuf berkembang sangat pesat. Bahkan, disinyalir ia
muncul sejak awal datangnya Islam ke negeri ini. Dalam buku Melacak
Pemikiran Tasawuf di Nusantara, misalnya, M. Solihin menulis bahwa Islam
datang pertama kali ke wilayah Aceh.
Karena
itu, Aceh sekaligus berperan penting bagi penyebaran tasawuf ke seluruh wilayah
Nusantara, termasuk juga ke semenanjung Melayu. Tasawuf yang singgah pertama
kali di Aceh tersebut memiliki corak falsafi. Tasawuf falsafi ini begitu kuat
tersebar dan dianut sebagian masyarakat Aceh, dengan tokoh utamanya adalah
Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrarri.
Dua tokoh sufi-falsafi ini mempunyai pengaruh cukup besar hingga corak tasawuf yang diajarkannya tersebar ke daerah-daerah lain di Nusantara.
Dua tokoh sufi-falsafi ini mempunyai pengaruh cukup besar hingga corak tasawuf yang diajarkannya tersebar ke daerah-daerah lain di Nusantara.
Munculnya
dua tokoh tasawuf dari Aceh yang bercorak falsafi tersebut kemudian disusul
para tokoh tasawuf berikutnya, yakni Nuruddin ar-Raniri, Abd Shamad
al-Palimbani, dan Walisongo. Munculnya tokoh-tokoh sufi pasca-Hamzah al-Fansuri
dan as-Sumatrani ini lebih menampakkan ajaran tasawuf tipikal al-Ghazali.
Bahkan, tasawuf ini kemudian menjadi begitu dominan di Nusantara.
Pada
sisi lain, patut diperhatikan juga bahwa ada dua tokoh lain yang ikut
memperkaya khazanah tasawuf di Indonesia, yakni Ronggowarsito yang bernuansa
"Kejawen" dan Haji Hasan Musthafa yang bernuansa
"Pasundan". Kedua tokoh ini mempunyai pemahaman spiritual yang
berbeda dengan tokoh-tokoh lainnya. Mereka memperlihatkan adanya dialektika
antara pemikiran tasawuf secara umum dengan budaya lokal setempat.
Berdasarkan
data-data yang ada, para sufi Nusantara cukup memahami ajaran-ajaran wihdatul
wujud milik Ibn Arabi dan ajaran insan kamil milik al-Jili. Teori-teori itu
masuk ke Nusantara melalui dua tokoh Aceh, yakni Hamzah al-Fansuri dan
as-Sumatrani yang ditopang pemikiran Muhammad Fadhlullah al-Burhanpuri (India).
Konsep wahdah al-wujud karya dan insan kamil kemudian berpadu
dengan Tuhjah milik al-Burhanpuri sehingga melahirkan teori ”martabat
tujuh”. Teori ini terlihat mewarnai wacana pemikiran sufi Indonesia.
Teori
martabat tujuh ini berhubungan erat dengan paham tanazzul dan tajalli,
dan ia menjadi fenomena yang banyak dijumpai di Indonesia. Konsep martabat
tujuh merupakan tingkatan-tingkatan perwujudan melalui tujuh martabat, yaitu:
(1) ahadiyah, (2) wahdah, (3) wadhidiyah, (4) 'alam
arwah, (5) 'alam mitsal, (6) 'alam ajsam, dan (7) 'alam
insan.
Pemahaman
seperti itu kelihatannya lebih tegas dipahami Walisongo di pulau Jawa, yang
kental dengan nuansa Sunni. Gaya-gaya penafsiran mereka ini kelihatan tetap
cenderung pada tasawuf Sunni. Dan, tasawuf Sunni inilah yang banyak dianut
masyarakat Islam Indonesia hingga sekarang.
Di
sisi lain, dalam realitas kultural yang ada, di Indonesia juga muncul dua
aliran tasawuf/tarekat yang cukup populer, yakni Shiddiqiyah dan Wahidiyah. Dua
aliran tasawuf ini lahir di Jawa Timur. Kedua aliran ini ternyata berkembang
cukup pesat di tengah masyarakat dan memiliki sistem organisasi yang cukup
bagus dan solid. Menurut buku Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidyah ini
kedua aliran ini merupakan aliran tasawuf produk Indonesia asli karena
mempresentasikan formula amalan dan ajaran yang khas Indonesia dibanding dengan
aliran-aliran tasawuf/tarekat lainnya.
Buku
ini mencoba mengkaji secara komprehensif fenomena Wahidiyah sebagai sebuah
aliran tasawuf kultural. Dalam hal ini, Sokhi Huda sebagai penulis, mencoba
melacak kelahiran shalawat Wahidiyah sebagai aliran tasawuf serta dinamika yang
terjadi di dalamnya, respons para ulama terhadapnya, juga sistem ajaran
sekaligus pengorganisasiannya. Tak pelak, tema kajian buku ini sangat menarik
untuk dicermati dan didiskusikan, terutama di tengah masyarakat yang sering
mengklaim diri dan kelompoknya sebagai yang paling benar.
Sebagai
sebuah penelitian, tentunya berhasil dan tidaknya buku ini ditentukan respons
peneliti-peneliti lain sehingga tertarik untuk melakukan kajian terhadap tema
serupa. Tasawuf kultural untuk kalangan Indonesia sepertinya sesuatu yang harus
ada, sebab selama ini kelompok-kelompok tasawuf didominasi kalangan Sunni yang
notabene sangat jauh dari tradisi ke-lokalan Indonesia. Karena itu, sebagai
kaum muslim Indonesia sudah sepatutnya berterima kasih terhadap penulis buku
ini, yang dengan segala kelebihan dan kekurangannya mampu menghadirkan buku
ini.[*]
*) Peneliti pada The Alfalah Institut Yogyakarta
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar