Judul:
The Road
Penulis: Cormac McCarthy Penerjemah: Sonya Sondakh Penyunting: Sapardi Djoko Darmono Penerbit: Gramedia Pustaka Utama Cetakan: Januari 2009 Tebal: 260 hlm ; 20 cm
Peresensi:
H. Tanzil
|
Bumi dilanda
bencana yang maha dahsyat. Iklim berubah secara drastis, abu dari hutan-hutan
yang terbakar menghalangi teriknya matahari. Udara menjadi dingin dan lembab,
salju pun turun bercampur debu, hewan mati, tanaman tak tumbuh, bumi menjadi
sepi dan hanya segelintir orang yang bertahan. Mereka hidup di dunia yang sepi,
mencari makan dengan jalan menjarah rumah-rumah yang ditinggal mati pemiliknya.
Dan ketika makanan habis, harus tetap ada yang harus dimakan. Mereka harus
bertahan. Kelaparan dan naluri untuk tetap hidup membuat manusia melupakan sisi
kemanusiaan dan menghancurkan peradaban agung yang telah terbentuk ribuan
tahun. Memaksa manusia memangsa sesamanya.
Seorang ayah dan
anak lelakinya yang masih kecil terseok-seok melakukan perjalanan panjang,
melintasi Amerika yang telah hangus terbakar. Dengan perbekalan seadanya yang
ditaruh diatas kereta belanja, mereka melakukan perjalanan panjang ke arah
selatan menuju pantai, daerah yang bersuhu lebih hangat daripada di
tempat-tempat lain yang telah menjadi dingin dan lembab. Bukan perjalanan yang
mudah, karena selain harus berjuang untuk memperoleh makanan, tempat yang layak
untuk tidur, mereka juga harus waspada terhadap kehadiran orang-orang asing
yang mengincar perbekalan mereka, dan yang lebih mengerikan mereka harus
menghadapi beberapa orang telah menjadi kanibal.
Dalam novel ini,
pembaca diajak menyelami perjuangan ayah dan anak dalam bertahan hidup di dunia
paska tragedi dahsyat. Uniknya dari awal hingga akhir, penulis sama sekali tak
menjelaskan peristiwa apa yang sebenarnya telah terjadi sehingga bumi menjadi
hancur. Cormac hanya mendeskrpisikannya dengan hutan-hutan yang terbakar, udara
yang penuh debu, mayat-mayat kering, rumah kosong, aspal meleleh karena panas,
dll. Pembaca diminta untuk menafsirkan sendiri apakah ini bencana alam atau
bencana karena perang. Tampaknya Cormac lebih menekankan kisah perjalanan ayah
dan anak lelaki kecilnya yang mencoba bertahan hidup.
Berbagai peristiwa
menyesakkan dialami oleh mereka. Dengan hanya bersenjatakan sepucuk pistol
dengan dua butir peluru mereka mencoba bertahan dari kehadiran orang-orang yang
hendak merampok perbekalan dan mungkin akan memakan mereka. Udara yang buruk
membuat mereka terserang demam dan diare. Mereka harus bertahan dalam dingin
dan rasa lapar yang menghantui mereka. Rumah demi rumah mereka masuki untuk
mencari makanan, namun seringnya rumah itu telah habis dijarah oleh orang-orang
lain yang masih hidup.
Mayat-mayat kering
bergelimpangan, mereka juga menemukan beberapa tengkorak kepala terjejer
membuktikan bahwa bagian-bagian tubuh mereka telah habis dimakan. Mereka juga
menghadapi dilema apakah harus menolong seseorang yang kelaparan seperti mereka
atau tak mempedulikannya. Semua peristiwa itu membuat novel ini menjadi sangat
kelam. Untunglah Cormac menyelipkan berbagai peristiwa melegakan seperti ketika
mereka menemukan sebuah ruang bawah tanah yang luput dari penjarahan. Selama
beberapa hari mereka tinggal dengan nyaman di tempat tersebut. Peristiwa inilah
yang akan membuat pembaca novel ini lega sejenak sebelum kembali diperhadapkan
dengan peristiwa-peristiwa kelam lainnya.
Cormac Mc Carthy,
novelis terkenal Amerika yang sebelumnya mungkin dikenal dengan novelnya yang
berjudul No Country Old Man (2005) meramu novel The Road (2006) ini dengan
sangat menarik. Pembaca tak diberi kesempatan sedikitpun untuk keluar dari inti
cerita. Novel ini tak memberikan kisah-kisah lain diluar perjalanan si lelaki
dan anaknya. Cormac hanya memberi secuil keterangan tentang masa lalu mereka.
Kedua tokoh itupun tak diberinya nama. Dialog-dialog antara lelaki dan anaknya
hanya sedikit dan pendek-pendek saja, itupun hanya berputar masalah ketakutan
yang mereka hadapi, kelaparan, nasehat-nasehat untuk bertahan hidup, dan
ungkapan cinta ayah kepada anaknya. Kehadiran tokoh-tokoh lain hanya
selewat-selewat saja sehingga dengan demikian pembaca digiring oleh Cormac
untuk hanya terpusat pada kisah perjalanan dan tujuan akhir perjalanan lelaki
dan anaknya tersebut.
Cormac juga tak
memberi kesempatan pembacanya untuk jeda sejenak, seluruh kisahnya mengalir
dari halaman pertama hingga akhir tanpa ada pembagian bab. Ditulis dalam
kalimat yang pendek-pendek, lugas namun tak mempedulikan aturan penulisan
bahasa. Dialog-dialognya dibiarkan polos tanpa tanda baca. Untungnya
dialog-dialog tersebut tersusun dalam baris-baris berurut ke bawah sehingga
agak memudahkan untuk memahami mana kalimat dialiog, mana yang bukan. Awalnya
pembaca mungkin akan sedikit kesulitan memahaminya, namun lambat laun akan
terbiasa juga dengan gaya menulis Cormac ini. Mungkin gaya penulisan yang tidak
biasa inilah yang membuat penerbit merasa perlu melibatkan sastrawan senior
Sapardi Djoko Darmono untuk menyunting novel ini.
Kisahnya yang
menarik, terjemahan yang baik dan penyun yang prima membuat novel ini menurut
hemat saya memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi. Walau saya merasa tertekan
dengan begitu kelabunya kisah ini, lembar demi lembar saya nikmati dengan
antusias dan tak sabar ingin mengetahui ada peristiwa apa di lembar berikutnya.
Semangat bertahan hidup di tengah kondisi yang ekstrim dan ikatan cinta antara
ayah dan anaknya yang dideskripsikan dalam novel ini juga menjadi sebuah
pembelajaran tentang pentingnya cinta dan harapan dalam mengarungi kehidupan
yang sulit ini. Tak heran jika novel ini berhasil meraih penghargaan Putlitzer
untuk kategori fiksi pada 2007 yang lalu.
Sama seperti karya
lain Cormac, No Country Old Man yang pernah difilmkan dan memenangkan 4 piala
Oscar 2007 termasuk sebagai Best Picture 2007, The Road juga kini sedang
didadaptasi menjadi sebuah film oleh John Hillocat pada dengan dibintangi oleh
Viggo Mortensen,Robert Duvall,Charlize Theron,Guy Pearce dan Kodi Smith McPhee.
Fim ini rencananya akan dirilis pada kawartal terakhir 2009 ini. Akankah film
yang diadaptasi dari novel Cormac ini akan sesukses adaptasi No Country Old
Man. Kita lihat saja nanti. [*]
Sumber:
Milis Resensi Buku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar