Judul
Buku: Tembang Ilalang
Penulis: MD. Aminudin Penerbit: Semesta (Kelompok ProU Media) Tebal: 509 halaman Tahun terbit: 2008
Peresensi:
Siti Irni Nidya Nurfitri S. Hum*)
|
Tembang Ilalang
merupakan novel berlatar belakang sejarah perjuangan bangsa Indonesia, yang
mengisahkan tentang perjalanan cinta, Asroel dan Roekmini, yang selama belasan
tahun terpisahkan oleh jarak. Perpisahan mereka disebabkan oleh situasi dan
kondisi bangsa yang tidak menentu, yang memaksa mereka untuk menjalani jalan
terjal kehidupan masing-masing.
Rangkaian kisah ini
dimulai pada saat Asroel harus berpisah dari Istrinya, Roekmini, dan Ismail,
anaknya, yang baru saja lahir. Asroel tersangkut masalah pelik. Ia terjebak
pada fitnah pembunuhan istri dari seorang tangan kanan Belanda. Tentu, hal ini
bukanlah suatu kasus sepele, yang segera dapat diredam dengan sekali penjelasan
mengenai kronologis peristiwa.
Masa silam Asroel
lah, yang membuat kasus ini seolah tidak akan menemui titik terang. Asroel
bukanlah seorang kampung biasa, meski kondisinya sama dengan penduduk setempat,
yang pada saat itu ditindas secara fisik maupun moral, oleh kaum penjajah.
Asroel adalah seorang mantan anggota ’kelompok merah’ yang sangat diandalkan.
Namun, bergabung dengan ’kelompok merah’ sudah menjadi bagian dari masa lalunya
yang kelam, yang sesegera mungkin ingin dibuang jauh-jauh oleh Asroel. Ideologi
yang tidak lagi sejalan, juga pada akhirnya membuat Asroel, berputar arah, dan
tidak lagi bekerjasama dengan kelompok ini. Ia keluar bukan tanpa resiko. Ia
sadar pelarian dirinya akan membawanya pada sebuah masalah besar yang secara
langsung ataupun tidak, akan berdampak besar bagi keselamatan keluarganya, dan
otomatis menjadikan mereka ’tumbal’ bagi para antek-antek ’kelompok merah’
ataupun para penjajah. Asroel pun mengetahui, pimpinan ’kelompok merah’ tidak
begitu saja merelakan kepergian seorang anggotanya, yang sudah bisa dimasukkan
ke dalam kategori anggota terbaik. Ada banyak cara yang ditempuh oleh ’kelompok
merah’, untuk seorang ’pengkhianat’ seperti Asroel, diantaranya adalah mencari
dan membawanya hidup-hidup untuk bergabung kembali, atau membunuhnya akibat
’pengkhianatan’ yang telah diwujudkannya.
***
Perjalanan selama
belasan tahun, terpisah oleh jarak yang sulit diukur, serta ruang tidak mudah
untuk ditemui, bukanlah hal yang mudah dihadapi bagi Asroel dan Roekmini untuk
menemukan satu akhir yang bahagia.
Banyak aral melintang yang menambah liku-liku perjuangan Asroel dalam petualangannya menemukan Roekmini. Perjuangannya melawan penjajahan pengkhianatan dan penindasan, membuatnya tidak jarang bertemu dengan rasa takut, gamang, terombang-ambing oleh nasib yang tidak menentu, hingga ancaman kematian. Namun, jalan ini ditempuhnya, dengan tegar, berserah diri, dan keyakinan penuh padaNya bahwa kebahagiaan akan ditemui di ujung perjalanannya, demi bertemu kembali dengan keluarganya.
Tidak jarang perasaan rindu di antara keduanya menyeruak, membuat perjalanannya menjadi semakin terasa getir, panjang dan seolah tak berujung. Sehingga menimbulkan kelimbungan dan kegalauan, seperti ilalang yang hanyut terombang-ambing oleh tiupan angin di tengah padang. Mereka hanya mampu berusaha, berdo’a, serta berpasrah pada skenario hidup, yang sudah jauh-jauh hari ditulis oleh Sang penguasa alam semesta, Allah SWT.
Banyak aral melintang yang menambah liku-liku perjuangan Asroel dalam petualangannya menemukan Roekmini. Perjuangannya melawan penjajahan pengkhianatan dan penindasan, membuatnya tidak jarang bertemu dengan rasa takut, gamang, terombang-ambing oleh nasib yang tidak menentu, hingga ancaman kematian. Namun, jalan ini ditempuhnya, dengan tegar, berserah diri, dan keyakinan penuh padaNya bahwa kebahagiaan akan ditemui di ujung perjalanannya, demi bertemu kembali dengan keluarganya.
Tidak jarang perasaan rindu di antara keduanya menyeruak, membuat perjalanannya menjadi semakin terasa getir, panjang dan seolah tak berujung. Sehingga menimbulkan kelimbungan dan kegalauan, seperti ilalang yang hanyut terombang-ambing oleh tiupan angin di tengah padang. Mereka hanya mampu berusaha, berdo’a, serta berpasrah pada skenario hidup, yang sudah jauh-jauh hari ditulis oleh Sang penguasa alam semesta, Allah SWT.
Akankah perjalanan
panjang untuk pulang akan mereka temukan kembali? Apakah mereka akan berjumpa
kembali pada satu akhir yang bahagia? Ataukah tidak akan pernah terbayar
kerinduan yang terpendam selama belasan tahun itu? Dan apakah kesetiaan mereka
akan sampai pada ujung perjalanannya?
***
Tiga karya sastra
berhasil dirangkum oleh MD. Aminudin dalam satu novel bertajuk ”Tembang
Ilalang”. Hal yang tidak mudah untuk diwujudkan dan membutuhkan wawasan, serta
ketajaman analisa, untuk melahirkan karya semacam ini.
Karya sastra yang
mengisahkan sebuah cerita berlatar belakang masa penjajahan Belanda dan Jepang
hingga pasca kemerdekaan Indonesia yang penuh dengan perlawanan, ketegangan,
ketakutan, kesedihan dan ketertindasan rakyat saat itu, yang mengajak pembaca
semakin hanyut dan terlibat dalam suasana heroisme pada masa itu. Kehadiran
tokoh-tokoh yang memberi efek religius melalui karakter yang dimiliki, seperti
teguh dalam bertauhid serta berprinsip bahwa yang berhak mereka abdikan
hanyalah Sang Khalik, meski banyak aral melintang yang harus dihadapi dan tak
jarang menimbulkan perlawanan dan membutuhkan bayaran yang tidak hanya sekadar
fisik, tetapi juga nyawa, dan mereka menggadaikannya atas satu kata fii
sabilillah.
Tak terlewatkan
pula, nuansa romantisme klasik yang senantiasa ditawarkan pada alur cerita
novel ”Tembang Ilalang”, melalui dialog dan narasi yang dituturkan secara
melankolis oleh MD. Aminudin, semakin menenggelamkan pembaca dalam suasana
cerita yang ingin disampaikan penulis tentang pengorbanan dan kesetiaan cinta
dua insan karena Allah swt. Sehingga mampu memberi nilai lebih pada novel ini,
dan membuatnya jauh dari kesan bahwa kisah percintaan pada novel ini hanyalah
pemanis ataupun jatuh pada kesimpulan romantisme picisan kepada pembacanya.
Tidak berlebihan, jika novel ini disebut sebagai rangkuman dari tiga karya sastra. Sebab, tidak hanya menawarkan kisah tentang pengorbanan dan kesetiaan cinta antara dua insan. Tetapi juga, sarat akan nilai dan pengetahuan sejarah melalui miniatur perjalanan sejarah bangsa di masa silam dalam melawan tirani dan penjajah, yang coba dipaparkan oleh penulis, sekaligus menawarkan pemahaman keislaman terutama tentang makna tawakal dan ikhlas dalam menerima ujian dan takdir hidup, yang sudah menjadi ketetapanNya. Materi tersebut disampaikan secara ringan, tanpa mengurangi maknanya dan tidak terkesan mendakwahi pembaca.
Tidak berlebihan, jika novel ini disebut sebagai rangkuman dari tiga karya sastra. Sebab, tidak hanya menawarkan kisah tentang pengorbanan dan kesetiaan cinta antara dua insan. Tetapi juga, sarat akan nilai dan pengetahuan sejarah melalui miniatur perjalanan sejarah bangsa di masa silam dalam melawan tirani dan penjajah, yang coba dipaparkan oleh penulis, sekaligus menawarkan pemahaman keislaman terutama tentang makna tawakal dan ikhlas dalam menerima ujian dan takdir hidup, yang sudah menjadi ketetapanNya. Materi tersebut disampaikan secara ringan, tanpa mengurangi maknanya dan tidak terkesan mendakwahi pembaca.
***
Cara MD. Aminudin
dalam memaparkan cerita, tidak membosankan. Potongan-potongan kisah disampaikan
dengan caranya yang khas dan lugas. Penulis menyampaikan cerita langsung pada
inti persoalan, tanpa pemaparan yang panjang atau bertele-tele, yang membuat
pembaca bosan atau harus berpikir rumit untuk menelaah alur berpikir dari si
penulis.
Selain khas dan lugas dalam menyampaikan narasi cerita, dari segi isi ataupun maknanya, ada hal lain yang patut untuk dinilai. Tidak jarang MD. Aminudin mendeskripsikan satu tokoh dalam cerita dengan pemaparan yang unik. Misalnya, pada bab ’Mata Satu’. Penulis memunculkan kembali tokoh Darsono (tokoh antagonis), dimana pada bab sebelumnya telah diceritakan bahwa Darsono sudah mati. Pemunculan kembali tokoh ini, dipaparkan dengan ciri-ciri si tokoh, seperti ”DENGAN SEBATANG tongkat di tangan kanannya seorang lelaki melangkah terpincang-pincang…” (halaman 322-324) kemudian rasa penasaran pembaca, dijawab dengan cara berbeda di halaman lain, yang tiba-tiba tokoh lain muncul dengan memangil namanya ”Bung Darsono…?” (halaman 325), hal ini yang memberi kesan dramatis dan membuat pembaca penasaran dan ingin terus mengikuti alur cerita tersebut.
Selain khas dan lugas dalam menyampaikan narasi cerita, dari segi isi ataupun maknanya, ada hal lain yang patut untuk dinilai. Tidak jarang MD. Aminudin mendeskripsikan satu tokoh dalam cerita dengan pemaparan yang unik. Misalnya, pada bab ’Mata Satu’. Penulis memunculkan kembali tokoh Darsono (tokoh antagonis), dimana pada bab sebelumnya telah diceritakan bahwa Darsono sudah mati. Pemunculan kembali tokoh ini, dipaparkan dengan ciri-ciri si tokoh, seperti ”DENGAN SEBATANG tongkat di tangan kanannya seorang lelaki melangkah terpincang-pincang…” (halaman 322-324) kemudian rasa penasaran pembaca, dijawab dengan cara berbeda di halaman lain, yang tiba-tiba tokoh lain muncul dengan memangil namanya ”Bung Darsono…?” (halaman 325), hal ini yang memberi kesan dramatis dan membuat pembaca penasaran dan ingin terus mengikuti alur cerita tersebut.
Variasi lain yang
menjadi daya tarik novel ini adalah pertama, dari gaya bahasa si penulis, yang
mudah dimengerti dan runtut. Penggunaan kata asing dan ejaan lama yang
disertakan dalam dialog, semakin menegaskan aksen masa silam dan menarik pembaca
ke dalam dimensi waktu dalam kisah ini. Seperti, simplex, onderneeming,
opzieener, balasting, dsb.
Kemudian, adanya catatan kaki yang disertakan, dapat menambah pengetahuan dan perbendaharaan kata bagi si pembaca. Namun, kadang kala dalam suatu bab, catatan kaki, lupa disertakan oleh penulis, meskipun sudah ditulis dengan huruf cetak miring, sebagai bentuk penekanan pada istilah tersebut. Sehingga dapat membuat pembaca sedikit kehilangan ’jejak’ dari cerita. Kedua, dari segi tokoh dan karakter yang dimunculkan. Tokoh-tokoh dalam novel ini, secara keseluruhan, ikut berperan aktif membangun tema dan nilai-nilai yang ingin disampaikan kepada pembaca. Seperti tokoh Kyai; Kjai Makoen, Kjai Achmad, dll, tokoh dari ’kelompok merah’; Darsono, Moeso, dll.
Kemudian, adanya catatan kaki yang disertakan, dapat menambah pengetahuan dan perbendaharaan kata bagi si pembaca. Namun, kadang kala dalam suatu bab, catatan kaki, lupa disertakan oleh penulis, meskipun sudah ditulis dengan huruf cetak miring, sebagai bentuk penekanan pada istilah tersebut. Sehingga dapat membuat pembaca sedikit kehilangan ’jejak’ dari cerita. Kedua, dari segi tokoh dan karakter yang dimunculkan. Tokoh-tokoh dalam novel ini, secara keseluruhan, ikut berperan aktif membangun tema dan nilai-nilai yang ingin disampaikan kepada pembaca. Seperti tokoh Kyai; Kjai Makoen, Kjai Achmad, dll, tokoh dari ’kelompok merah’; Darsono, Moeso, dll.
Pesan moral yang
dapat menjadi bahan perenungan; bahwa islam merupakan agama yang akrab dengan
kedamaian, dan islam mengatur seluruh aspek kehidupan umat manusia. Tidak
terkecuali, dalam hal pembelaan negara, yang harus menuju pada satu tujuan
yaitu fii sabilillah. Serta sebagai hambaNya, kita harus bertawakal dan ikhlas
atas segala ketetapanNya, serta yakin bahwa Allah akan senantiasa memberikan
jalan terbaik untuk hidup kita, meski terhampar ’onak dan duri’ ditengah
perjalanannya.
Semua aspek
terangkum dalam novel ini, selain sarat akan pengetahuan sejarah, nilai moral,
sosial dan agama. Ada pula hikmah serta pesan moral yang dapat dipetik untuk
dijadikan pelajaran hidup, yang pada akhirnya menjadikan novel ini layak untuk
dibaca oleh siapa pun, dan dari kalangan manapun. Karena novel ini juga mampu
memberikan ”warna” lain bagi dunia sastra islami serta makna lain dari cinta
dan perjuangan yang hakiki. (NFT/M09)
*) Alumnus Fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
Sumber:
Kompas 30 Desember
2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar