Judul: The Name of The Rose
Penulis: Umberto Eco Penerjemah: Nin Bakdi Soemanto Pengantar: St. Sunardi Cetakan Pertama 2003 Penerbit Bentang Budaya Yogyakarta Tebal: xxxiv + 709 halaman |
Pada
mulanya adalah pertanyaan, “Benarkah Tuhan pernah tertawa?”. Maka, jawabnya
akan mengantarkan pada peristiwa-peristiwa-mengguncangkan di sebuah biara.
Kematian datang, dan tragisnya, kehancuran pun adalah jawab dari segalanya.
Begitulah Umberto Eco—novelis, semiolog, dan seorang ahli Abad
Pertengahan—menulis "The Name of The Rose".
Seorang
biarawan di Biara Melk tewas. Mayatnya ditemukan di tepi jurang. Ketakutan pun
menjalar di benak-benak biarawan-biarawan lain. Kebetulan pula, di sana akan
diadakan pertemuan menyangkut konflik besar antara kelompok Fransiskan dengan
kelompok Paus. Kepala biara yang cemas akan hal itu mengundang William
Baskerville untuk mengusutnya.
Dunia
Kristen saat itu terpecah antara kelompok Fransiskan (yakni mereka yang dekat
dengan Raja) dan kelompok Paus. Biara Melk sendiri dianggap sebagai tempat
netral di mana dialog bisa dilakukan dengan kepala biaranya diharapkan sebagai
mediator. Selain itu, Raja pun secara pribadi menunjuk William tersebut sebagai
pendamai antara kedua belah pihak.
William
adalah seorang Inggris dengan tradisi intelektual Oxford. Ia dulunya seorang
inkuisitor. Tugasnya adalah meneliti kasus-kasus bid`ah dalam Kristen.
Meneliti—dan bukan memaksa seseorang mengakui kebid`ahan yang dituduhkan
padanya. Tapi jabatan itu ditinggalkannya, karena menggejalanya kecenderungan terakhir
tadi dalam lembaga inkuisisi.
Ke
biara tersebut, William mengajak-serta muridnya, Adso. Yang terakhir ini adalah
seorang biarawan muda Fransiskan. Bersama gurunya, Adso hanya menghabiskan
tujuh hari di biara tersebut, yang selain untuk mengusut kasus kematian seorang
biarawan, juga ikut menyaksikan dialog antara dua kelompok yang
berkonflik-besar.
Pengusutan
atas kematian biarawan itu ternyata membawa William dan Adso ke perpustakaan
biara, tempat di mana ribuan manuskrip-manuskrip kuno dan terkenal disimpan. Di
samping itu, pengusutan yang dilakukan mereka, ikut menyingkapkan pula pelbagai
intrik-intrik, pertentangan antar kelompok biarawan bahkan kebobrokan yang
terjadi di dalam biara.
Perpustakaan
biara berbentuk labirin. Di dalamnya, koleksi yang disimpan sungguh
mengagumkan. Karenanya, para pustakawan tertentu saja yang boleh memasukinya.
Orang-orang selain mereka hanya boleh meminjam melalui katalog yang
tersedia—yang mengingatkan kita pada jasa-pelayanan-pustaka di Perpustakaan
Nasional, Salemba, Jakarta.
Mengapa
sampai ke sana? Sebab jawaban dari pokok perkara yang terjadi memang berada di
sana. Biarawan yang tewas itu diduga bunuh diri setelah mencari dan menemukan
jawab dari sebuah pertanyaan “sederhana”: Benarkah Tuhan Pernah Tertawa?
Tragisnya, korban-korban baru bermunculan dan anehnya selalu tewas mengenaskan.
William pun semakin terdesak.
"The
Name of The Rose" adalah sebuah novel yang bercerita dari—dan bukan
tentang!—Abad Pertengahan. Begitu, karena dengannya, penulis bermaksud ingin
menghadirkan keadaan waktu itu apa adanya. Dengan gaya penceritaan Adso, novel
ini tak lebih dari sebuah memoar seorang biarawan muda yang sedang belajar pada
seorang intelektual Oxford saat itu.
Terbagi
ke dalam tujuh bagian, Adso bercerita tentang tujuh hari yang telah dilalui
bersama gurunya di biara tersebut. Pada setiap bagian atau hari itu, cerita
Adso akan dibagi lagi ke dalam bagian-bagian kecil sesuai dengan waktu-waktu
ibadah harian yang ada di biara tersebut.
Dalam
sehari ada delapan waktu ibadah; "Vigilae" (Ibadah Malam, 2.30—3.00),
"Laudes" (Ibadah Pagi, 5.00—6.00), "Prima" (7.30),
"Tertia" (Ibadah Siang, 9.00) "Sexta" (Ibadah Siang, tengah
hari), "Nona" (antara 14.00 dengan 15.00), "Vesperae"
(Ibadah Sore, 16.30), dan "Completorium" (Ibadah Penutup, 18.00).
Perubahan-perubahan
yang terjadi di kalangan gereja pada akhir Abad Pertengahan adalah latar
belakang dari novel ini. Banyak hal yang bersifat teologis diserang oleh
rasionalisme. William sendiri banyak yang menafsirkannya sebagai personifikasi semangat
keilmuan yang mulai berkembang saat itu. Kebetulan pula gurunya adalah Roger
Bacon (1214—1294), ilmuwan dengan tradisi belajar dan bacaan yang sangat luas.
Kita
bisa melihat itu, ketika para pustakawan biara Melk terheran-heran melihat
kacamata baca yang dipakai William untuk membaca manuskrip kuno. Mereka
menganggap itu sebuah benda sihir. Belum lagi ketika William menceritakan
keyakinan gurunya bahwa kelak manusia bahkan dapat terbang. Dan ia, Roger
Bacon, yakin dengan kemampuan ilmu-ilmu empiris untuk memajukan kehidupan umat
manusia.
Hal itu
dapat dimaklumi kiranya bila mengingat Universitas Oxford waktu itu menjadi
pusat pengkajian ilmu-ilmu empiris. Tentu saja hal ini berbeda dengan
Universitas di Bologna yang menjadi pusat pengkajian hukum dan universitas di
Paris yang menjadi pusat pengkajian teologi. Tradisi keilmuan inilah yang
mempengaruhi dunia Kristen saat itu.
Dalam
"The Name of The Rose", Biara Melk dibayangkan sebagai tempat
bertemunya tradisi-tradisi keilmuan tersebut termasuk pula kepentingan-kepentingan
politik dan agama yang menyertainya. Apalagi bila ditambahkan dengan kenyataan
bahwa biara tersebut memiliki koleksi perpustakaan yang mengagumkan lagi tiada
banding.
Dalam
percakapan-percakapan yang terjadi antara William dan Adso, menyenangkan pula
rasanya menemukan kutipan-kutipan cerdas nan berisi mengenai ilmu pengetahuan
dari Roger Bacon. Salah satunya, yang sering dikutip, adalah “...sebuah buku
akan berbicara tentang buku-buku yang lain.” Atau yang lainnya juga (halaman
483), “ ...tugas pertama seorang ilmuwan adalah belajar bahasa!”.
Meski
demikian, pembaca yang tak biasa dengan uraian-uraian teologis,
peristiwa-peristiwa yang terjadi selalu terkait erat dengan uraian-uraian
tersebut. Bahkan kunci dari segala permasalahan yang muncul bersumber dari
sebuah uraian seperti itu. Akibatnya, penceritaan yang disajikan Umberto Eco
hanya akan “terasa pada kulitnya.”
Belum
lagi pengambilan sudut-pandangnya. Dengan model bercerita dari Abad
Pertengahan, dan bukan tentang Abad Pertengahan, Umberto Eco seolah-olah
“memaksa” kita untuk mengetahui sejarah Abad Pertengahan. Banyak tokoh-tokoh
dan peristiwa-peristiwa yang disebut adalah tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa
historis.
Sejatinya,
"The Name of The Rose" adalah cerita “detektif”, yang pada akhirnya
akan terungkap segala kunci permasalahan, kunci segala kejadian. Sayangnya,
pengantar yang diberikan oleh St. Sunardi terlalu "ember", terlalu
"nyinyir." Tapi ini, setidaknya, belum mengurangi kenikmatan yang ada
asalkan: jangan coba-coba melangkah-baca-langsung ke halaman 615!
Bagi
mereka yang ingin membaca "Malaikat & Iblis" dan "Da Vinci
Code"-nya Dan Brown (terbitan Serambi), "The Name of The Rose"
tampak sebagai semacam pengantar sebelum ke arah sana. (Atau, memang
karya-karya Dan Brown itu mengadaptasinya langsung?). Adapun bagi mereka yang
telah membaca kedua karya Dan Brown itu, "The Name of The Rose"
adalah pilihan selanjutnya yang justru lebih cerdas dan berisi. [*]
--Rimbun
Natamarga
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar