Senin, 24 Maret 2014

The Pianist -- (resensi 2)

Judul: The Pianist
Penulis: Wladyslaw Szpilman
Alih bahasa: Agung Prihantoro
Penerbit: C Publishing (PT Bentang Pustaka)
Tahun: 2005, cetakan I
Tebal: 354 hal


Bagaimana musik bisa menyelamatkan hidup seseorang? Itu terjadi bertahun-tahun yang lalu, di tengah berkecamuknya Perang Dunia II, tepatnya di Warsawa, Polandia. Sebuah permainan piano : Nocturno karya Chopin dalam C Kres Minor di depan seorang tentara Jerman yang menyukai musik, telah menyelamatkan nyawa sang pianis. Kelak, setelah perang usai dan di sepanjang sisa hidupnya, Wladyslaw Szpilman, sang pianis, akan terus mengenang dewa penolongnya itu.
Kekuasaan Jerman di bawah Hitler saat itu benar-benar tak terbendung. Invasinya nyaris meliputi seluruh daratan Eropa, termasuk Polandia. Perburuan terhadap orang-orang Yahudi terjadi juga di negara ini. Ghetto-ghetto (perkampungan minoritas Yahudi) dibangun sebagai penjara yang membatasi gerak para Yahudi tersebut. Sejumlah tentara SS berpatroli hilir-mudik dengan senjata api terhunus, siap ditembakkan setiap waktu. Pasokan bahan-bahan makanan terhenti, mengakibatkan derita kelaparan, penyakit menular serta kematian. Setiap hari ada saja Yahudi yang dikirim ke kamp-kamp konsentrasi untuk kerja paksa atau dibunuh massal. Tak peduli lelaki, perempuan, dewasa, kanak-kanak atau bayi sekalipun. Pembersihan etnis paling kejam yang pernah dilakukan manusia.
Szpilman, seorang pianis yang bekerja di sebuah stasiun radio di Warsawa, tak luput dari teror itu. Ia kehilangan seluruh keluarganya (ayah, ibu, kakak, dan adiknya) dalam peristiwa paling mengerikan dalam hidupnya. Hanya berkat kekuasaan Tuhan dan keberanian serta ketabahannya sajalah ia bisa lolos dari neraka tersebut. Enam tahun bermain kucing-kucingan dengan maut, akhirnya Szpilman mendapatkan kembali kebebasannya sebagai manusia. Beberapa tahun kemudian, tepatnya 1946, ia menerbitkan buku ini - dengan judul Kematian Sebuah Kota - untuk pertama kalinya. Buku yang memuat kesaksiannya ini, dilarang terbit karena terlalu banyak mengungkap kebenaran yang menyakitkan. Barulah kira-kira lima puluh tahun setelahnya The Pianist diterbitkan kembali. Szpilman melanjutkan hidupnya sebagai pianis konser dan komposer selama bertahun-tahun kemudian sampai ajal menjemput di tahun 2000.
Rasanya, saya tak perlu lagi menguraikan bagaimana bengis dan kejamnya para tentara Jerman dalam menghabisi kaum Yahudi. Sudah terlalu banyak buku maupun film yang mengisahkannya. Terlepas dari kecurigaan pihak-pihak tertentu, dalam hal ini biasanya demi kepentingan politik, yang menganggap bahwa peristiwa holocaust terlalu dibesar-besarkan sebagai propaganda kaum Yahudi dalam rangka menarik simpati dunia, saya sendiri berpendapat bahwa apapun alasannya, siapapun pelaku dan korbannya, pembantaian manusia atas manusia lain, tak pernah dapat dibenarkan.
Sebagai sebuah kisah nyata, plot The Pianist terasa berjalan lambat, seolah-olah penulisnya khawatir akan ada bagian-bagian yang terlewatkan. Meski untuk beberapa kejadian ia seperti menceritakannya secara sepintas lalu, kita tetap dapat merasakan kengerian, kepedihan, dan rasa takutnya.
Film berdasarkan buku ini telah dibuat oleh Roman Polanski dengan Adrian Brody sebagai Szpilman. Di Festival Film Cannes, Perancis, film ini mememangkan penghargaan Palme d'Or, sedangkan Brody untuk perannya tersebut diganjar Oscar sebagai Pemeran Utama Pria Terbaik.[*]

--Endah Sulwesi

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar