Senin, 24 Maret 2014

The Name of The Rose

Judul: The Name of The Rose
Penulis: Umberto Eco
Penerjemah: Nin Bakdi Soemanto
Pengantar: St. Sunardi
Cetakan Pertama 2003
Penerbit Bentang Budaya Yogyakarta
Tebal: xxxiv + 709 halaman


Pada mulanya adalah pertanyaan, “Benarkah Tuhan pernah tertawa?”. Maka, jawabnya akan mengantarkan pada peristiwa-peristiwa-mengguncangkan di sebuah biara. Kematian datang, dan tragisnya, kehancuran pun adalah jawab dari segalanya. Begitulah Umberto Eco—novelis, semiolog, dan seorang ahli Abad Pertengahan—menulis "The Name of The Rose".
Seorang biarawan di Biara Melk tewas. Mayatnya ditemukan di tepi jurang. Ketakutan pun menjalar di benak-benak biarawan-biarawan lain. Kebetulan pula, di sana akan diadakan pertemuan menyangkut konflik besar antara kelompok Fransiskan dengan kelompok Paus. Kepala biara yang cemas akan hal itu mengundang William Baskerville untuk mengusutnya.
Dunia Kristen saat itu terpecah antara kelompok Fransiskan (yakni mereka yang dekat dengan Raja) dan kelompok Paus. Biara Melk sendiri dianggap sebagai tempat netral di mana dialog bisa dilakukan dengan kepala biaranya diharapkan sebagai mediator. Selain itu, Raja pun secara pribadi menunjuk William tersebut sebagai pendamai antara kedua belah pihak.
William adalah seorang Inggris dengan tradisi intelektual Oxford. Ia dulunya seorang inkuisitor. Tugasnya adalah meneliti kasus-kasus bid`ah dalam Kristen. Meneliti—dan bukan memaksa seseorang mengakui kebid`ahan yang dituduhkan padanya. Tapi jabatan itu ditinggalkannya, karena menggejalanya kecenderungan terakhir tadi dalam lembaga inkuisisi.
Ke biara tersebut, William mengajak-serta muridnya, Adso. Yang terakhir ini adalah seorang biarawan muda Fransiskan. Bersama gurunya, Adso hanya menghabiskan tujuh hari di biara tersebut, yang selain untuk mengusut kasus kematian seorang biarawan, juga ikut menyaksikan dialog antara dua kelompok yang berkonflik-besar.
Pengusutan atas kematian biarawan itu ternyata membawa William dan Adso ke perpustakaan biara, tempat di mana ribuan manuskrip-manuskrip kuno dan terkenal disimpan. Di samping itu, pengusutan yang dilakukan mereka, ikut menyingkapkan pula pelbagai intrik-intrik, pertentangan antar kelompok biarawan bahkan kebobrokan yang terjadi di dalam biara.
Perpustakaan biara berbentuk labirin. Di dalamnya, koleksi yang disimpan sungguh mengagumkan. Karenanya, para pustakawan tertentu saja yang boleh memasukinya. Orang-orang selain mereka hanya boleh meminjam melalui katalog yang tersedia—yang mengingatkan kita pada jasa-pelayanan-pustaka di Perpustakaan Nasional, Salemba, Jakarta.
Mengapa sampai ke sana? Sebab jawaban dari pokok perkara yang terjadi memang berada di sana. Biarawan yang tewas itu diduga bunuh diri setelah mencari dan menemukan jawab dari sebuah pertanyaan “sederhana”: Benarkah Tuhan Pernah Tertawa? Tragisnya, korban-korban baru bermunculan dan anehnya selalu tewas mengenaskan. William pun semakin terdesak.
"The Name of The Rose" adalah sebuah novel yang bercerita dari—dan bukan tentang!—Abad Pertengahan. Begitu, karena dengannya, penulis bermaksud ingin menghadirkan keadaan waktu itu apa adanya. Dengan gaya penceritaan Adso, novel ini tak lebih dari sebuah memoar seorang biarawan muda yang sedang belajar pada seorang intelektual Oxford saat itu.
Terbagi ke dalam tujuh bagian, Adso bercerita tentang tujuh hari yang telah dilalui bersama gurunya di biara tersebut. Pada setiap bagian atau hari itu, cerita Adso akan dibagi lagi ke dalam bagian-bagian kecil sesuai dengan waktu-waktu ibadah harian yang ada di biara tersebut.
Dalam sehari ada delapan waktu ibadah; "Vigilae" (Ibadah Malam, 2.30—3.00), "Laudes" (Ibadah Pagi, 5.00—6.00), "Prima" (7.30), "Tertia" (Ibadah Siang, 9.00) "Sexta" (Ibadah Siang, tengah hari), "Nona" (antara 14.00 dengan 15.00), "Vesperae" (Ibadah Sore, 16.30), dan "Completorium" (Ibadah Penutup, 18.00).
Perubahan-perubahan yang terjadi di kalangan gereja pada akhir Abad Pertengahan adalah latar belakang dari novel ini. Banyak hal yang bersifat teologis diserang oleh rasionalisme. William sendiri banyak yang menafsirkannya sebagai personifikasi semangat keilmuan yang mulai berkembang saat itu. Kebetulan pula gurunya adalah Roger Bacon (1214—1294), ilmuwan dengan tradisi belajar dan bacaan yang sangat luas.
Kita bisa melihat itu, ketika para pustakawan biara Melk terheran-heran melihat kacamata baca yang dipakai William untuk membaca manuskrip kuno. Mereka menganggap itu sebuah benda sihir. Belum lagi ketika William menceritakan keyakinan gurunya bahwa kelak manusia bahkan dapat terbang. Dan ia, Roger Bacon, yakin dengan kemampuan ilmu-ilmu empiris untuk memajukan kehidupan umat manusia.
Hal itu dapat dimaklumi kiranya bila mengingat Universitas Oxford waktu itu menjadi pusat pengkajian ilmu-ilmu empiris. Tentu saja hal ini berbeda dengan Universitas di Bologna yang menjadi pusat pengkajian hukum dan universitas di Paris yang menjadi pusat pengkajian teologi. Tradisi keilmuan inilah yang mempengaruhi dunia Kristen saat itu.
Dalam "The Name of The Rose", Biara Melk dibayangkan sebagai tempat bertemunya tradisi-tradisi keilmuan tersebut termasuk pula kepentingan-kepentingan politik dan agama yang menyertainya. Apalagi bila ditambahkan dengan kenyataan bahwa biara tersebut memiliki koleksi perpustakaan yang mengagumkan lagi tiada banding.
Dalam percakapan-percakapan yang terjadi antara William dan Adso, menyenangkan pula rasanya menemukan kutipan-kutipan cerdas nan berisi mengenai ilmu pengetahuan dari Roger Bacon. Salah satunya, yang sering dikutip, adalah “...sebuah buku akan berbicara tentang buku-buku yang lain.” Atau yang lainnya juga (halaman 483), “ ...tugas pertama seorang ilmuwan adalah belajar bahasa!”.
Meski demikian, pembaca yang tak biasa dengan uraian-uraian teologis, peristiwa-peristiwa yang terjadi selalu terkait erat dengan uraian-uraian tersebut. Bahkan kunci dari segala permasalahan yang muncul bersumber dari sebuah uraian seperti itu. Akibatnya, penceritaan yang disajikan Umberto Eco hanya akan “terasa pada kulitnya.”
Belum lagi pengambilan sudut-pandangnya. Dengan model bercerita dari Abad Pertengahan, dan bukan tentang Abad Pertengahan, Umberto Eco seolah-olah “memaksa” kita untuk mengetahui sejarah Abad Pertengahan. Banyak tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa yang disebut adalah tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa historis.
Sejatinya, "The Name of The Rose" adalah cerita “detektif”, yang pada akhirnya akan terungkap segala kunci permasalahan, kunci segala kejadian. Sayangnya, pengantar yang diberikan oleh St. Sunardi terlalu "ember", terlalu "nyinyir." Tapi ini, setidaknya, belum mengurangi kenikmatan yang ada asalkan: jangan coba-coba melangkah-baca-langsung ke halaman 615!
Bagi mereka yang ingin membaca "Malaikat & Iblis" dan "Da Vinci Code"-nya Dan Brown (terbitan Serambi), "The Name of The Rose" tampak sebagai semacam pengantar sebelum ke arah sana. (Atau, memang karya-karya Dan Brown itu mengadaptasinya langsung?). Adapun bagi mereka yang telah membaca kedua karya Dan Brown itu, "The Name of The Rose" adalah pilihan selanjutnya yang justru lebih cerdas dan berisi. [*]

--Rimbun Natamarga

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar