Judul Buku: Wong Cilik Merindukan Haji: Kisah Menyentuh
Perjuangan
Orang Biasa Mewujudkan Mimpi
Bersimpuh
di Baitullah
Penulis: H. Ruchani Achmad Penerbit: Pustaka Pesantren, Yogyakarta Cetakan I: 2011 Tebal: 146 halaman Peresensi: Abdul Halim Fathani*) |
Ibadah haji
merupakan salah satu bentuk ibadah yang memiliki makna multi aspek, ritual,
individual, politik psikologis dan sosial. Dikatakan aspek ritual karena haji
termasuk salah satu rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan setiap muslim
bagi yang mampu (istitho'a),
pelaksanaannya diatur secara jelas dalam al-Qur’an. Haji sebagai ibadah
individual, karena keberhasilan haji sangat ditentukan oleh kualitas pribadi
tiap-tiap umat Islam dalam memahami aturan dan ketentuan dalam melaksanakan
ibadah haji.
Haji juga merupakan
ibadah politik, sebab mulai dari persiapan sampai pelaksanaanya, peran dan
partisipasi pemerintah (Departemen Agama) sangatlah dibutuhkan. Aspek
psikologis ibadah haji berarti setiap individu jamaah harus memiliki kesiapan
mental yang kuat dalam menghadapi perbedaan suhu, cuaca (iklim), budaya daerah
yang tentunya berbeda dengan situasi (iklim) bangsa Indonesia. Yang tidak kalah
pentingnya dari ibadah haji adalah makna sosial, yaitu bagaimana para jamaah
haji memiliki pengetahuan, pemahaman dan mampu serta mau mengaplikasikan
pesan-pesan simbolik ajaran yang ada dalam pelaksanaan ibadah haji ke dalam
konteks kehidupan masyarakat.
Syarat dan rukun
ibadah haji tidak semata-mata hanya untuk kepentingan transendental (habl min-Allah) tetapi
justru yang paling penting adalah dapat mengambil makna di balik simbolisasi
ritualitas haji untuk membentuk kepribadian atau moralitas pergaulan antar
sesama manusia. (habl min
al-Naas) Dengan demikian, memahami dan menemukan makna sosial dalam
ibadah haji menjadi suatu keniscayaan bagi setiap umat Islam umumnya dan para
jamaah haji khususnya.
Dewasa ini, haji
telah dijadikan sebagai salah satu ukuran atau parameter untuk melihat status
sosial seseorang. Hal ini disebabkan orang yang berhaji dianggap sebagai orang
Islam yang shaleh, karena telah menyempurnakan agamanya (baca: rukun Islam),
dan secara ekonomi termasuk orang yang kaya atau lebih dari cukup (baca: cukup
dari segi materi). Alasan itulah yang digunakan masyarakat kita pada umumnya
untuk menilai orang yang dapat melakukan ibadah haji. Sehingga orang yang telah
mampu melaksakannya dinilai sebagai orang yang telah “sempurna” agamanya.
Ibarat makanan 4 sehat 5 sempurna, dikatakan belum lengkap jika belum memenuhi
aspek yang ke-5, yaitu minum susu. Demikian juga rukun Islam dikatakan belum
sempurna jika belum menunaikan ibadah haji. Haji berfungsi sebagai pelengkap
(komplementer) dari rukun islam yang lain.
Merupakan suatu
keharusan bagi individu umat Islam yang memenuhi panggilan Allah ke tanah suci
Makkah-Madinah, untuk merenungkan esensi dan substansi haji di tengah
simbolitas dan formalitas syarat-rukunnya. Diharapkan, dengan refleksi mendalam
makna di balik itu, jamaah haji menemukan energi transformasi internal menuju
terbentuknya kesalehan ritual dan sosial yang menjadi barometer kebahagiaan
dunia akhirat.
Sampai sekarang,
mayoritas umat ini masih terjebak dalam simbolitas syarat-rukun, tanpa mampu
mengungkap makna substansial di balik itu. Maka, pasca haji tidak ada
transformasi internal dalam kehidupannya. Kebanyakan orang lebih memaknai
ibadah haji sebagai ibadah yang hanya penuh dengan ritual simbolik-transedental
saja. Artinya, predikat haji bagi seseorang hanya dilihat dari kemampuan berangkat
dan datang kembali ke Tanah Air dengan disertai oleh-oleh “khas” haji (cerita
unik atau pengalaman religius) yang beraneka warna. Padahal, jika kita berfikir
dan merenungkan, ibadah haji juga banyak mengandung makna sosial. Hal ini
didasarkan pada substansi Islam sebagai agama rohmatan lil'alamiin.
Kesalehan ritual
dan sosial adalah ibarat dua mata uang logam yang tidak dapat dipisahkan.
Kesalehan ritual mampu membuat orang menjadi shaleh sosial dan shaleh sosial
muncul karena intensitasnya melakukan ritual. Tidak ada aspek
ritual-transendental yang lepas dari orientasi sosial. Kesalehan ritual
dan sosial harus selalui terintegrasi di manapun dan kapan pun. Dalam bahasa
agamanya adalah menyinergikan antara habl
minallah dan habl
minannaas.
Membaca ulasan
penulis dalam buku ini sungguh mengharukan. Buku ini merupakan catatan
perjalanan yang ditulis Ruchani Achmad sebagai “kenang-kenangan.” Secara
gamblang penulis menceritakan bagaimana kehidupannya ketika sebelum berangkat
haji, kemudian keadaan ketika berniat untuk berangkat haji dan pelbagai ikhtiar
yang dilakukan yang akhirnya dapat berhasil untuk berangkat ke tanah suci
Makkah. Selanjutnya, penulis menceritakan pengalamannya selama berada di Mekkah
dan berbagai aktivitas ritual yang dilakoninya.
Melalui buku ini,
kita dapat merenungkan dengan “nilai-nilai” ibadah haji sebagaimana yang telah
diurai di atas. Dalam buku ini, penulis juga membagi beberapa doa yang
dibacanya dalam rangka mewujudkan niatnya berangkat haji, sekaligus doa-doa
yang dibaca ketika melakukan ibadah haji. Tentu tidak ada ruginya, bagi pembaca
untuk meluangkan waku sejenak demi membaca buku “mengharukan” ini. Semoga kita
dapat mengambil hikmah terbaik dari buku ini. Marilah kita mengikuti jejak
Ruchani Achmad. [*]
*) Alumnus Jurusan Matematika UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar