Judul
Buku: Temanku, Teroris?
Penulis: Noor Huda Ismail Penerbit: Hikmah, Mizan Cetakan: Pertama, Juli 2010 Tebal: 386 halaman
Peresensi:
Ridlwan Habib*)
|
Sebagai alumnus
Pondok Pesantren Al Mukmin di Ngruki, Cemani, Sukoharjo, keresahan Noor Huda
Ismail tak kunjung reda. Konsultan keamanan investasi itu risau karena pondok
tempatnya mencari jati diri remaja (1985-1991) masih selalu dicitrakan sebagai
“kawah candradimuka” kader-kader teroris. Yang terbaru, pendiri pondok Ustad
Abu Bakar Ba’asyir lagi-lagi ditangkap dan disangka polisi terlibat kasus
terorisme di Aceh.
“Saya ingin dunia
punya tafsir yang berbeda tentang Ngruki, tidak monolitik seperti sekarang,”
kata Huda suatu hari pada Desember 2009.
Saat itu draf
naskah buku Temanku, Teroris? sudah selesai dan siap masuk ke percetakan.
Namun, judul yang dipilih kala itu Jendela Kecil Santri Ngruki.
Ini adalah buku
pertama Huda yang mantan wartawan Washington Post. Buku ini mengisahkan
perjalanan hidup si penulis dan seniornya di Ngruki, yakni Utomo Pamungkas
alias Fadlulah Hasan. Utomo, pria asal Temon, Kulonprogo, Jogjakarta, tersebut,
sekarang masih ditahan karena divonis terlibat pengeboman Bali 2002 bersama
jaringan trio Tenggulun: Amrozi, Mukhlas, dan Imam Samudera.
Huda, 37, adalah
adik asuh Utomo, 39, sejak masuk Ngruki pada 1985. Dia belajar menata kamar,
tata krama santri, dan menjalani orientasi awalnya bersama Utomo. Utomo juga
yang mencarikan lemari pakaian cuma-cuma bekas senior agar Huda tak melulu
menyimpan baju-bajunya di dalam koper (hlm 123). Namun, setelah Utomo lulus
tingkat tsanawiyah (SMP) dan masuk mualimin, mereka berpisah kamar.
Jarak semakin jauh
saat Utomo berangkat ke Pakistan, lalu menyeberang ke Afghanistan bersama
Fathurahman Al Ghozi (tewas ditembak aparat Filipina pada Oktober 2003). Utomo
yang dipanggil Huda dengan Akhi Fadlul itu menempuh jalan sebagai mujahidin
dalam perang melawan Rusia.
Dalam buku ini,
gaya bertutur Huda khas wartawan. Runtut dan detail. Mungkin karena khawatir
agar tidak ada yang terlewat, alur cerita dalam buku setebal 386 halaman ini
jadi melompat-lompat. Selain itu, banyak cerita “bumbu” seperti saat Huda
naksir santriwati bernama Nanik, yang bisa mengaburkan alur utama buku.
Huda membuka
kisahnya dengan Bab Kesaksian. Yakni kisah Utomo saat berjihad di Afghanistan.
Seru! Sebab, deskripsi dan diksi yang dipilih bisa membuat seolah-olah Huda
melihat langsung sepak terjang Utomo di Negeri Para Mullah tersebut. Padahal,
itu hanya diperoleh dari wawancara Huda terhadap Utomo di tahanan selama proses
penyusunan buku tersebut dilakukan.
Misalnya deskripsi
soal Utomo yang nyaris mati karena saat sedang mandi, tiba-tiba pesawat Rusia
datang dan membombardir daerah sekitar sungai (hlm 47). Juga kelucuan para
mujahidin “ndeso” yang tiba-tiba merasakan salju di Afghanistan. Ada yang iseng
mengerjai rekannya dengan membuat sirup es dilumuri obat merah. Ada juga yang
berlomba ngoshin, yakni membuat uap putih dari mulut seperti serial Oshin yang
kondang di TVRI tahun-tahun itu.
Juga diceritakan
keluguan orang-orang Afghanistan. Misalnya saat mereka memakai celana dalam
milik mujahidin Indonesia di kepala karena mengiranya sebagai topi (hlm 44).
Maklum, kebiasaan mereka berpakaian tanpa mengenakan baju dalam.
Setelah kisah Utomo
itu, baru Huda menceritakan reuni mereka setelah belasan tahun tak bertemu.
Yakni saat Huda ditugasi kantornya meliput pengeboman Bali I pada 2002. Dia
kaget, bahkan nyaris pingsan, saat polisi menunjukkan sketsa wajah Utomo
sebagai salah seorang anggota jaringan teroris. Rekan kantornya, Alan Sipress,
juga kaget karena tak mengira bahwa Huda lulusan Ngruki.
Huda memilih karir
sebagai jurnalis lantaran terpengaruh seniornya di pondok, Agus Trianto, yang
rajin menunjukkan kliping artikel dan puisinya yang dimuat Jawa Pos pada
1987-1988 (hlm 172). Lulus dari Ngruki, dia kuliah di UIN Sunan Kalijaga dan
Jurusan Komunikasi Fisipol UGM. Huda juga sempat bekerja di Jakarta Convention
Centre sebelum akhirnya bergabung dengan Washington Post. Huda juga berhasil
memperoleh beasiswa International Security dari St Andrew University Scotlandia
(2005).
Setelah yakin Utomo
yang dimaksud adalah murobbi (pembinanya) di pondok, Huda pun berupaya
menemuinya di tahanan. Kisah pertemuan Huda dan Utomo di penjara yang penuh
tangis harus diceritakan secara khusus di halaman 254-255. Pertemuan yang
awalnya kaku dan canggung akhirnya lumer setelah mereka bercakap-cakap dengan
bahasa Arab. Reuni itulah yang kemudian menginspirasi terbitnya buku ini. Dan
juga membuat Huda tergerak untuk membangun Yayasan Prasasti Perdamaian yang
khusus berkonsentrasi pada pembinaan para mantan narapidana terorisme serta
keluarganya.
Di bagian akhir
bukunya, Huda menampilkan kisah Titin, istri Utomo yang harus membesarkan
anak-anaknya tanpa ayah. Juga kisah Mbak Laksmi, janda korban bom Bali yang
harus mengasuh dua anaknya tanpa ayah. “Aksi-aksi pengeboman hanya melahirkan
anak-anak yatim baru, bagi pelaku maupun bagi korban. Buku ini memang saya
dedikasikan untuk anak yatim yang lahir karena terorisme. Royaltinya pun untuk
mereka,” ucap Huda.
Menurut Huda yang
sekarang bermukim di Tembalang, Semarang, bukunya itu telah memancing banyak
kritik sekaligus banyak dukungan. Mereka yang mengkritik berpendapat, Huda
kurang mengelaborasi fakta bahwa negara-negara seperti Amerika dan
sekutu-sekutunyalah, terutama Israel, yang saat ini paling banyak membuat dan
memproduksi anak-anak yatim dari kalangan kaum muslimin di negara-negara Islam,
seperti Afghanistan, Iraq, dan Palestina. (*)
*) Wartawan Jawa
Pos
Sumber:
Jawa Pos, 29
Agustus 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar