Judul: The Pianist
Penulis: Wladyslaw Szpilman Alih bahasa: Agung Prihantoro Cet.: I, 2005 Tebal: xiv + 354 hlm. Penerbit: C Publishing, Yogyakarta |
Terbit
pertama kali dengan judul Death of a City di Polandia tahun 1946, buku ini
langsung dilarang terbit oleh penguasa Polandia yang merupakan kaki tangan
Stalin. Setelah itu tak pernah dicetak ulang, baik di Polandia maupun di luar
negeri.
Menurut
Wolf Biermann, seperti yang dikatakan dalam penutup buku ini, "terlalu
banyak kebenaran yang menyakitkan tentang kerja sama antara orang-orang Rusia,
Polandia, Ukraina, Latvia, dan Yahudi dengan orang-orang Nazi Jerman".
Tahun
2002, karya Szpilman terbit dalam bentuk pita seluloid atau film dengan judul
The Pianist arahan sutradara Roman Polanski. Film yang meraih sukses ini
memenangi tiga Academy Award, termasuk sutradara dan aktor terbaik. Sebuah film
yang harus menunggu empat dekade untuk membuatnya. Disebut-sebut sebagai film
terbaik tentang pembunuhan massal setelah Schindler’s List karya Steven
Spielberg.
Buku
ini cukup memikat banyak orang, karena sekaligus menjadi dokumen perang yang
tidak biasa. Tidak hanya kisah perseteruan perang, namun buku ini berisi
detail-detail kemanusiaan yang bagi sebagian pihak terlalu menyakitkan sebagai
kebenaran. Szpilman dapat menjelaskannya dengan apik, sehalus, dan sejujur
alunan piano yang dimainkannya seumur hidup; tidak sentimentil dan sangat
menyentuh.
Dibuka
dengan pengantar yang sangat bagus dari anak Wladyslaw Szpilman yang bernama
Andrzej Szpilman, yang menceritakan bagaimana dia menemukan buku di rak buku
ayahnya, ketika dia mencari tahu kenapa dirinya tidak pernah bertemu kakek
nenek dari pihak ayah. Dia menyadari bahwa ayahnya bukanlah seorang penulis,
melainkan “seseorang yang hidup dalam dan dengan musik”. Namun, buku ini bisa
sangat signifikan bagi banyak orang.
Kisah
ini bermula ketika perang dunia II sampai ke tanah Polandia tahun 1939.
Wladyslaw Szpilman lahir 5 Desember 1911 di Sosnowiec, Polandia; bekerja
sebagai pianis untuk stasiun radio Polandia. Dia hidup dengan keluarganya di
Ghetto (perkampungan minoritas yahudi) Warsawa, Polandia. Mereka adalah
keluarga Yahudi.
Meletuslah
perang antara Polandia melawan tentara Jerman. Tidak lama setelah itu, tentara
Jerman pun berhasil menduduki Warsawa. Tembok pemisah antara tentara Jerman dan
warga sipil Polandia ditegakkan dengan kokoh sebagai pembeda. Pembedaan ras,
terutama bagi golongan Yahudi di Ghetto sangat menyiksa. Di sana, dari waktu ke
waktu, warga yahudi hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Karena secara acak,
mereka akan dibunuh dengan sia-sia oleh tentara Jerman.
Perburuan
warga yahudi terus berlanjut hingga tahun 1942. sampai tiba waktunya, mereka
harus diungsikan ke Umschlagplatz yang terletak di perbatasan Ghetto. Ini
semacam kamp di tepi rel-rel kereta api yang dikelilingi oleh jalan-jalan,
lorong-lorong, dan trotoar kotor. Sebuah tempat dengan masa depan yang tidak
jelas, dimana semua orang mencurigainya sebagai kematian. Sikap tentara Jerman
ini “seperti membawa biri-biri ke tukang jagal”. Demikian salah satu kalimat
yang terucap dengan nada pasrah.
Di
Umschlagplatz inilah, akhirnya Szpilman berpisah dengan keluarganya, dan tak
mendapatkan khabar apapun hingga dia meninggal. Dia diselamatkan oleh salah
seorang tentara Yahudi yang peduli terhadap dirinya.
Dari
seluruh 3,5 juta orang Yahudi yang pernah hidup di Polandia, 240.000 di antaranya
mampu bertahan hidup selama kekuasaan Nazi. Sebagai catatan tambahan, diantara
enam belas ribu orang Arya yang dikenang di Yad Vashem, sebuah situs penting
Yahudi di Jerusalem, sepertiganya adalah orang Polandia.
Kisah
Szpilman mencapai puncak ketika dia bertahan hidup terpisah dari keluarga dan
orang-orang dekatnya. Dia termasuk salah satu diantara orang-orang yang
dipekerjakan setiap hari di wilayah Arya di Warsawa, dan turut menyelundupkan
ke dalam Ghetto, bukan hanya roti dan kentang, tetapi juga amunisi dan
perlawanan Yahudi. Karena kelaparan yang sangat, perlawanan pun dapat
dipatahkan dengan mudah. Perang di Polandia mencapai puncaknya. Szpilman dengan
penuh ketakutan dan sembunyi-sembunyi, harus berlindung di belakang orang-orang
non-Yahudi. Dia dipindahkan dan disembunyikan dari gedung satu ke gedung yang
lain.
Dalam
kondisi yang demikian, Szpilman sering mengalami kelaparan. Selama tiga sampai
lima hari perutnya tak terisi makanan. Hal ini disebabkan oleh kondisi
sembunyi-sembunyi dan pengiriman makanan yang tidak pasti. Namun, semangatnya
untuk bertahan hidup tak mampu dipatahkan oleh rasa lapar.
Adalah
sebuah kenyataan pada saat itu; apabila seseorang di Perancis menyembunyikan
seorang Yahudi, akan dikirim ke penjara atau ke kamp konsentrasi; di Jerman,
akan dihukum mati; tetapi di Polandia, seluruh keluarga anda akan dihukum mati.
Kisah
panjang Szpilman ini akhirnya menemui sedikit kelegaan, ketika dia dalam
kondisi setengah sekarat, ditemukan di antara reruntuhan kota Warsawa dan
diselamatkan oleh tentara Jerman kapten Wilm Hosenfeld. Bahkan, Hosenfeld
membawakan Szpilman makanan, selimut, dan mantel ke tempat persembunyiannya.
Buku
ini ditulis oleh Szpilman persis setelah masa-masa perang tersebut. Peristiwa
yang terbentang antara tahun 1939 sampai dengan tahun 1945. Aroma perang dan
detail traumanya sangat terasa. Sebuah buku yang di satu sisi menjadi catatan
harian mengenang selama perang. Dan di sisi lain, buku ini menjadi semacam
terapi bagi Szpilman setelah masa-masa traumatik yang panjang dan melelahkan.
Namun, semuanya diungkapkan dengan halus dan mengalir begitu saja. Menurut saya
Szpilman adalah seorang penulis yang baik. Dia mampu menerangkan dengan sangat
bagus hal-hal yang seharusnya kita ketahui dengan benar.
Setelah
berkeliling dunia bermain musik, Szpilman hidup dan tinggal di Warsawa hingga
meninggal pada 6 Juli 2000.
Kisah
yang hampir sama bagusnya dengan buku aslinya mampu divisualisasikan oleh Roman
Polanski. Inspirasi terkuat Roman Polanski dalam membuat film The Pianist
datang dari sebuah kenyataan bahwa dia juga pernah menjadi tahanan di Ghetto,
Polandia selama perang dunia II. Dia kembali ke Polandia dari Perancis dengan
orang tuanya hanya dua tahun sebelum PD II dimulai. Ibunya meninggal di kamp
konsentrasi. Dan dia bertemu kembali dengan bapaknya pada tahun 1945.
Akhirnya,
The Pianist menjadi semacam catatan harian di ‘neraka’. Namun, kebenaran yang
menjadi larangan di masa lalu, menjadi memikat dan menarik perhatian di masa
kini. Kebenaran yang diungkapkannya adalah sebuah fakta dari sisi lain
kebenaran itu sendiri.[*]
--Ali Fauzi, Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar